Halooo! Kita ketemu Mas Bara alias Baruna dan Rista. Nggak ada momen khusus sih cuma ide ini udah nyolot banget minta keluar jadi ya dibkin deh cerpen wkwkk. Untuk versi panjang nunggu kelarin trilogi keluarga Tamawijaya. Plus lagi suka sama lagu-lagu Afgan, so judulnya pake salah satu judul lagu dia hahaha. Happy readingn sista-sistaku tercinta.
###
Aku tak sampai hati melihat Mas Baruna yang seperti orang linglung begitu. Ya sekuat dan setegar bagaimanapun seorang pria tak akan sanggup melihat kekasihnya bersanding dengan pria lain, apalagi itu orang dikenalnya. Farah dan Galih. Entah bagaimana ceritanya, hari yang harusnya menjadi bersejarah untuk Mas Baruna menjadi hari bahagia Farah dan Galih. "Mas nggak harus ke sana kalo memang nggak mampu." Benar bukan? Mas Baruna tidak harus berdiri tegak seolah tak terjadi apa-apa padanya saat ditikam oleh temannya sendiri dan kekasihnya.
Sejujurnya aku sakit melihatnya begini sebab begitu besar rasa cintaku padanya, sayang Mas Baruna lebih dulu menitipkan hatinya pada Farah. Bertahun-tahun bersama tak bisa untuk tidak menyukai Mas Baruna. Dia tak hanya baik tapi berkharisma dan sayang keluarga. Pria itu memelukku. Dia menangis sampai tubuhnya berguncang. Bahkan seorang laki-laki pun memiliki hati dan perasaan yang bisa sakit hati dan bersedih. Aku membalas dekapannya, mengusap punggung lebarnya hingga dia tenang. Aku tahu pasti rasanya patah hati tapi mungkin level yang dialami Mas Baruna lebih tinggi dan mungkin saja aku belum mampu menahannya sekuat dia.
"Kita pulang saja ya, Mas," saranku. Itu lebih baik daripada menyaksikan Farah tertawa bahagia bersama Galih. Mereka benar-benar berengsek! Apa tak terpikir sedikit pun bagaimana perasaan Mas Baruna akan ulah mereka? Andaikata Farah sudah tak mencintai pria itu, dia bisa jujur dan menyudahinya tidak menikamnya seperti ini yang sakitnya jauh lebih sakit.
Mas Baruna tak membantah kata-kataku. Dia melepas pelukannya dan pindah tempat saat aku perintahkan. Dia seperti orang dihipnotis yang menurut saja perintah si pelaku. Kami pulang dalam keadaan hening. Dia tengah melamun dan aku lebih memilih fokus pada jalan memberinya waktu untuk berdamai dengan lukanya.
Sampai di depan rumahnya kami turun. Aku mengikutinya dari belakang dan memberi salam pada mamanya. Tampak kekhawatiran di paras cantiknya walaupun di usianya tak muda lagi. Ya wajar saja sebagai orang tua terlebih Mas Baruna satu-satunya putra mereka. Mereka pasti takut terjadi apa-apa pada dia.
"Mama khawatir sama Bagong, Ta. Mama takut dia mikir pendek," ungkap Mama Lisa.
Aku merangkulnya sambil menghelanya ke sofa. "Insyaallah baik-baik saja, Ma. Mas Bara hanya butuh waktu dan support kita saja."
Meski begitu cemas yang dirasakan Mama Lisa tidak hilang begitu saja sebab hal ini benar-benar mengguncang kestabilan mental Mas Baruna. Pernikahan yang digadang-gadang harus gagal karena Farah memilih Galih yang lebih dari laki-laki tersebut. Sesungguhnya Mas Baruna bukan orang tak mampu atau levelnya lebih rendah dari Galih tapi semua itu kembali pada tulisan jodoh yang sudah Tuhan goreskan. Mau sekaya apa pun jika Tuhan tak berkenhendak kita sebagai umatnya bisa berbuat apa.
"Rista pulang ya, Ma. Tadi Bunda sudah telpon terus."
###
"Ta."
Aku menatap Mas Baruna di pintu kamar. Dia terlihat tampan dengan baju koko dan sarung hitamnya, seperti dia mau ke masjid salat Isya'.
Dia melangkah masuk lalu duduk di ujung ranjang. "Temenin aku ke acara nikahan Dika."
"Kapan, Mas?"
"Nanti habis Isya"
Aku berdecak kecil, menatapnya sengit tapi pria itu cengengesan. "Mesti dadakan ngajaknya. Untung aku lagi nggak ada janji sama temen."