Halooo! Ini cuplikan cerpen di Karyakarsa ya (part 1). Di sana ada total 5 part dengan jumkat6rb sekian. Monggo yg mau buka koin bisa ke KK.
Part 1
Alesha mendesah keras mengingat sikap Riffat padanya, tidak banyak bicara tapi sekalinya bicara nyelekit, hampir tidak pernah tersenyum padanya padahal dengan orang lain begitu ramah, acuh tak acuh, dingin tak tersentuh, dan susah ditebak sampai membuat Alesha bertanya-tanya, apa tujuan Riffat mengajaknya menikah kalau sikapnya seperti itu? Sangat tidak mencerminkan seorang tunangan sama sekali. Dikatakan punya tunangan tapi kayak single, dibilang single tapi punya tunangan, membingungkan.
“Kenapa lagi?” Lintang menaruh kotak makan di meja sisi kotak bekal Alesha. “Berantem lagi sama Riffat?” Ia menarik kursi menjauh dari meja untuk ia duduki.
“Nggak, Mbak, cuma ... apa ya ... aku kayak nggak bisa ngertiin dia gitu. Sikap dia nggak ada romantis-romantisnya sekali ke aku. Bukan aku mintanya diromantisin terus tapi apa ya ... paling nggak sewajarnya cowok ke pacarnya gitu,” ujar Alesha frustrasi. “Paham nggak sih Mbak maksud aku?” Ia menoleh ke arah Lintang yang mengangguk.
“Paham kok.” Lintang mengunyah sepotong daging asam manis yang ia bawa. “Kenapa nggak tanya apa alasan dia kayak gitu?” saran Lintang.
“Kalau aja aku punya keberanian, Mbak.” Kebodohan hakiki yang kadang ia sesali. Ia takut kehilangan Riffat karena terlalu mencintainya padahal kalau mau jujur, begitu melelahkan dan menguras tenaga, pikiran serta waktu Alesha untuk mendapatkan pria itu. Alesha tak ubahnya Oh Hani yang mengejar Baek Seung Jo tanpa henti dan untungnya Oh Hani berakhir bahagia sedangkan dirinya? Abstrak.
“Harus berani, Sha, kalau mau semuanya jelas. Emang mau kayak gini terus?” Lintang melirik Alesha, perempuan berambut sebahu itu menggeleng. “Ya kalau gitu kamu harus tanya yang bener. Maksud dia apa? Ngajak nikah tapi cuek gitu. Kalau kayak gitu rumah tangga kayak apa yang bakal kamu jalani nanti? Cinta boleh tapi jangan larut terus dalam kebodohan. Mentalmu, hatimu, dan waktumu pantas diselamatkan. Udah terlalu lama kan ngejar dia? Ada baiknya lepasin dia demi dirimu.”
Mungkin benar yang Lintang katakan, Alesha sudah terlalu lama berkubang kebodohan sampai-sampai tidak berpikir bahwa ia merusak dirinya sendiri dengan bertahan di sisi Riffat yang entah menganggapnya ada atau tidak. Pria itu kadang terlalu sibuk dengan dunianya sendiri hingga mengabaikan dirinya. Namun, di sisi lain Riffat bisa menjadi kekasih yang sangat romantis walaupun itu jarang sekali.
Lintang beranjak dari sisi Alesha usai mengemas kotak bekalnya ke tas bekal. “Pikirkan baik-baik. Bahagia dan sedihmu yang tentukan dirimu jadi jangan salah ambil keputusan yang nanti kamu sesali.” Ia menepuk pelan pundak kawannya itu sebelum berlalu.
###
“Sha.”
Alesha menoleh ke belakang, terlihat ibunya melongok ke dalam kamarnya. “Ya, Bun?” Ia kemudian bangkit dari rebahannya.
“Ada Riffat di bawah,” ujar Desi membuka lebih lebar pintu kamar putrinya.
Perempuan 24 tahun itu refleks menyatukan dua tangannya di depan dada dengan wajah meringis. “Bun, bisa tolong bilangin kalau aku udah tidur? Kepalaku pusing. Ini tadi mau tidur sebenarnya.” Alesha tidak sepenuhnya berbohong. Ia memang baru minum obat dan bersiap tidur saat Desi masuk.
Ibu Alesha itu mendekat, menempelkan punggung tangannya di dahi putrinya. Memang suhunya sedikit hangat. “Iya.” Ia pun berbalik dan menutup pintu kamar Alesha.
Wanita itu merebahkan tubuh, menyelimuti dirinya sebatas bahu lalu memejamkan mata. Namun, mata itu terbuka lagi saat menangkap langkah mendekat padanya. Astaga. Ia kira Riffat pergi tidak tahunya malah ke kamarnya.
Pria itu duduk di pinggir kasur depan Alesha. Riffat Menempelkan punggung tangannya di dahinya. Mungkin pria itu mengira kalau Alesha berbohong untuk menghindarinya. Ya mungkin Riffat mencium hal itu karena memang ia tengah menghindar dari tunangannya itu.
“Sha.”
Suara husky Riffat menyapa gendang telinga Alesha tapi ia tidak berniat membuka matanya. Ia terlalu lelah dan malas untuk sekedar bicara yang nantinya akan membuatnya kesal atau sakit hati sebab dicuekin atau kata-kata pedas Riffat muncul.
“Aku bawain kue bolu.”
Itu kue kesukaan Alesha tapi wanita itu mengabaikan godaan kue bolu tersebut. Ia bertahan dalam pura-pura tidurnya dan sepertinya obat yang diminumnya mulai bekerja dan membawanya dalam kedamaian.
Riffat tersenyum. Ia tahu Alesha pura-pura tidur dan sekarang sepertinya wanita itu benar-benar tidur. Ia mengulurkan tangan, mengusap pipi Alesha berulang kali lalu mengecupnya lama. “Cepet sembuh,” bisiknya lalu mengecup bibir lembut tunangannya itu.
Pria 38 tahun itu lalu beranjak pergi usai meninggalkan kecupan di dahi Alesha. Menatapnya lama sebelum benar-benar keluar kamar. Tadinya Riffat akan mengajak wanita itu keluar seperti permintaannya minggu lalu—saat itu dirinya tidak bisa karena harus menyelesaikan kesepakatan dengan calon investor—tapi gagal karena Alesha demam.
“Shasa tidur?” tanya Desi kala melihat Riffat bergabung dengan mereka—suaminya dan putra sulungnya yang juga teman Riffat.
“Iya, Bun.” Riffat mendaratkan bokongnya di sisi Alvaro. “Tumben anteng di rumah? Biasanya juga hilang dari line.” Ia mengeluarkan rokok serta korek api dan menaruhnya di meja.
“Cari aman dia, Fat,” sahut Desi. “Habis dihajar Ayah. Udah tua bukannya bener malah minus aja kelakuannya. Pulang pake mabuk berat, paginya dihajar Ayah. Kapok.”
Alvaro merengut mendengar ucapan ibunya yang malah senang ia dihajar oleh ayahnya. “Bunda bukannya kasihan sama anak malah seneng banget lihat aku dihajar,” protes Varo tak terima.
Wanita yang tak lagi muda itu mencibir putranya. “Orang kayak setan kok dikasihani. Kalau kayak malaikat itu baru Bunda sayang-sayang.”
Riffat tersenyum menyimak pertengkaran sahabat serta calon mertuanya itu. Ia suka adu mulut yang terjadi sebab ia tidak akan bisa merasakannya di rumah. Bukan karena keluarganya pecah tapi ia anak satu-satunya. Dulu ia punya adik perempuan tapi meninggal karena sakit.
“Mama sama papamu gimana kabarnya, Fat?” tanya Teguh, ayah Alesha.
“Alhamdulillah baik, Yah. Tapi ya tetep gituu nggak bisa diem, ada aja yang mau dikerjakan sampai Mama marah-marah,” ujar Riffat. “Oh ya, Bun, kemarin Mama aku minta buat daftar apa saja yang diperlukan buat lamaran dan nikah. Mungkin nanti Mama bakal telepon Bunda,” papar Riffat menghadap bundanya Alesha.
Desi mengangguk. “Wes sepakat tanggalnya sama Shaha?”
“Belum, Bun. Mungkin kalau dia mendingan aku tanya. Atau Bunda aja yang tanya.” Riffat ragu wanita itu mau bicara padanya sebab sudah beberapa hari ini tak pernah mengirim pesan atau meneleponnya hanya untuk sekedar bertanya di mana atau sudah makan.
“Ok.”
Tbc.
Cerita ini masuk di seri Sebuah Kisah Cinta. 😁😁
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.