(03)

129 15 18
                                    

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Besoknya kemudian

Tidak terasa waktu begitu cepat, hari sudah berganti begitu saja. Perlahan-lahan aku terbangun dalam keadaan penglihatan yang buram, namun aku dapat melihat seseorang telah masuk ke kamar ku. Setelah penglihatan ku kembali semula, seketika aku langsung menghampirinya begitu saja.

"Apa yang kamu lakukan di sini!" ucapku kesal.

"Hanya meletakkan sarapan tuan," jelasnya.

"Sudah saya katakan, itu bukan urusanmu ... Pergi dari kamar saya dan jangan pernah berani masuk lagi ke sini!" Seketika ia hanya tersenyum dan pamit begitu saja.

Pagi seperti ini saja sudah membuatku terpancing amarahnya, aku membuang napas kasar dan memilih untuk mandi agar dapat menyegarkan tubuhku dan pikiran ku.

Singkat waktu, setelah mandi dan menggunakan pakaian yang lain. Aku pergi keluar dari kamar dan melangkah turun ke bawah, saat melangkahi beberapa anak tangga. Terlihat adikku tengah sibuk dengan laptop miliknya di ruang tengah.

"Astra?" panggilku menghampirinya.

"Ya kak?" ucapnya sambil memandangi layar laptop.

"Apa yang kamu sedang lakukan?" tanyaku penasaran.

"Aku sedang buat laporan makalah, dosen nya benar-benar mendadak memberikan tugas!" ucapnya penuh kekesalan.

"Namanya juga kuliah, kakak juga dulu gitu ... Ya sudah, yang semangat kerjainnya." Ia hanya mengiakannya dan kembali fokus pada laptopnya.

Melihatnya sedang mengerjakan tugasnya, aku perlahan pergi meninggalkannya dan pergi ke dapur untuk melihat makanan yang ada. Saat berada di dapur, aku terhenti melihatnya yang sedang mencuci piring. Seketika, nafsu makan ku menghilang karenanya.

"Apa tuan sudah sarapannya?" tanyanya yang menghentikan ku untuk pergi.

"Saya suruh pembantu lain menyingkirkan masakanmu dari kamar saya," ucapku dingin hati yang langsung membuka kulkas.

"Ada makanan ringan yang tuan suka di dalam kulkas," ucapnya membuatku semakin kesal.

"Saya hanya memeriksa bahan pokok yang habis, bukan ingin makan." Kesalnya diriku.

Saat memeriksa beberapa hal di dalam kulkas, perlahan ia mendekatiku sambil mengeluarkan sebuah potongan kertas dari sakunya. Dan kertas itu langsung di berikan kepadaku begitu saja.

"Ini dia tuan, catatan bahan pokok yang habis," lirihnya.

"Apa Astra yang mencatat ini semua?" tanyaku penasaran.

"Tidak tuan, tetapi aku yang telah mencatatnya." Jelasnya membuatku terdiam sejenak.

Tidak ada pilihan lagi selain menerima sepotong kertas ini, saat di baca ternyata banyak sekali bahan pokok yang telah habis. Pantas saja adikku selalu mengeluh karena diriku selalu bekerja, padahal hampir setiap hari aku mengirimkan uang kepadanya. Sepertinya hari ini harus berbelanja yang cukup banyak.

"Jaga Astra, saya akan pergi membeli bahan pokok ini," hendak ingin pergi tetapi tertahan olehnya.

"Aku izin ikut tuan, karena ada sesuatu yang harus aku beli untuk Astra," ucapnya.

"Astra ingin sesuatu? Katakan saja, jangan membuang waktu saya." Ucapku kesal tetapi tidak ada jawaban sama sekali darinya.

Tidak ada sepatah kata yang keluar dari mulutnya semakin membuatku marah padanya. Aku pergi meninggalkannya begitu saja, menaiki anak tangga dengan langkah gajah dan masuk ke dalam kamar. Bersiap-siap untuk pergi ke supermarket, setelah selesai, aku mengambil kunci mobil dan pergi keluar.

Langkah demi langkah, saat ingin membuka pintu untuk keluar. Adikku memanggilku, sehingga aku terhenti dan melirik perlahan ke arahnya.

"Kakak ingin pergi?" tanyanya penasaran.

"Ya, ada apa adikku?" ucapku.

"Kalau berbelanja sama kak Seven aja, aku nitip sesuatu padanya," jelasnya membuatku sedikit kesal.

"Kenapa tidak bilang langsung saja ke kakak?" ucapku padanya.

"Kakak selalu lupa apa yang aku inginkan, jadi biarkan saja dia ikut pergi bersama kakak!" Mintanya yang membuatku harus mengalah.

Tidak ada pilihan lagi selain mengalah, permintaan adikku harus aku tepati daripada ia bersedih. Selagi tidak merugikan diriku, apapun bisa dilakukan untuknya. Namun, bertahun-tahun diriku memiliki pembantu, pertama kali ini berbelanja dengan pembantu ku.

Saat semuanya sudah siap, akhirnya aku bersamanya pergi menggunakan mobil. Akan tetapi supermarket cukup jauh jaraknya dari rumahku, sehingga membutuhkan jarak tempuh yang lama untuk sampai di sana. Dalam perjalanan ini, sama sekali tidak ada yang membuka perbincangan.

Sungguh, pagi-pagi seperti ini, aku harus menahan rasa amarahku karenanya. Ujian yang terberat untukku karena menyesal telah menampungnya di rumah.

"Apakah kamu bisa tidak usah mengusik kehidupan saya?" ucapku memulai.

"Mengusik? ... Aku hanya membantu saja, tuan," lirihnya.

"Membantu? ... Jangan merasa permintaan maaf saya padamu karena takut," ucapku padanya.

"Lagian juga saya menyesal membawamu pulang ke rumah saya." Lanjutku mengakhiri perbincangan.

Kehidupan ku tidak sepenuhnya berubah, namun aku merasa sangat terganggu karenanya. Setelah ia di perkerjakan sebagai pembantu, selalu saja membuatku kesal. Pantas saja ia tidak mendapatkan kerjaan sebelumnya, seharusnya aku tidak perlu meminta maaf padanya.

Tidak lama setelahnya, akhirnya sampai juga di supermarket yang terkenal di kota ini. Setelah selesai memparkirkan mobilnya, aku turun bersamaan dengannya. Seharusnya tidak lama untuk berbelanja di sini, sehingga kita masuk ke dalam supermarket itu dan mengambil keranjang.

"Jika ada seseorang yang bertanya tentang kita, jangan pernah menganggap bahwa kita sudah menikah," ketusku padanya.

"Baik tuan, apapun yang tuan katakan." Lirihnya.

Pada akhirnya kita berbelanja kebutuhan sesuai dengan apa yang di catat di kertas ini, semua hal yang di beli telah masuk ke dalam keranjang. Saat sedang berbelanja, seluruh mata tertuju pada kita. Mungkin pikiran mereka kita adalah suami istri yang sedang belanja, walaupun itu harus ditolak secara mentah-mentah.

Namun, saat sedang berada di bagian tempat makanan pokok. Terlihat ia sedang mengambil sesuatu yang berada di atas, aku membiarkannya dan membaca catatan yang belum tuntas di beli, sehingga sesuatu terjadi begitu saja.

"Ini dia, kak ... Suamimu benar-benar kejam, tidak peka terhadap istrinya," ucapan itu benar-benar menghinaku.

"Maaf tuan, terima kasih." Lirihnya ia.

Tidak ambil diam, tanpa berkata apa-apa. Aku langsung menghajarnya begitu saja, hingga wajahnya memar karena pukulan ku.

"Jaga ucapanmu, atau hari ini kamu akan saya kembalikan kepada Tuhan!" marahku pada orang asing itu.

"M-maaf t-tuan!" Takutnya yang langsung melarikan diri.

Suasana seketika hening, tidak ada satupun seseorang yang berani mendekati ataupun menengahi. Sehingga amarahku memuncak, aku langsung menghampirinya dan menariknya untuk lebih dekat lagi dengan ku.

"Apa yang sudah saya katakan tadi? ... Jangan pernah beranggapan kalau kita sudah menikah," marahku berbisik padanya.

"Maaf tuan." Balasnya takut.

Tidak ingin berlama-lama lagi, aku langsung meninggalkannya begitu saja untuk kembali berbelanja agar bisa cepat pergi dari sini. Sungguh amarahku memuncak kembali karenanya, sepertinya lain kali aku tidak akan pernah ingin berbelanja bersamanya lagi.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Bersambung ?

Paksaan berujung MencintaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang