Halooo. Ketemu di lapak cerpen hahaha. Nggak ada hal khusus cuma mau nuangin ide di otak aja, siapa tahu ntar bikin versi panjang wkwkwk.
Btw, selamat hari raya Idul Fitri ya. Mohon maaf lahir batin buat kalian semua 😘
¥¥¥
Gila. Benar-benar gila Mas Ardo itu, hanya karena pernah terjatuh dari motor waktu dibonceng Niken, dia enggak bolehin belajar motor. Mau belajar mobil juga enggak boleh, alasannya aku ceroboh. Iya, sih, tapi kan aku juga pasti hati-hati kalau lagi bawa motor atau mobil. Masa iya ke mana-mana dianter dia, apa kata Vio nanti?
Adik Mas Ardo itu enggak suka padaku, entah apa alasannya. Seingatku, aku enggak pernah bikin dia marah atau menyinggung perasaannya. Kami jarang bicara sejak SMP, padahal waktu sekolah dasar kami berteman dekat, selain karena bertetangga juga.
"Ren, ada Ardo tuh."
Teriakan Ibu membuatku mau tak mau beranjak dari kasur. Aku sedang malas bertemu dengan dia, karena tak mengizinkan aku belajar motor. Biar saja dianggap kekanak-kanakan tapi aku enggak mau terus-terusan merepotkan dia. Pengin mandiri tanpa harus tergantung sama Mas Ardo.
Aku menghampiri dia yang sudah duduk nyaman di sofa depan televisi lantai dua. Ia menoleh, menepuk sisi kosong di sebelahnya. Namun, aku abaikan permintaan dia dengan duduk di sofa single kanannya.
"Masih marah?"
Ardo mendekat tapi aku enggak mau melihatnya. Aku juga tak mau menjawab pertanyaannya dia. Anggap saja aku mendengar siaran radio yang enggak harus membalas pertanyaan si penyiar.
"Mas bukannya nggak bolehin kamu mandiri. Motoran itu nggak gampang, Sayang, apalagi mobil. Kamu naik sepeda aja masuk got, ini motoran, bisa-bisa nabrak orang."
Tuh kan. Dia selalu saja bisa kasih jawaban setiap mendebatnya. Aku enggak pernah menang melawan dia, karena dia tahu betul bagaimana aku. "Ya masa apa-apa kudu dianter, Mas. Kalo mau jalan mesti nungguin. Iya kalo bisa, kalo nggak bisa? Ya batal," jawabku ketus tapi enggan menatap dia.
Dia tersenyum. Tangannya mengelus punggung tanganku. "Tapi nggak pernah batal jalan, kan? Kalo Mas nggak bisa kan dijemput Pak Imron," pungkasnya mematahkan alasanku.
Benar, sih, tapi tetap saja aku ingin mandiri seperti Niken atau perempuan lainnya, yang ke mana-mana enggak perlu diantar. Aku menatap dia dengan wajah merajuk. "Tapi aku pengin tetep bisa motoran, Mas. Aku nggak mau dibilang manja sama Vi ...."
Aku segera menghentikan omonganku sebelum menyebut nama adiknya. Mas Ardo bisa-bisa marah pada Vio kalau tahu bahwa salah satu faktor aku ingin bisa motoran karena ucapan Vio. Sudah kubilang, wanita itu sangat memusuhiku.
"Sama siapa?"
Ekspresi paras Mas Ardo seketika serius. Matanya lekat melihatku sampai-sampai nyaliku ciut. "Nggak kok ...."
"Siapa?" ujarnya mengulang pertanyaan yang sama. Dia akan mengejar sampai mendapat jawaban yang sebenarnya.
"Niken."
'Maafkan aku, Ken, daripada harus terjadi perang keempat nantinya.
"Nggak ngatain sih cuma nasihati aku aja, kasihan kalo repotin Mas terus. Kupikir bener juga. Aku juga gampang kalo mau jalan ke mana aja, nggak kudu nungguin dijemput," kilahku.
Mas Ardo menarikku untuk duduk di pangkuannya. Mengecup bibir ini singkat. Ia menahan daguku untuk membalas tatapannya. "Mas nggak lebih baik kamu repoti daripada kamu kenapa-napa, Sayang. Jadi nggak usah lagi mikirin belajar motor atau mobil. Sepakat?" tawarnya sembari mengelus punggungku. Dia tahu betul aku akan mengiakan apa pun keputusannya.