Yeay part akhir hahaha terus ganti ke cerpen selanjutnya. Btw, cerita Niken Ervin ada di Karyakarsa. Cari aja Mbak Tika atau judulnya Muara Cinta. Makasehhh. Sayang kalian banyak-banyak wanita hebat ❤️
&&&
Mbak Anggie menatapku dengan tatapan bertanya 'itu mata kenapa mbendul?' saat aku menaruh tas di sebelahnya. Dia kuabaikan dengan berlalu begitu saja ke pantry. Di sana tempat yang pas buat bercerita. Sekarang kepalaku sakit banget gara-gara nangis semalaman, untung di rumah enggak ada orang jadi enggak bingung cari alasan.
"Mata udah kek jambul ikan louhan aja. Kenapa?" Mbak Anggie duduk di sebelahku. Meletakkan dua gelas kopi sekali pakai di meja.
Aku menelungkup dengan air mata kembali turun. Perasaanku benar-benar enggak baik, atau bisa dibilang hancur karena kenyataan yang terungkap kemarin. "Kacau."
Gumaman Mbak Anggie merespon ucapanku lalu diam, mungkin menunggu aku tenang dan siap menceritakan apa yang terjadi. Dia sudah mengenalku dengan baik selain Niken dan Luna. "Tisu, Mbak." Ia menggeser pack tisu sampai dekat siku. "Parah."
"Apanya?" Mbak Anggie memutar tubuhnya menghadapku, memandang tanpa mengerti maksudnya.
Aku menghela napas panjang dan dalam. Dada ini terasa penuh oleh rasa bersalah, mengutuki kebodohanku, dan sakit hati karena dibohongi. "Mas Ardo selama ini bertahan karena rasa bersalah, Mbak. Dia merasa bertanggungjawab karena Vio membuat jariku harus diamputasi."
Rasanya sungguh enggak enak saat mengingat lalu menceritakan luka itu pada orang lain. Hati rasanya ditusuk-tusuk ribuan jarum, sakit. Tapi yang lebih menyakitkan adalah aku yang tak tahu apa-apa, seperti orang bodoh yang mudah ditipu. Astaga.
Harusnya aku curiga, kenapa orang semenarik dan sesempurna Mas Ardo mau dengan—orang yang bisa dikatakan cacat walaupun tak kentara—aku yang tidak ada apa-apanya. Kami sangat jauh berbeda dari segi penampilan, ekonomi, mau kepintaran.
"Aku nggak sengaja denger kemarin pas mau ambil tasku di mobil dia. Mbak inget kan kemarin aku dijemput?" ujarku mengingatkan. Mbak Anggie mengangguk karena berada di sana saat Mas Ardo datang. "Ya itu, sampai di rumah aku dengar itu." Aku mendongak, memandangi lampu di ruangan tak besar ini. Ornamen-ornamen di tiap sudutnya. "Udah kayak di film-film gitu atau cerita-cerita, Mbak. Mereka ngobrol, kitanya nggak sengaja denger. Rasanya Mbak ... wes mbuhlah."
"Udah tanya ke Ardo kenapa dia kayak gitu?" Mbak Anggie bertanya yang aku jawab dengan gelengan, seketika dia berdecak. "Angel wes angel. Iki. Harusnya kan tanya kenapa? Jangan main kabur aja. Kadang hal itu bikin tambah runyam keadaan."
Huft! Aku menempelkan kepala di atas lipatan lengan di meja, miring melihat Mbak Anggie. "Ya kan aku siyok, Mbak. Tiba-tiba kayak digeplak dari belakang nggak bilang-bilang dulu. Kan makjleb gitu. Pantes Vio benci banget sama aku, banyak bener yang Mas Ardo korbankan buatku, sampai-sampai ngelepas perempuan yang dia suka. Jahat bener kan aku, Mbak?"
Rupanya Mbak Anggi menggeleng enggak setuju denganku. "Kamu nggak jahat wong nggak tahu, yang perlu diperjelas di sini ya alasan cowokmu. Kenapa itu kamu perlu ngomong sama Ardo. Biar semuanya clear."
"Gitu ya, Mbak?"
"Iyalah, Ren. Ada masalah tuh dibicarakan bukan diem-dieman. Jadi tahu mau dibawa ke mana arahnya, lanjut apa udahan."
"Gitu." Memang sebaiknya begitu hanya saja mungkin enggak sekarang. Aku butuh waktu menata hati dan perasaan, gimana pun ini terlalu tiba-tiba.
&&&
"Sini." Mas Ardo membawaku duduk di sisinya—kami berada di rumah pribadi miliknya. Sejak tadi genggaman tangannya enggak lepas sedikit dari tanganku. Mungkin dia takut aku pergi, sebab selama beberapa waktu ini aku menghindari dia.