Mentari memperhatikan Gazza yang menurutnya tampak lebih kurus dari terakhir yang ia ingat. Tubuhnya terlihat seperti tiang listrik padahal sebelum begitu proposional, dada yang tegap dengan otot yang tidak berlebihan, pipi berisi tapi tidak tembam, otot lengannya liat sampai tidak bisa dicubit. Mentari pun bertanya-tanya dalam hati, berapa banyak bobot yang berkurang dari Gazza hingga terlihat kusam, tirus, dan lebih tua dari umurnya?"Diminum, Mas." Mentari menaruh es sirup di meja depan Gazza. Cuaca begitu terik, membuat udara kering maka minuman dingin sangat cocok untuk disuguhkan.
Gazza diam, menatap lekat dan saksama istrinya. Menyusuri wajahnya yang tampak berseri—mungkin Mentari bahagia dengan kehamilannya dan temannya. Perut yang membuncit, membuat Gazza ingin memegang dan mengelusnya. Badan yang lebih berisi, Mentari terlihat berbeda. Dan Gazza merindukan wanita itu. "Sudah berapa bulan?" Perhatian tertuju pada perut istrinya yang menonjol di sebagian sisinya.
"25 Minggu, Mas." Mentari menunduk, mengusap bagian perutnya yang menonjol. Anaknya bergerak seolah tahu keberadaan orang penting yang tiap malam Mentari ingat.
Seolah tidak ada lagi pokok bahasan, keduanya sama-sama diam. Gazza bingung bagaimana mulainya untuk meminta Mentari kembali bersamanya, sedangkan Mentari ingin bertanya bagaimana kabarnya tapi jelas itu hanya basa-basi busuk.
"Dia nggak rewel?"
"Alhamdulillah nggak. Dia tahu kalau ibunya harus kerja untuk tabungan dia."
Ucapan Mentari menohok Gazza. Harusnya wanita itu cukup istirahat selama hamil bukan bekerja. Mungkin Mentari akan mengatakan baik-baik saja tapi kakinya terlihat bengkak Mencari uang sudah tugas sebagai suaminya tapi Gazza adalah suami yang buruk, dan ia sangat menyesal. "Aku minta maaf."
Tentu saja Mentari kaget mendengar permintaan maaf suaminya. Kenapa tiba-tiba? Apakah Gazza minta maaf sebelum menceraikan dirinya? Meskipun sudah Mentari rencanakan akan mengirimkan surat cerai tetap saja hatinya belum siap, apalagi kalau berhadapan langsung dengan Gazza.
Pria itu terlihat kesusahan saat menarik napas, seolah jeratan di lehernya begitu kencang dan menyumbat saluran pernapasannya. "Selama ini aku bukan suami yang baik. Aku pikir kamu wanita kuat yang nggak bakal peduli dengan omongan orang-orang tapi ... maaf aku nggak memberimu dukungan dan membiarkanmu melawan sendiri." Kepalanya tertunduk seperti anak kecil yang melakukan kesalahan berat. "Aku menyesal. Tolong maafkan aku, Tari."
Mentari tidak salah dengarkan? Gazza menyesal?
"Salahku terlalu banyak tapi tolong kasih kesempatan aku buat memperbaikinya. Aku mohon. Aku nggak mau kita pisah."
Ya Gazza tidak ingin kehilangan Mentari. Logikanya sudah lelah menampik fakta bahwa ia mencintai Mentari. Kesederhanaannya, kepatuhannya, tingkah lakunya, dan kesabaran wanita itu lah yang membuat hatinya terpaut. Suara tawanya dan alunan ayat suci Qur'an di kala subuh membuatnya rindu. Dan Gazza tidak yakin bisa menemukan hal tersebut di wanita lain—jika mereka berpisah.
Gazza berdiri, menghampiri Mentari di kursi seberang, menekuk lututnya di lantai seperti seorang abdi dalem menghadap tuannya. Ia merangkum tangan kecil Mentari. "Tolong beri aku kesempatan. Pulang bersamaku. Rasanya hampa waktu pulang nggak lihat dirimu. Saat kamu pergi, aku baru sadar sebesar apa arti dirimu untukku. Maafkan aku, Ta."
###
Sebenarnya Mentari malu atau segan kembali ke desanya, di mana tersebar berita bahwa ia diceraikan Gazza. Namun, apa boleh buat kondisi kehamilannya memaksa Mentari pulang dengan Gazza.
Awalnya Mentari tidak langsung menjawab permintaan pria itu. Ia butuh waktu untuk berpikir. Gazza tidak mendesak, sadar bahwa perbuatannya tidak mudah dimaafkan. Tapi baru beberapa hari, saat jadwal kontrol, dokter menduga adanya gejala pre-eklampsia. Walaupun masih ringan tapi dokter minta agar Mentari berhati-hati.