(02)

198 17 5
                                        

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Malamnya kemudian

Terlihat sebuah kertas yang menumpuk tinggi seperti menara di atas meja. Kertas laporan dari para karyawan dengan hasil yang tetap saja sama, kerugian. Tetapi pemasukan juga mulai bertambah setiap kali ada perusahaan lain mengajak kerja sama.

Aku terdiam berdiri memandangi keluar lewat jendela kantor ku, suasana sangat padat. Hari ini tidak biasanya malam dengan keadaan mendung. Para karyawan juga sudah izin untuk pulang karena waktunya, sepertinya untuk hari ini aku akan pulang cepat.

"Sepertinya Astra akan senang jika aku pulang lebih cepat." Seketika aku langsung bersiap-siap.

Setelah semuanya sudah cukup untuk dibawa pulang, akhirnya aku keluar dari kantor ku untuk pergi ke tempat parkir mobil. Terlihat sepi dan sunyi gedung ini bila sudah waktunya pulang, mungkin hanya penjaganya saja yang setia menjaga gedung perusahaan ku ini.

Saat berada di tempat parkir mobil, tidak sengaja bertemu dengan penjaga di sana. Sehingga aku memerintahkannya untuk pulang sebelum hujan turun.

"Baik pak, terima kasih," ucapnya.

"Berhati-hatilah dijalan." Ia mengiakannya dan pergi berpamitan.

Sepertinya kalau menjadi baik akan selalu di hormati, aku langsung pergi ke mobilku dan menyalakannya. Hingga akhirnya, aku pergi dari gedung ini dan pulang begitu saja.

Dalam perjalanan, tidak jauh dari gedung ku. Terlihat sebuah gubuk kecil yang selalu aku lihat setiap pulang kerja, namun terlihat seseorang meneduh di sana. Walaupun hujan telah turun, aku memberhentikan mobilnya tepat di depan gubuk itu.

"Bukankah itu, Seven?" tanyaku heran yang ternyata ia adalah orang yang aku tolak sebelumnya.

"Kenapa dia bisa berada di situ dengan keadaan sepertinya ini?" Ucapku yang langsung turun dari mobil.

Tanpa payung keluar dari dalam mobil untuk menghampirinya, ia terkejut dan tidak ingin mendekatiku sama sekali. Sepertinya ia masih teringat dengan perilaku ku tadi kepadanya.

"Saya paham ... Saya minta maaf," ucapku untuk mencoba mendekatinya.

"A-aku baik-baik saja, tuan." Ucapnya terbatah-batah.

Ia memang mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja, tetapi tidak dengan matanya. Sebuah air keluar dari matanya yang indah, semakin membuatku merasa bersalah kepadanya walaupun kita baru saja kenal. Sehingga pada akhirnya aku mencoba mengatakan sesuatu padanya agar bisa mendekatinya.

"Tolong, maafkan saya ... Saya benar-benar lalai karena sedang merasa pusing," jelasku.

"Saya ke sini hanya ingin membantumu untuk pulang," ucapku lagi membuatnya perlahan melirikku.

"A-aku tidak punya rumah untuk pulang, tuan," ucapannya yang membuatku terkejut.

"A-aku hanya hidup sebatang kara." Lanjutnya.

Benar-benar kejamnya diriku yang telah memarahinya sebelumnya, sebagai balasannya aku harus menampungnya di rumah. Sehingga aku mengajaknya untuk pulang ke rumahku, mungkin awalnya ia menolak tetapi karena tidak ada pilihan lagi, akhirnya ia menerima ajakan ku.

Perlahan aku menyuruhnya untuk masuk ke dalam mobil, begitupun diriku. Saat sudah di dalam mobil, akhirnya perjalanan pun kembali berlanjut. Tetapi, tidak ada dialog diantara kita. Sepertinya ia tetap merasa takut kepadaku karena kejadian sebelumnya, benar-benar kejamnya diriku.

"Saya minta maaf untuk kesekian kalinya," ucapku memulai perbincangan.

"Saya gak bermaksud untuk kasar, tetapi karena amarah saya sedang tidak baik," jelasku padanya.

Paksaan berujung MencintaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang