Holaaa! Ketemu di sini wkwkw. Btw, ini tuh udah 2.500 kata tapi belum kelar. Jadi bakalan aku bagi 2 yes 😁
###
Ya Tuhan! Gazza sudah hampir frustrasi menetap di kampung halamannya ini. Tidak hanya jauh dari kota tapi juga terbatas. Tidak ada mal besar, tidak ada tempat hiburan apalagi kafe-kafe 24 jam, layanan pesan antar, dan klinik kesehatan kecil. Dan juga pelayanan di balai desa juga tidak bisa secepat di kota. Astaga!
"Za, wes bangun, le?" Bu Leni mengetuk pintu kamar putranya seperti biasanya. Terdengar sahutan dari Gazza. Ia pun beranjak dari depan kamar pria kelahiran 1986 tersebut.
Gazza menghela napas sebelum keluar kamar untuk bergabung di ruang makan. Di sana sudah tampak Bapak dan ibunya bersiap untuk sarapan. Pria itu menarik kursi kayu, tarikannya menimbulkan derit yang cukup nyaring.
"Le, kamu nggak pengin nikah ta? Umurmu wes cukup kui lho." Leni menaruh roti, selai, dan kopi di depan Gazza.
"Nantilah. Belum ada yang cocok," jawab Gazza. "Bu, telornya mana?"
"Lho ya. Sek." Bu Leni memanggil pekerjanya. "Tari. Nduk, telornya mana?"
Sedetik kemudian perempuan yang dipanggil Leni keluar membawa dua buat telur mata sapi. Ia meletakkan piring kecil di sisi kopi Gazza. Perempuan itu pun kembali ke dapur untuk melanjutkan pekerjaannya.
"Kui anak e baik, Le. Tapi sayang Bapak e ngudo ae. Ibuk sampai mesakno. Kerja buat biayain ibuk sama adik e. Bapak e kerjo gur gawe seneng-seneng dewe," ujar Bu Leni menceritakan kisah Mentari yang lebih akrab dipanggil Tari.
"Hmm." Hanya seperti itu reaksi yang Gazza berikan. Ia tidak begitu mengenal perempuan itu selain sebagai pekerja ibunya.
####
Di lain waktu, Gazza mendapati Tari menangis di halaman belakang rumahnya saat ia mencari ibunya. Suara sengguknya terdengar nyaring karena sepi. Nurani Gazza tergerak untuk mencari tahu alasan dari tangisan Tari. "Ada masalah?" tanyanya.
Mentari sontak menoleh ke belakang. Anak majikannya itu bersandar di kusen pintu, tangannya bersedekap, dan tatapannya lurus pada Mentari. Ia pun segera menghapus air matanya lalu berdiri menghadap Gazza. Ia menunduk untuk menutupi matanya yang bengkak. "Mboten, Mas."
"Kalau nggak ada apa-apa, kenapa nangis?" Tidak mungkinkan melihat drama Korea wong perempuan ini tak membawa ponsel.
"Itu ...."
Gazza beranjak dari tempatnya. Ia tidak perlu penjelasan Mentari meskipun ingin tahu. Lagipula kenapa ia ingin tahu urusan perempuan yang tidak ada hubungan dengannya? Gazza bukan orang sabaran, jadi sekali bertanya tak mendapat jawaban, jangan harap ia akan bertanya kembali.
Mentari mengangkat wajahnya setelah dirasa langkah tuan mudanya tak terdengar lagi. Ia sangat gugup bila berada dalam jarak dekat dengan pria itu, seolah kehadiran Gazza membawa kekacauan yang mampu memporak-porandakan dirinya.
Namun, reaksi dirinya pada Gazza sangat aneh. Berbeda saat ia dekat dengan Azhar. Apakah ia mempunyai perasaan lebih pada tuan mudanya itu? Ah, mungkin ini hanyalah rasa kesepiannya saja, di mana ia memerlukan seseorang untuk tempat berbagi cerita.
Andaikata benar ini perasaan suka, tetap saja tidak akan bersambut. Mentari tidak lupa bagaimana status sosial mereka. Lalu keluarga mana yang akan memilih menantu dari kalangan miskin? Tidak ada. Memang benar Bu Leni dan Pak Roni baik padanya, tetap saja menginginkan menantu dari status ekonomi yang sama.
####
"Le, kenapa tiba-tiba mau nikah sama Tari? Kamu nggak ngelindur ta?" Bu Leni tidak percaya dengan apa yang ia dengar dari bibir putranya.