Bolehkah?

2.3K 323 174
                                    

Halooo! Langsung baca aja ngoahahha 😁

🌺🌺🌺

Tidak ada yang lebih menyedihkan dinikahi hanya untuk menjadi mesin pencetak keturunan. Itulah yang ibunya katakan saat datang lamaran untuk adiknya tapi malah dirinya yang diajukan. Selain untuk pencetak keturunan, keluarga pria itu dinilai kurang berada atau jika ada tingkatan kekayaan, keluarga tersebut hanya ada di tingkat enam sedangkan yang diinginkan ibunya paling tidak level delapan. Setelah menikah Gita pun diboyong ke rumah keluarga Bayu, karena pria itu anak satu-satunya.

“Bu Mimin, saya boleh ikut ke pasar?” tanya Gita pada rewang di rumah mertuanya.

“Boleh, Mbak. Kebeneran jadi ada yang bantuin Ibu.”

Gita membawa keranjang belanja. Keranjang itu terbuat dari plastik yang dianyam. Mereka berjalan ke pasar di ujung kampung sambil bercerita. Dengan Bu Mimin, Gita merasa nyaman, mungkin karena beliau orangnya ramah. Namun, berbeda halnya dengan mertuanya. Gita merasa ada sekat di antara mereka. Entah karena ia bukanlah menantu yang diharapkan atau karena dirinya tak kunjung hamil padahal sudah menikah selama lima bulan, Gita tidak tahu.

Sampai di pasar, mereke membeli bahan-bahan makanan yang akan mereka masak untuk tiga hari ke depan—kebiasaan mertuanya. Tak jarang mereka harus berhenti sejenak untuk ngobrol dengan penjual yang sudah akrab.

“Sudah isi belum, Git?” tanya Bu Semi si penjual ikan segar.

Wanita 25 tahun itu menggeleng. “Doa’kan segera ya, Bu.” Pertanyaan yang sudah ia antisipasi setelah menikah. Pertanyaan umum yang pasti akan ditanyakan.

“Banyak-banyakin makan kecambah biar subur,” timpal pedagang tahu samping Bu Semi.

“Iya, Bu.” Gita membalasnya tanpa emosi.

“Minum jamu seger-segeran bikin kandungan adem.”

Gita mengangguk. “Iya, Bu. Pamit dulu, Bu.”

Ya bagaimana akan hamil jika selama lima bulan ini Bayu enggan menyentuhnya. Mungkin pria itu kecewa bukan Ririn yang jadi istrinya. Tapi bukankah Bayu akan menolak Gita jika tak menyukainya?

Bu Mimin pun iba mendengar Gita ditanya seperti itu. Bukankah hal itu merupakan ranah pribadi yang tidak patut ditanyakan? “Mbak Gita nggak tersinggung ditanya begitu?” tanya Bu Mimin.

Wanita penyuka ungu itu menggeleng. “Sudah kebal. Saya anggap pertanyaan itu bentuk kepedulian mereka. Jadi ya biasa saja.”

“Moga segera dikasih momongan ya, Mbak, biar nggak ada mulut-mulut usil yang julidi Mbak.”

Gita tersenyum sebelum mengangguk. “Amin.”

###

Kasak-kusuk di belakang terdengar saat Gita dan Bayu datang menghadiri pernikahan anak kepala desa di kampungnya ini. Gunjingan yang tidak jauh dari kondisinya yang belum hamil juga padahal sudah enam bulan berumahtangga. Bahkan mereka membanding-bandingkan Gita dengan wanita yang dulu digadang-gadang sebagi istri Bayu yang baru menikah dua bulan langsung hamil.

Tidak hanya itu, adik Gita—nomor dua—baru sebulan menikah dengan anak juragan tebu juga langsung hamil. Kalau orang jawa bilang ‘mapak’ yang artinya nikah saat haid, bulan berikutnya hamil. Gita yang mendengar itu pun hanya mampu tersenyum walaupun sakit hati, tapi apa boleh buat karena itu
kenyataannya. Tapi yang paling kejam adalah kabar burung yang beredar kalau ia mandul. Ya Tuhan, andai mereka tahu penyebab dirinya tak kunjung hamil pasti hanya bisa berkata O saja.

“Mau saya ambilkan makanan, Mas?” tawar Gita yang duduk di kursi plastik sisi Bayu.

“Boleh.”

Gita berdiri lalu berjalan ke meja prasmanan. Ia mengambil sedikit nasi, fillet ayam asam manis, dua buah udang goreng, dan cah kailan daging sapi. Tak lupa mengambilkan es lumut untuk Bayu. Ia menyerahkan pada pria itu lalu duduk di sisi suaminya.

“Kamu nggak makan?” ujar Bayu.

Cerita CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang