.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Siangnya kemudianLayar laptop menyala terang benderang di atas meja dengan ditemani sebuah buku dan pulpen di sampingnya. Secangkir kopi hangat dan sebuah handphone yang berada di telingaku, menelpon seseorang dari seberang sana.
"Ikuti apa yang saya katakan, siapkan acara yang meriah untuk bulan depan," sahutku sambil mengutak-atik laptop.
"Baik pak, lalu bagaimana dengan perusahaan bapak?" tanyanya.
"Kita akan menunjukkan identitas perusahaan, dan menindas semua perusahaan yang pernah menginjak nama kita," jelasku padanya.
"Ah baiklah pak, kami akan segera melakukannya dari sekarang," ucapnya mematuhiku.
"Laksanakanlah sekarang, bulan depan sudah harus siap semuanya ... Tanggal 7 acaranya, sesuai dengan nama calon istri saya." Jelasku yang langsung menutup teleponnya.
Handphone pun diletakkan di atas meja, kembali mengutak-atik laptop dan mencatat suatu hal di buku. Semua data perusahaan yang pernah menginjak nama ku, sudah tercatat jelas di buku ini. Tinggal menunggu aku menindasnya hingga namanya menghilang dari kota ini.
"Tuan," seseorang memanggil dan menghampiri.
"Ada apa?" tanyaku tanpa melihatnya.
"Apakah tuan tidak ingin istirahat? ... Dokter menyarankan untuk istirahat," tanyanya yang membuatku berdesis kesal.
"Tidak ada kata istirahat di hidup saya, lagipula saya sedang menyiapkan acara pernikahan kita," jelasku padanya yang langsung meliriknya.
"Tetapi bukannya bisa lain waktu saja, tuan?" muak sekali mendengar pertanyaannya.
"Sudahlah Seven, kamu belum jadi siapa-siapanya saya ... Setelah menikah, kamu boleh mengatur saya sepuas hatimu." Ketusku padanya yang langsung kembali menatap layar laptop.
Terlihat ia hanya pasrah dan pergi begitu saja meninggalkan ku di ruang tengah, walaupun keadaan sedang terbalut perban, tetapi itu tidak menjadi masalahku untuk melakukan suatu hal yang aku inginkan. Memaksa diri adalah kebiasaan ku sehari-hari.
Tidak lama itu, seseorang turun dari tangga dan menghampiriku begitu saja. Awalnya aku tidak melihat ke arahnya dan tidak mendengar apa yang ia bicarakan, hingga ia berdesis kesal dan berteriak memanggilku.
"Kakak! Dengar tidak!" teriak adikku.
"Ya, kakak dengar," jawabku dingin hati.
"Aku ingin pergi kuliah, kakak tidak masalahkan kalau aku pergi?" tanyanya dengan nada kesal.
"Pergi kuliah? ... Memangnya sudah tidak zoom meeting lagi?" tanyaku heran kepadanya.
"Tidak tahu, dosennya yang meminta seluruh mahasiswa-siswi nya untuk berkumpul di sana," jelasnya sambil melihat handphone nya.
"Ya sudah kalau begitu, hati-hati saja ... Kabarin kakak jika ada hal buruk terjadi padamu." Ia hanya mengangguk dan pamit pergi padaku.
Pintu pun tertutup kembali, sekarang tersisa diriku dengannya di rumah ini. Seperti hari-hari biasa, para pembantu mengerjakan tugasnya dan para penjaga menjaga di pos tempatnya. Namun, aku merasa bersalah kepada adikku. Mungkin karena diriku terluka seperti ini, tidak bisa menepati janjinya yang ingin pergi ke pantai bersamanya.
Padahal sebelum pergi ke pemakaman, ia benar-benar tidak sabar untuk pergi ke pantai. Harusnya hari ini adalah hari pertama kalinya ia pergi ke sana, tetapi sayangnya dibatalkan karena hari buruk ku.
"Persetan dunia," ketusku saat teringat hal itu.
"Apakah buyut sialan itu marah padaku?" Penasaran diriku yang terpikirkan akan suatu hal.

KAMU SEDANG MEMBACA
Paksaan berujung Mencintai
De TodoIkatan cinta abadi tidak mudah untuk di bangun bersama, mungkin itu kata-kata yang tepat sebagai kunci jawaban untuk mematahkan suatu kutukan pada seorang anak lelaki ini. Kutukannya berupa gangguan jiwa, sehingga ia tidak dapat merasakan cinta. Tet...