06

2 1 0
                                    

Assa tersenyum kecil tanpa San tahu, seketika mengeratkan tangannya pada leher San.

Tolong ingatkan Assa jika tadi dia masih punya niat untuk memukul San hingga berlutut di kakinya.

***

"Nggak jauh kok, cuma jalan sekitar lima menit kita bakal sampai." Assa menunjuk persimpangan jalan yang tidak jauh dari tempat mereka lalu memberi gerakan belok ke kanan dengan tangannya.

San menurut saja sembari membawa gadis itu di punggungnya. Hujan perlahan berhenti sepenuhnya dan San bisa merasakan jika gadis digendongannya sedikit menggigil, mungkin kedinginan.

Tidak butuh waktu lama untuk berjalan kaki seperti yang Assa instruksikan, mereka sudah sampai di sebuah rumah sederhana ala pedesaan yang minimalis.

Tangan Assa bergerak untuk membuka pagar dan ketika San masuk ke dalam dia bisa melihat jika rumah itu mempunyai pendopo yang cukup luas dengan bagian rumah yang semi terbuka.

Pencahayaan sangat minim karena memang keluarga itu belum ada yang pulang ke rumah sejak seharian ini. San membawa Assa mendekat pada pintu rumah dan gadis itu dengan sigap membuka pintu.

"Rumah ini dibiarin nggak kekunci dari pagi?" San agaknya cukup kaget mengetahui hal itu.

"Iya, mana ada maling di desa kecil gini. Kami udah biasa keluar rumah tanpa dikunci."

Info menarik lainnya yang San dapatkan. Seumur-umur dia tidak pernah membiarkan pintu rumahnya tanpa pengaman seperti itu.

Assa meraba saklar lampu lalu sedetik kemudian seluruh ruangan di rumah itu sudah berubah jadi terang benderang.

San bisa melihat foto-foto keluarga yang terpajang di dinding rumah, foto wisuda Assa, foto masa kecilnya dan juga foto ayah Assa yang San tidak sempat bertemu dengannya.

Beberapa piala dan piagam penghargaan atas nama Thalassa Oslan dan Pasha Oslan juga berjejer di atas meja hias, terbukti jika dua saudara Oslan adalah murid yang berprestasi.

Ada juga beberapa kerajinan tangan yang terbuat dari plastik, bungkusan makanan, botol plastik hingga kotak skincare yang dijadikan pot bunga. Keluarga ini ternyata memang sudah hidup ramah lingkungan sejak dulu.

San dengan sigap menurunkan Assa di salah satu bangku ruang tamu walaupun sempat terpesona dengan rumah minimalis milik keluarga Oslan.

"Thanks San." Singkat dari Assa.

"Aku kompres ya? Kamu punya air hangat?" Pria arang sedikit berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan Assa. San terlihat sangat khawatir, dia meringis setiap kali Assa menggerakkan kaki atau tangannya.

"Nggak usah, aku bisa sendiri kok." Assa terlihat mulai bergerak lagi ingin bangkit dari posisi duduknya. "Kamu pulang a―"

"Aku menolak!" San menyela cepat. Tidak ingin jika ada hal buruk yang terjadi pada Assa selanjutnya. San menahan tubuh Assa agar kembali duduk.

"Biar aku yang buatin air hangatnya." San baru saja ingin melangkah ke dapur sebelum Assa kelewat cepat menarik kaos yang tengah pria itu pakai.

"Mau kemana kamu?!"

"Ya ambil air anget lah!"

"Emangnya ini rumah kamu?!" Assa melotot garang. San jadi kicep. Dia yang bingung langsung tersadar lagi jika itu memang bukan rumahnya.

San bodoh karena cinta

Assa sejujurnya ingin sekali mengusir Harp Seal gila itu jika saja dia tidak ingat terakhir kali dia melakukan hal itu mereka berakhir terlihat bodoh berlarian ditengah hujan dan Assa terjatuh hingga kakinya terkilir.

INNSÆI (World for Intuition)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang