Anggie#2

4.9K 563 101
                                    

Yuhuuu perempuan-perempuan hebat! Jumpo lagi sama eike 😂😂 lama ya kagak sambang ini lapak wkwkwk. Cuz lah kita baca aja. Lope-lope sekebon pokoknya buat kalian semua ❤️❤️

❤️❤️❤️

Pagi itu meskipun sesak napasnya berkurang tapi tubuhnya masih lemas. Badannya kali ini benar-benar tidak nyaman, panas dingin, dan ia juga menggigil. Sangat-sangat tidak enak. Ini namanya liburan yang tak diinginkan. Lalu untuk kali ini rasanya ia ingin menangis karena tak berada dekat dengan orangtuanya —ia rindu dan berencana pulang ke kotanya. Beruntung Yuda semalam menemaninya, merawatnya dengan sabar seperti dulu, dan baru pulang setelah ia benar-benar lelap.

Tidak munafik, meskipun ia membenci pria itu tapi pertolongannya membuatnya bersyukur, setidaknya ia tidak merepotkan Rena atau saudara sepupunya. Mengingat hal tersebut pria itu ... Anggie tak tahu apa yang Yuda pikiran dengan masuk ke tempat kerjanya sedangkan ia bisa menjadi pimpinan di perusahaan orangtuanya sendiri. Alasan apa yang membuatnya ... mungkinkan karena ingin dekat dengannya? Tidak. Itu tidak masuk akal. Untuk apa dia ingin dekat padanya jika pria itu sudah mempunyai tunangan cantik seperti Amanda Manoppo.

Anggi kemudian mengusap wajahnya pelan, menghirup udara semampunya agar pernapasannya lega. Sudahlah itu bukan urusanmu, bisik hatinya. Ya benar, itu semua bukan urusannya. Ia juga bukan siapa-siapanya Yuda yang harus tahu sedetail mungkin apa, kenapa, dan mengapa dia seperti itu.

Namun, sekeras apa pun ia memerintahkan untuk tidak memikirkan hal itu tetap saja ia ingin tahu. Rasa-rasanya kalau boleh jujur perasaan cintanya untuk Yuda masih ada dan tersimpan rapi di ruang terdalam hatinya. Bahkan sampai saat ini ia berharap bisa kembali ke beberapa waktu silam sebelum ia memutuskan hubungannya dan pergi tanpa mendengar penjelasan Yuda. Ia menyesali hal itu.

"Bee, buka pintunya."

Ia melihat pintu kamar kosnya. Itu ... ck, mana mungkin itu dia. Lagipula untuk apa dia kemari? Dia mestinya kerja. Dirinya pasti salah dengar. Ia kemudian memejamkan matanya kembali.

"Bee, buka pintunya. Aku bawakan sarapan."

Matanya terbuka dengan cepat. Benar itu dia. Mau apa? Sungguh pertanyaan yang bodoh. Ia pun turun dari kasur, berjalan gontai membuka pintu kamar. Anggi berdiri di antara pintu dan daun pintu. Ia mengamati lamat-lamat penampilan Yuda.

Kaus hitam body fit melekat sempurna di tubuh Yuda hingga menampilkan dada bidangnya, perutnya yang rata, dan mempertajam warna kulitnya yang kuning langsat. Celana chinos pendek warna krem, membuat kakinya tampak jenjang, dan sepatu kets hitam menyempurnakan penampilan pria perlente ini.

"Ngapain di sini?" tanya Anggie lemah. Ia bersandar miring di daun pintu. Tubuhnya lemas karena napasnya yang pendek-pendek dan susah jadi dirinya tak bisa mengkonfrontasi pria tersebut. Karena tak ada jawaban dari Yuda—tatapan pria itu lurus ke arahnya, jelas sekali tak mempan bila diusir—Anggie pun menyingkir dari pintu, duduk di ranjang untuk mencari sandaran dan bernapas.

Yuda masuk tanpa banyak bicara. Ia ke dapur untuk memindahkan nasi ke mangkuk, sayur bayam ke panci kecil, dan telur dadar ke piring. Ia lalu mengambil sebagian makanan itu ke piring makan sebelum menyerahkan pada Anggie. "Makan dulu. Baru minum obat. Aku udah beliin obatmu yang habis," terangnya tanpa diminta. Semalam setelah Anggie tidur lelap—tidur dengan duduk—sebelum pulang ia mengecek obat yang biasa dikonsumsi wanita saat sakit. Ia pun memutuskan besok pagi-pagi akan membeli obat yang hampir habis.

Mau tidak mau Anggi merasa sangat bersyukur dengan kehadiran Yuda sekarang. Ia tadinya mengirim pesan ke sepupunya tapi mereka sekeluarga pergi ke Surabaya, sedangkan Rena ... temannya itu sedang bermasalah dengan kekasihnya, jadi kehadiran Yuda sangat-sangat ia syukuri. "Makasih."

Cerita CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang