.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Tengah malam setelahnyaKejadian yang cukup menyedihkan, setelah aku menemani adikku untuk tidur di kamarnya, aku duduk di ruang tengah merenungi nasibku sekarang. Adikku yang malang, ia harus kuat untuk menerima fakta yang telah terjadi pada keluarga ini. Sepertinya, aku dan ia adalah keturunan terakhir darah biru.
"Sialan, sekarang harus bagaimana?" Gerutuku kesal hingga memicu pusing kepala.
Buyut sialan, karenanya adikku selalu kepikiran dengan diriku. Di ruang tengah yang sunyi, aku memandangi sepasang cicin di dalam kotak kuno ini. Cincin dengan batu permata berwarna merah, indah dan pastinya sangat langka untuk di temukan. Sepertinya ini cincin peninggalan ayah dan ibu, sudah lama sekali tersimpan di kotak kuno ini.
"Bukankah cincinnya begitu indah, tuan?" tanya seseorang yang perlahan menghampiriku.
"Seven?" tanyaku cukup terkejut.
"Maaf tuan, aku hanya ingin memastikan saja ... Apa tuan tidak tidur lagi?" tanyanya lirih.
"Sepertinya nanti saja, saya bisa tidur kapan saja ... Tidur saja duluan, Seven." Perintahku padanya, namun tidak di dengarkan kembali olehnya.
Ia tidak bergerak sama sekali, hanya berdiri memandangiku. Tetapi itu tidak akan membuatku terganggu, aku hanya bisa memandangi sepasang cincin ini. Tantangan hidup apalagi yang akan aku hadapi sekarang dan seterusnya nanti.
"Apa tuan sudah mengetahui sesuatu dari Astra?" tanyanya yang perlahan duduk bersebelahan dengan ku.
"Sudah, dia baru saja mengatakannya tadi malam," lirihku membalasnya.
"Apa tuan sudah menyadarinya?" tanyanya lagi.
"Sudah, saya sudah mengetahuinya ... Bagaimana kamu tahu permasalahan keluarga saya?" jawabku berbalik bertanya padanya.
"Astra menceritakannya padaku setelah tuan pertama kali membawaku ke sini," jelasnya lemah lembut.
"Pantas saja." Ketusku.
Akhir dari perbincangan membuat suasana jadi hening, sehingga aku kembali memandangi sepasang cincin ini lagi. Permata yang indah, bagaimana caranya aku bisa menciptakan suatu ikatan cinta abadi nanti, sedangkan aku terkutuk tidak dapat merasakan artinya cinta.
"Seven," panggilku padanya.
"Ya tuan?" lirihnya.
"Izinkan saya mencobanya." Ucapku menggenggam tangannya.
Perlahan aku mengambil salah satu cincin dari kotak kuno itu, mencoba memasangkannya ke salah satu jarinya. Cincin pun berhasil terpasang di jari manisnya, indah dan cantik. Melihatnya menggunakan cincin ini, mengingatkan ku dengan ibu.
"Cantik," singkat diriku mengungkapkan suatu hal.
"K-kenapa tuan memasangkannya?" tanyanya perlahan dengan wajah yang sedikit memerah.
"Saya hanya ingin mencobanya, tanganmu hampir serupa dengan ibu saya," jelasku padanya sambil memandangi cincin di jarinya.
"Jari manismu juga, hampir serupa dengan ibu saya." Ucapku lagi padanya.
Permata yang indah terpasang jelas di jari manisnya, andai saja ibu masih ada di sini. Mungkin rasa rinduku akan terbayarkan semuanya, tetapi sayangnya cincin ini harus digunakan sebagai alat mematahkan kutukan ku.
Teringat dengan nasibku sekarang, seketika amarahku naik dan merasa sangat kesal akan suatu hal. Aku berdesis kesal, mengambil kontak kuno itu dan bangkit dari duduk ku.
"Tidak ada yang boleh begadang, pergilah tidur ... Saya muak melihatmu," ketusku padanya.
"B-baik tuan." Jawabnya yang sedikit terbatah-batah.
Akhirnya aku pergi meninggalkannya begitu saja di ruang tengah, menaiki anak tangga dengan kaki gajah sambil membawa kotak kuno ini yang menyisakan satu cincin di dalamnya. Langkah demi langkah, aku langsung masuk ke dalam kamar. Meletakkan kotaknya di atas meja kerjaku, lalu berbaring di atas ranjang.
Dalam keadaan berbaring, aku memandangi langit-langit kamarku. Suasana gelap, hanya ditemani cahaya bulan yang menebus jendela kamarku. Berpikir keras hingga kritis, hingga memicu sakit kepala yang hebat.
"Sialan, kenapa nasibku seperti ini!" gerutuku kesal.
"Andai saja ayah berhasil mematahkan kutukan itu, mungkin ini tidak akan terjadi." Kesalku menyalahkan semua keadaan.
Tetapi tetap saja ikatan cinta tidak mudah di bangun bersama, mungkin itu menjadi alasan banyak orang untuk memilih bercerai daripada harus memulai semuanya kembali. Seperti hal yang terjadi kepada ayah dan ibu, hampir saja bercerai karena kutukan sang buyut sialan ini.
"Sudahlah, besok ke makam ayah dan ibu saja daripada memikirkan hal yang sama," ketusku pada diri sendiri.
"Cepat atau lambat, semuanya akan terjadi." Ucapku sembari menghela napas.
Tidak lama itu, aku memutuskan untuk tidur dan mengumpulkan banyak tenaga agar besok bisa berpikir kembali. Perlahan-lahan aku menutup kedua mataku untuk tidur dan bermimpi tentang ayah dan ibu, mungkin mimpi bisa menjadi kunci jawabannya.
Besoknya kemudian
Pagi hari yang cerah, cahaya matahari sudah menampakkan dirinya untuk mencerahkan seluruh dunia. Tidak terasa hari sudah berganti walaupun masalah tetap saja tidak pernah berubah, aku merenungi nasibku di dalam mobil. Memandangi jari telunjuk ku yang terpasang sebuah cincin permata merah pekat.
Sangat indah, ukurannya serupa dengan ukuran jari telunjuk ayah. Cincin ini benar-benar peninggalan ayah dan ibu, pantas saja semenjak aku menginjak sekolah dasar tidak pernah melihat ayah dan ibu menggunakan cincin ini.
"Masuk saja kak Seven!" seketika adikku membuka pintu mobilnya dan masuk begitu saja.
"Sudah siap?" tanyaku pada mereka berdua.
"Sudah kak, ayok berangkat ... Aku tidak sabar untuk melihat makam ayah dan ibu!" Girangnya ia dengan penuh senyuman.
Melihatnya bahagia dan tersenyum seperti itu membuatku merasa tenang, sepertinya ia benar-benar merindukan ayah ibu. Sehingga akhirnya mobil pun berjalan dengan kecepatan yang normal.
Dalam perjalanan yang diisi oleh lagu dari radio mobil, dengan suasana perjalanan yang tidak terlalu ramai, dan pemandangan pagi hari yang indah di kanan dan di kiri. Sensasinya benar-benar seperti sedang ingin pergi berlibur ke suatu tempat.
"Pagi hari seperti ini benar-benar indah, tidak terlalu panas," ucapnya adikku memandangi keluar jendela mobil.
"Namanya juga masih pagi hari, tentu saja masih tidak terlalu panas ... Mungkin itu membuat pemandangan jadi lebih enak untuk di pandang," jelasku lemah lembut padanya.
"Apakah kamu menyukai pemandangan, Astra?" tanyanya Seven tetiba dari belakang.
"Tentu saja, aku ingin sekali memotretnya." Girangnya ia saat kembali melihat pemandangan diluar.
Tidak biasanya ia seperti itu, mungkin karena ia jarang sekali keluar rumah untuk pergi dan bermain. Sayang sekali ia tidak memiliki seorang teman yang setia menemaninya, jadinya ia harus mengunci dirinya di rumah setiap hari dan hanya bisa menungguku pulang kerja untuk bermain layaknya seorang teman.
Tetapi setidaknya sekarang ia sudah bahagia untuk melihat pemandangan luar untuk pertama kalinya, jarang-jarang aku mengajaknya pergi keluar rumah.
"Bagaimana sehabis dari makam, kita pergi ke pantai?" tanyaku padanya yang membuatnya melirik langsung padaku.
"Benarkah? ... Aku ingin sekali ke pantai!" mintanya sebagai tanda menerima ajakan ku.
"Ya sudah, sehabis dari makam nanti kita pergi ke pantai." Ia mengangguk pelan dan tersenyum padaku.
Mudah sekali membuatnya bahagia, tetapi sangat sulit sekali membuatnya tenang bila ia menangis. Jadi teringat kejadian kemarin malam, membuatku melunturkan senyuman di wajahku. Kutukan tetaplah kutukan, tidak bisa dilupakan begitu saja.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Bersambung ?
KAMU SEDANG MEMBACA
Paksaan berujung Mencintai
RandomIkatan cinta abadi tidak mudah untuk di bangun bersama, mungkin itu kata-kata yang tepat sebagai kunci jawaban untuk mematahkan suatu kutukan pada seorang anak lelaki ini. Kutukannya berupa gangguan jiwa, sehingga ia tidak dapat merasakan cinta. Tet...