Cerpen ini tamat di karyakarsa. Ada 11 part dengan jumlah kata ±11.000 kata dengan harga 9.000. Monggo yang berkenan bisa langsung ke Karyakarsa.
Part 1
“Sudah dibilang jangan begadang. Ngobrolin apa sih sampai jam satu pagi? Emang nggak bisa disambung besoknya apa. Gini kan jadinya, kesiangan. Sudah tahu ada jadwal pagi tapi ngeyel. Bandel bener dikasih tahu,” omel Elsa dalam perjalanan menuju lokasi shooting sebuah program bincang-bincang disalah satu stasiun televisi swasta ternama.
“Ini yang paling parah ya. Sama cewek-cewek Abang yang dulu nggak gini. Jadwal nggak pernah kacau tapi kenapa sama Violin jadi kacau. Ya Allah yang pusing tuh aku, Bang. Harus cari alasan yang pas biar branding Abang selama ini nggak hancur.” Ia mengambil ponsel yang berdering di tas setelah sebelumnya menghela napas panjang. Elsa mengerang lirih melihat si penelepon.“Ya, Mas Zul. Ini lagi otw ke lokasi. Sudah deket kok. Maaf kita telat soalnya Bang Tama bangunnya telat gara-gara semalem minum obat.”
“Sakit? Sekarang gimana?”
“Iya semalam demam. Alhamdulillah sekarang aman, Mas. Maaf ya jadi bikin repot.”
“Nggak apa-apa. Kita seling sama yang lain dulu sampai Tama di lokasi.”
“Makasih, Mas.”
Setelah menutup percakapan dengan ketua tim kreatif tersebut, Elsa memasang wajah marah. “Puas?” sentaknya. Tama—kependekan dari Gautama—dan Violin sungguh menguras tenaga dan pikiran Elsa. Ia jadi lebih banyak berbohong untuk menutupi perilaku pria itu. Ia kemudian memilih membuka tablet Android dan memeriksa jadwal selanjutnya.
“Habis dari Pagi Manis, jam 10 ke kantor agensi ngomongin soal naskah film yang kemarin ditawarin ke Abang. Jam satu sampai jam dua kosong, terus siap-siap ke podcast sama Om Didy. Lanjut ke Ngobrol Apa Kita, terus ....” Elsa mengangkat pandangan ke arah Tama karena tidak ada reaksi dan ternyata pria itu tengah menatapnya lekat. Tama menopang dagu dan duduk ala Vincent membuat Elsa salah tingkah. “Apa?” hardik Elsa untuk menutupi kegugupannya. Ia cepat-cepat kembali menatap layar tab-nya untuk menyembunyikan wajahnya yang mungkin saja sekarang ini memerah. “Habis dari Ngobrol lanjut fitting jas yang mau Abang pake ke ....”
“Harus banget ya panggil Mas ke Zul?” ujarnya dengan tanpa ekspresi.
Elsa melihat Tama dengan bingung. “Maksudnya gimana, Bang?”
“Kenapa kalau ke Zul lo manggilnya Mas?” tanya Gautama masih dengan tatapan lurus pada Elsa.
Kening wanita 24 tahun itu mengkerut dalam. “Ya Allah, Bang. Kirain Abang tuh dengerin aku omong tapi malah bahas yang lain. Out of the box sekali Anda. Lagian emang kenapa? Mas atau Bang kan sama aja. Beda tulisan sama ngucapnya doang.” Elsa menggeleng, tak percaya dengan pertanyaan yang tidak ada hubungannya dengan mereka.
“Tapi gue nggak suka,” sahut Tama terang-terangan. Tadinya repetan Elsa membuat paginya ceria tapi sejurus kemudian memburuk karena panggilan yang Elsa sematkan untuk Zul.“Hah?” Elsa semakin tidak paham maksud Tama. Ada apa dengan pria itu? Apakah bertengkar dengan Violin? “Apa sih, Bang? Nggak jelas banget deh. Kalau lagi marahan sama Kak Vio jangan lampiasin sama aku dong. Kerjaanku udah banyak jangan ditambahin lagi.”
Tama menarik napas dalam-dalam sebelum berujar. “Batalin skedul sore. Dari podcast Om Didy kita balik.”
Tentu saja Elsa terhenyak. Baru ini Tama bertingkah seperti ini. Secapek apa pun, sejelek-jeleknya suasana hatinya, pria itu tetap profesional. Bahkan saat ia begitu sedih karena bundanya meninggal, Tama akan tetap datang memenuhi kewajibannya. Sangat profesional meskipun slengean. Karena hal itu pula Tama merupakan salah satu aktor dengan bayaran tinggi untuk setiap episodenya. “Nggak bisa gitu dong, Bang. Kasihan mereka kalau tiba-tiba batal. Mereka kan ....”