Huhuhu. Harusnya up kemarin malam tapi ... Nggak tuh Wp kenapa tetiba macet. Ilang deh separuh kata dan itu 2x lho. 😢😢 Tapi akhirnya bisa juga ini wkwkqk. Dah lah ku mau nginep. Babay.
***
"Mbak Mil, dicariin Bude Raras."
Aku menatap bingung pada Nada yang melongok ke dalam kamar. "Ngapain, Nad?" Aku bertanya lalu meletakkan pensil warna di meja.
"Mana aku tahu Mbak."
Dengan rasa penasaran yang melayang-layang di pikiran, aku menemui Bude di ruang tengah. Bude duduk di sebelah bunda yang mengupas mangga harum manis yang kemarin kubeli. "Bude," sapaku sambil menyalami wanita berusia lima puluhan tersebut. Aku lalu duduk di kursi sebelah Bude Raras. "Kata Nada, Bude nyariin aku ya. Ada apa, Bude?"
"Itu lho, Mil, kapan hari Bude ke rumah Bu Bari pas ada Arlo. Iseng Bude tanya, udah punya calon belom? Dia cuma senyum aja, terus mama ya bilang, kenalin lah Mbak kalo punya sodara yang masih single. Bude inget kamu. Sama-sama single nggak ada salahnya nyoba menjalin hubungan, Mil. Siapa tahu jodoh."
"Arlo abangnya Arina, Bude? Bukannya dia udah nikah ya?" sahutku heran. Sebab, aku pernah dengar dia sudah menikah. Apa aku salah dengar berita itu?
Bunda mengangguk. "Kata siapa? Ngawur ae. Wong Bu Bari belum pernah nyebar undangan ngunduh mantu kok. Kalau pun udah mantu Bunda pasti denger."
Aku tertawa kecil. "Aku salah denger kalo gitu, Bun." Ya Allah! Saking lamanya tidak bertemu dengan pria itu aku kira dia sudah menikah "Ya kan single bukan berarti dia nggak ada yang disuka, Bude. Mungkin lagi pdkt."
"Oh iya ya. Tapi kalo lagi pdkt ngapain mamanya bilang gitu. Nanti wes tak coba e tanya Bu Bari lagi."
Aku mengiakan saja ucapan Bude. Aku tahu beliau khawatir akan kesendirianku di usia 32 tahun, jadi tak sedikitpun aku tersinggung oleh usulannya yang terkesan mendesak.
"Kalo anaknya mau, kamu mau?" Bunda memberiku irisan mangga yang beliau kupas.
"Ya mau saja, Bun. Pokoknya nggak karena paksaan biar endingnya nggak nyesek." Ya tidak ada salahnya mencoba kan? Bukan aku putus asa akan kesendirianku tapi ini merupakan ikhtiar dariku dan untuk hasilnya pasrahkan saja sama Sang Pencipta.
***
Arina:
Mil, abangku ada wa kamu ndak?Me:
Nggak. Kamu kasih nomor aku ke dia?Arina:
Hooh disuruh Mama. Katanya biar biar bisa ngobrol.Me:
Lah?Arina:
Kan mama sama budemu rencananya mau jodohin kalian tapi Bang Arlo diem bae. Tahu deh maksudnya dia tuh apa, iya apa gmn. Emang tembok tuh orang. Njegidek ae (diem aja)."Aku tertawa saja membaca repetan Arina soal abangnya. Lagian aku tak terlalu berharap pada obrolan kami tiga bulan lalu itu. Mungkin saja dia sudah ada perempuan yang disuka. Lagipula mana mau dia menerimaku mengingat aku suka mem-bully-nya waktu SD.
Sekarang kalau ingat, aku jahat banget sama dia. Aku selalu mengejeknya, yang hitam, yang kurus kayak orang cacingan, yang pendek, dan lainnya. Namun, anehnya dia tak pernah membalasku. Arlo hanya menatapku tanpa mengatakan apa pun. Terus terang sekarang aku yang takut kalau sampai dia terima perjodohan ini. Aku takut dia balas dendam karena pernah aku bully.
"Selamat datang."
Lamunanku buyar saat mendengar salam yang Siska ucapkan. Segera aku melihat pelangan yang datang tapi ... Arlo? Sepertinya begitu karena kemiripan yang dia miliki dengan Arina. Astaga! Dia tampak berbeda dengan terakhir bertemu—sewaktu SMP karena kami satu sekolah. Aku ingat betul selama SD dan SMP kami tak pernah bicara, bahkan saat sama-sama di angkutan umum yang sama, dia diam saja seolah kami orang asing.