🌙 Bab 4

17 11 4
                                    

Hari ini, menjadi hari Ospek pertama bagi Syafina. Setelah sekian lama menunggu hari ini, akhir tiba juga. Syafina sudah berada di lapangan Fakultas Teknik, sangat luas.

Syafina berangkat diantar oleh Elang, ia tidak mau membawa kendaraan selama masa  Ospek. Entah kenapa, hanya tidak mau saja.

Seluruh Mahasiswa/i baru segera diarahkan untuk berbaris dengan rapi di lapangan, pagi ini sedikit mendung membuat keringat tidak menetes dengan deras. Syukurlah.

Syafina berdiri di barisan paling depan, di belakangnya terdapat gadis berambut panjang ikat satu, dengan poni tipis di jidatnya.

"Hai, gue Nayla," sapanya saat melihat Syafina berbalik badan ke arahnya.

Syafina tersenyum, untung saja ia diajak bicara duluan. "Gue Ina, lo jurusan apa?"

"Teknik Informatika, lo?"

"Sama!" serunya sambil tersenyum.

Tapi sialnya salah satu senior dengan kemeja hitam menghampiri mereka. "Jangan ngobrol! Baris yang bener!"

"Ini udah bener kok," jawab Syafina.

"Ngejawab lagi."

"Entar gak dijawab dibilang 'lo budek apa bisu?'" Entah keberanian dari mana yang Syafina dapat.

Tapi memang ia tidak suka pada seniornya yang satu ini. Dari tadi kerjaannya teriak-teriak, terus marah-marah doang. Seperti tidak ada kerjaan lain.

Tapi tidak ingin menanggapi ucapan bocah, senior yang tampak galak itu pergi begitu saja, membuat Syafina kesal dan mengejeknya dari belakang.

"Isshhh!" kesalnya.

- -🌙 - -

Masa Ospek terus berlanjut, dari jam tujuh pagi, hingga jam setengah sebelas. Panas bercampur keringat membuat beberapa Mahasiswa baru sempoyongan, beberapa sudah berada di ruang kesehatan. Sementara Syafina dan Nayla kini berjalan beriringan menuju kampus.

"Lo tadi berani banget, ngejawab kak Bara," ucap Nayla menampilkan dua jempol pada Syafina.

"Emangnya dia siapa? Cuman senior kan, bukan dosen?" tanya Syafina.

"Jangan bilang, dosen pun lo lawan? Keren sih, gue kalau jadi lo udah menciut duluan."

Keduanya tertawa, hingga tiba di kantin mereka duduk di meja yang sama setelah memesan. Nayla memesan semangkok bakso, sedangkan Syafina memesan nasi goreng porsi jumbo dengan ayam goreng. Nayla yang melihat pesanan Syafina tak bisa menahan senyumnya.

"Lo makan seporsi itu? Banyak juga ya, pantes lo punya banyak tenaga buat lawan senior-senior di lapangan tadi," kata Nayla ketika mengingat tak hanya sekali Syafina menyolot pada seniornya yang bernama Bara itu.

"Halah, batu Bara doang mah gak ada apa-apanya, lebih serem abang gue kalau lagi marah," ucap Syafina ngeri ketika ingat bagaimana seramnya Elang yang mengamuk.

"Hahaha, batu Bara gak tuh."

Keduanya kembali menikmati makanan masing-masing, sambil berkenalan dan bercerita ria. Tanpa disadari orang yang dari tadi mereka obroli duduk tak jauh dari meja Syafina dan Nayla. Bara menghampiri Syafina dengan emosi penuh.

"Maksud lo apa ngomongin gue?!" Suara beratnya bagaikan angin lewat di telinga Syafina.

"Woi! Gue lagi ngomong sama lo! Tuli lo?!"

Syafina tak mengubris, ia kembali melahap nasi gorengnya. Bara menarik lengan syafina hingga gadis itu berdiri.

"APAA!" teriak Syafina. Nayla bahkan terkejut mendengar teriakannya.

"Ina, udah. Kita minta maaf kak, maaf ya," ucap Nayla berusaha melepaskan emosi Bara.

"Maaf? Enak banget lo ngomong gitu." Pandangannya tak teralih menatap tajam Syafina.

"Ikut."

Bara menarik lengan Syafina, gadis itu berusaha melepasnya namun nihil. Tenaga mereka tak sebanding. Hingga terasa cukup jauh dari kantin, Bara menghentikan langkahnya dan melepaskan lengan Syafina.

"Lo Syafina kan? Mahasiswi paling belagu yang pernah gue temui selama dua tahun ngospek."

"Terus?" tanya Syafina remah, ia bahkan tidak menatap Bara.

Sungguh, nyali Syafina diluar rata-rata ketika berhadapan dengan lawan jenis. Ia tak suka diganggu, diremehkan, dan dianggap enteng. Harga diri wanita!

"Lo! Belum sadar kesalahan lo di mana? Lo bikin gue malu di depan banyaknya Mahasiswa baru, lo terus-terusan ngejawab tiap gue ngomong. Lo gak diajarin sopan santun, ya?"

"Gak penting banget, gue males ngomong sama batu Bara kayak lo. Minggir!"

Syafina hendak melangkah, namun lengan Bara menahannya. Ia mendorong gadis itu hingga sempoyongan. Hampir saja jatuh jika seseorang tidak menolongnya.

"Bar, udah. Lo emosian banget hari ini."

"Aji, ini bukan urusan l-"

"Lo temen gue Bara! Urusan lo urusan gue, tapi lo gak perlu kasar sama cewe." Seseorang bernama Aji berusaha menasehati Bara.

"Drama banget, gue harus pergi."

Bara menatap Aji jengkel, ia selalu datang ketika Bara sedang mengomel.
"Lo urus aja deh, gue capek sama ni bocah."

"Gue juga capek denger lo ngomel!" teriak Syafina kesal menatap kepergian Bara.

Syafina diam, sebelum berbalik badan dan menatap Aji. "Apa?! Mau marah juga?!"

Aji tidak menjawab. Ia menatap Syafina dengan tatapan yang sulit di mengerti. Kemudian menggenggam tangan Syafina, dengan lembut. Berbeda dengan Bara, Aji adalah pria yang sangat lembut pada perempuan, bahkan teman angkatannya banyak yang sampai salah paham dengan perilakunya sampai di juluki playboy.

"Mau ke mana?"

Tetap tak ada jawaban. Tiba di depan sebuah bangunan gelap dan mengerikan. Aji menarik Syafina masuk ke dalam gudang fakultas teknik. Kemudian melepaskan tangannya saat tiba di dalam, lalu menutup pintu rapat-rapat.

Hanya ada sedikit cahaya yang menerangi ruangan tertutup dan pengap ini.

Syafina diam, tangannya gemetar. Entah kenapa ia di bawa ke sini, ia juga tidak tahu karena Aji tak mengubris ucapannya dari tadi.

"Mau ngapain? G-gue bisa nuntut lo, jangan pikir lo senior, lo bis-"

Syafina tak kuat berkata, terlalu gemetar. Syafina yang penuh keberanian kini menciut seketika. Kakinya lemas, hingga ia tersungkar ke lantai yang sedikit berdebu.

"~mamaa..." gumamnya pelan.

Syafina tidak takut akan hal apapun, kecuali petir dan kegelapan.

Melihat itu Aji jadi kebingungan, niatnya ke sini untuk menasehati Mahasiswi baru itu dengan baik-baik, agar tidak tersinggung. Tapi Aji melihat ketakutan yang menghantui gadis di hadapannya.

Ia kemudian berjongkok di hadapan Syafina. "Lo kenapa?"

Tanpa diduga Syafina memeluknya dengan tubuh yang bergemetar hebat. "Lo sakit, ya?"

"~takut... aku takut," suaranya sangat pelan dan gemetar.

"Takut? Sorry, lo tenang aja, gue gak jahat," ucap Aji berusaha menenangkan Syafina, tangannya terangkat mengelus pundaknya pelan.

"Aku takut gelap."
"Mamaaa.."

Aji mengangkat tubuh Syafina hingga berdiri, berjalan ke arah pintu dan membukanya sedikit. "Sorry gue gak tau lo takut gelap, maaf ya. Tadinya gue cuman pengen ngomong sama lo, tapi kayaknya lo ketakutan."

"Lo boleh pergi, maaf ya."

Setelah Aji membuka pintu gudang, Syafina langsung berlari. Entah ke mana ia berlari, yang penting jauh-jauh dari ruangan yang gelap dan menakutkan itu.

Dari kejauhan, seseorang tidak sengaja melihat Syafina berlari sambil menangis setelah keluar dari gudang. Tak lama Aji keluar dan mengunci kembali gudang tersebut.

"Aji?" batin orang tersebut yang mulai berpikir entah positif atau negatif.

Mr. A?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang