(07)

110 15 14
                                        

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Dalam perjalanan, menuju sebuah gunung yang tidak berpenghuni hingga titik tertinggi. Akhirnya sampai di sebuah pemakaman terkhusus dengan di hiasi patung singa di setiap sisinya, sebuah gerbang yang runcing mencula tinggi ke atas.

Aku memakirkan mobilnya dan mematikan mesinnya, setelah semuanya sudah siap. Aku turun sembari membawa sebuah kunci khusus, namun saat hendak ingin membuka gerbangnya. Ia membuka mulutnya untuk bertanya.

"Tuan," lirihnya memanggil.

"Ada apa?" ucapku cuek sembari membuka kunci gerbangnya.

"Apakah ini pemakamannya?" tanyanya dengan nada sedikit takut.

"Tentu saja kak Seven, kami adalah keturunan darah biru ... Apa kakak tidak tahu itu?" sahutnya adikku membalasnya.

"T-tidak, kerajaan apa kalian?" tanyanya sedikit terbatah-batah.

"Kami keturunan kerajaan singa, King of Lions." Ketusku kepadanya yang langsung membuka gerbangnya dengan sekuat tenaga.

Tidak ingin membuang waktu banyak, setelah gerbang terbuka, aku langsung pergi masuk ke dalam dan meninggalkan mereka berdua. Langkah demi langkah, saat berjalan, di setiap sisi terdapat patung singa yang berbeda-beda. Membuat suasananya mencengkram mungkin karena terlalu mengerikan.

Sudah lama sekali ini di tinggalkan dan tidak di rawat kembali oleh kita, bagaimana bisa merawatnya, datang ke sini saja sudah membuatku merinding. Benar-benar seperti hutan belantara, tidak ada kehidupan selain burung gagak hitam yang selalu menempatinya.

"Benar-benar mengerikan," takutnya ia melihat sekeliling.

"Tidak apa-apa, kak ... Aku selalu bersama kak Seven!" sahut adikku.

"Tidak ada apapun di sini, Seven ... Hanya patung yang berlumutan di sini," ketusku padanya.

"Ya tuan, lalu di mana makam orang tua tuan?" Lirihnya bertanya namun tidak aku hiraukan.

Seketika hening, tidak ada lagi dialog dan suara dari mulutnya. Tetapi langkah demi langkah, akhirnya kita sampai juga. Sebuah batu nisan yang besar dan tinggi, dengan ukiran nama di batunya. Dan juga sebuah patung singa di tengah-tengah kedua batu nisan ini.

Aku bersama adikku menadahkan kedua tangan kepada batu nisan ini, berdoa bersama-sama dan mengucapkan suatu salam pada batu itu.

"Amen," serentak aku bersama adikku mengucapkannya.

"Amen ...," lanjutnya ia dengan suara kecil.

"Sudah lama sekali kita tidak ke sini, kak," ujar adikku setelah berdoa bersama.

"Mungkin kakak terlalu sibuk dengan kerjaan, sehingga lupa untuk mengunjungi makam ayah ibu," jelasku padanya dengan sedikit senyuman.

"Tetapi setidaknya, sekarang kita sudah ada di sini." Sahut adikku dengan senyuman manisnya.

Rasa rindu ku kepada mereka terbayarkan walaupun sebatas mengunjungi pemakamannya, namun setidaknya itu membuat hatiku lega dan tenang. Setelah berdoa dan mengeluarkan sedikit cerita pada batu nisan itu, adikku perlahan-lahan berjalan-jalan di sekitaran pemakaman. Melihat apa yang telah tersimpan di tempat belantara seperti ini.

Awalnya aku ingin menahannya tetapi teringat dengan perasaannya, akhirnya aku mengizinkannya asalkan tidak terlalu jauh dari jarak batas pemakaman ini. Tersisa diriku bersamanya, aku berdiri sejenak memandangi kedua batu nisan itu, lalu perlahan melihat ke arah jari telunjuk ku.

"Ayah ibu, kalian pasti mendengar ucapanku," ucapku pada kedua batu nisan itu.

"Cincin ini akan menjadi saksi bahwa aku akan berhasil mematahkan kutukan buyut itu, apapun konsekuensinya," sumpahku yang seketika membuat seluruh burung gagak bersuara sangat keras.

"Aku dan adikku akan menjadi keturunan darah biru yang sesungguhnya!" Teriakku bersumpah menciptakan suatu angin yang kencang berhembusan.

Tidak tahu apa yang terjadi pada alam semesta, perlahan-lahan burung gagak hitam itu pada berterbangan dan berteriak akan suatu hal, angin berhembusan begitu kencang dari arah yang berlawanan. Aku merasa sumpahku telah di dengar oleh kedua orang tua ku, sehingga alam pun mendukung perbuatan ku.

Tidak berkutik dan tetap berdiri mematung memandangi kedua batu nisan itu, tidak ada yang di pikirkan kembali selain merenungi nasibku sekarang.

"Tuan," panggilnya lirih.

"Ada apa?" jawabku yang tetap membelakanginya.

"Izinkan aku untuk bermain dengan Astra," mintanya pelan padaku.

"Pergilah, tetapi jangan terlalu jauh dari pemakaman ini," ucapku mengizinkannya.

"Baik tuan." Lirihnya yang akhirnya ia pergi.

Terdengar dari suara langkahnya, ia pergi dan meninggalkan ku begitu saja. Sekarang tersisa diriku sendiri di sini, tetapi itu tidak akan membuatku berpindah. Sehingga aku perlahan melirik ke arah patung singa besar itu, namun sesuatu mengejutkan ku.

"Bukankah seharusnya matanya tidak berwarna seperti itu?" terkejutnya diriku saat melihat mata patung itu bersinar.

"Apakah aku berhalusinasi?" Seketika perlahan aku menampar pipiku untuk menyakinkannya.

Sekali, dua kali, hingga tiga kali. Aku kembali melihat ke patung itu, tetapi ternyata itu adalah kenyataannya. Kedua mata itu bersinar terang berwarna merah, seperti singa yang hidup dan ingin menerkam.

Perlahan-lahan perasaan ku menjadi tidak tenang, merasa hal buruk akan terjadi bila terlalu lama di sini. Aku seketika membalikkan tubuhku dan terlihat semua patung di sini memiliki hal yang sama, mata patung singa itu bersinar terang berwarna merah pekat.

"Sialan, terkutuklah diriku." Gerutuku kesal yang langsung pergi begitu saja.

Saat ingin mencari dan menemui mereka, belum terlalu jauh dari kedua batu nisan itu. Tiba-tiba sesuatu terjatuh tepat di depan ku, membuatku terkejut dan menghentikan langkah ku.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Bersambung ?

Paksaan berujung MencintaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang