10 - It's D'Day

40 5 38
                                    

          Granger merasa semakin yakin seiring dengan dirinya yang semakin sering mencari tahu tentang Silvanna. Hal yang awalnya terasa ilegal pun kini ia lakukan demi mengumpulkan informasi. Mulai dari makanan dan minuman kesukaan, tempat yang ia sukai, hingga background tentang kelakuan mantan Silvanna yang membuat Granger geram. Tapi Granger pun tidak seekstrim itu dalam mencari informasi, ia hanya meminta tolong pada kedua sahabatnya untuk membocorkan semua yang mereka tahu soal adik kesayangan mereka itu. Ya itung-itung langkah awal agar tidak menimbulkan kesan buruk nantinya.

          Kemarin, Granger sudah mendapatkan nomor Silvanna dari Alucard, tapi ternyata justru Silvanna-lah yang terlebih dahulu menghubungi Granger. Ya, katakan saja Granger cupu tapi dirinya memiliki alasan lain! Granger masuk pagi hari ini, jadi sejak pagi pun ia sudah sibuk mempersiapkan segalanya, belum lagi keadaan café yang ramai membuat Granger tidak sempat membuka ponselnya. Tidak ada yang disesali, sih.

          Dengan berakhirnya chat mereka, Granger memutuskan untuk langsung bersiap

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

          Dengan berakhirnya chat mereka, Granger memutuskan untuk langsung bersiap. Baru pukul dua belas lebih lima menit ia benar-benar keluar dari café. Baru saja ia melangkahkan kaki keluar, ia melihat mobil Alucard berhenti di depannya, diikuti dengan terbukanya pintu depan Aston Martin DB7 V12 Vantage yang mengkilap itu. Silvanna turun dari sana.

"Hai, Gran! Kebetulan aku nggak bawa kendaraan sendiri dan belum sempat pulang ke Lumina City lagi, jadi aku minta Bang Alu untuk nganterin aku ke sini."

Granger tak hentinya tersenyum melihat tingkah lucu gadis yang ada di depannya. Mengabaikan Alucard yang tampak merana di sana.

"Gue gimana nih? Udah boleh pergi apa belum?" Tanya pria pirang itu.

"Udah bang pergi aja, hus hus!"

Ya, Alucard diusir seperti anak ayam. Tapi dia maklum karena antusiasme Silvanna. Jadi kini tinggal mereka berdua.

"Kamu punya rekomendasi tempat makan siang yang enak di daerah pinggiran gini?" Tanya Silvanna penasaran sambil ia mulai berjalan bersanding dengan Granger. Hari ini ia juga tidak sedang memakai sepatu berhak tingginya karena ia tahu bahwa ia akan lebih menikmati waktu dengan berjalan kaki. Sesekali tatapannya tertuju pada sang pria tinggi yang bahkan ia sendiri harus sedikit mendongak ketika hendak menatap wajahnya secara langsung.

"Ada sih, tapi kurang tau juga kamu cocok atau nggak, jadi mari kita coba aja. Kalau kiranya kamu kurang nyaman, langsung bilang aja nanti."

Ada rasa penasaran di benak Silvanna mengenai tempat yang akan dituju oleh mereka. Tapi ia berekspektasi bahwa Granger dan dirinya memiliki selera yang sama.

          Sebuah rumah makan yang merupakan cabang dari tempat legendaris di Cadia Riverlands! Tempat ini sudah lama didambakan oleh Silvanna, hanya saja setiap kali ia datang ke tempat ini selalu ramai dan teman-temannya—kecuali Natalia—sudah pasti tidak memiliki selera untuk makan di tempat seperti ini.

"Woah! Ini sih salah satu wishlist-ku sejak lama, Gran!"

"Iya? Langkah yang tepat dong aku ngajak kamu ke sini!"

Mereka berdua masuk ke dalam rumah makan yang berukuran tidak begitu besar itu. Mereka sepakat memesan ramen dan udon yang menjadi ciri khas rumah makan tersebut.

"Kamu sering kesini, Gran?"

Granger menggeleng pelan, "Sejujurnya aku jarang makan di luar, tapi kalau Si Pirang sama Si Gondrong itu sering ngajak aku ke sini juga pas ada waktu."

          Silvanna membulatkan bibirnya tanda mengerti. Tak lama, makanan yang mereka pesan pun datang. Ramen untuk Silvanna dan udon untuk Granger. Disandingkan dengan lemon tea yang segar di hari yang panas ini sepertinya juga cukup cocok.

          Tak ada yang ingin bicara selama makan. Granger menghormati Silvanna yang—mungkin— menjunjung tinggi table manner, sementara Granger yang biasa makan dalam kesendirian pun sudah biasa diam, karena biasanya siapa yang akan ia ajak bicara?

"Gran," panggil gadis itu sebagai pembuka percakapan. Granger bergumam pelan sambil membersihkan bibirnya dengan tisu.

Gadis itu tampak ragu dan Granger juga bingung ingin memulai dari mana.

"Sil, kalau seumpama aku naksir kamu, boleh?"

Silvanna refleks tersenyum, "Kamu nih kayak Pak Aamon aja confess-nya! Ngomongnya gitu juga masa?!"

          Granger menciut. Ternyata benar Aamon Paxley itu naksir Silvanna. Ia tidak tahu juga harus bertindak bagaimana lagi. Tapi tanpa ia duga, tangannya yang ada di atas meja digenggam oleh sang gadis di depannya.

"Boleh, Gran. Kamu nggak perlu minta izin mau naksir aku. Aku sendiri pun sebenarnya suka sama kamu karena pembawaan kamu yang tenang, kamu yang pekerja keras, dan kamu yang selalu jadi orang dewasa."

Mata Granger sedikit berbinar, apakah ini tandanya ia akan mulai cinta-cintaan setelah sekian lama?

"Dan aku berharap kamu juga punya perasaan yang sama kaya aku, Gran. Aku pengen kita terikat, aku pengen punya tempat untuk cerita selain Natalia yang betulan aku percaya, aku pengen punya seseorang yang bisa jadi tempatku bersandar. Yang terpenting, aku pengen punya seseorang yang bisa bantu aku sembuh dari trauma, bukannya kasih trauma baru kaya Eze dulu."

Silvanna menunduk sedih. Setelah ia mengutarakan keinginannya yang panjang, mendadak ia merasa bersalah seolah ia telah memberikan tuntutan pada Granger sebegitu banyaknya.

"Silva," dirangkulnya gadis itu dari samping, "Biar aku belajar, ya? Kita mulai semuanya hari ini."

Beralih dipeluknya Granger. Pelukan itu begitu hangat. Lama mereka tidak merasakan pelukan sebegini hangatnya dan kini mereka memilikinya untuk satu sama lain.

"Apapun yang bikin kamu gak nyaman, baik dari aku, kita, maupun dari luar, ayo kita komunikasikan."

"Makasih ya, Gran, karena udah mau merangkul perempuan yang bisa dibilang belum sembuh traumanya."

"Everyone deserves to be happy, Silva. Begitu juga dengan kita. Jadi, mulai sekarang, kita pasangan?"

Silvanna mengangguk semangat setelah melepas pelukan hangatnya, "Tapi, kamu mau kita buka hubungan ini atau kita low-key aja?"

"Menyesuaikan, kalau butuh low-key ya kita low-key. Intinya tetap jadi diri kita sendiri ya."

"I love you, Gran!"

"Ya... I... love you too, Silvanna."

.

.

.

To be continue.

(Satu dulu yang pendek dan ringan. Sebelumnya mohon maaf saya sebagai author memang bukan spesialis cerita fluff atau romance jadi jika ini kurang menggemaskan atau kurang membuat baper, saya mohon maaf. Spesialis saya di konflik, sedih, dan adegan berantem, karena saya hobi mempermainkan emosi reader. See you in the next chapter dengan emosi yang lebih mantap.)

Black and White [Granger x Silvanna]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang