Perdamaian by Gigi
• • •
"Perdamaian, perdamaian ....
Perdamaian, perdamaian ...."Malam Jumat adalah waktu yang paling ditunggu-tunggu Rian. Bukan, bukan karena ia ingin berkencan dengan Mak Kunti di kuburan belakang pesantren. Malam Jumat adalah waktu khusus yang mulia di kampungnya, dan itu artinya pemain al-banjari seperti Rian akan diminta untuk membawakan nasyid.
Hanya saja, malam Jumat kali ini berbeda. Gus Ali--kiai pengurus pondok di kampung itu--mengundang relawan Sahabat Al Aqsha untuk berceramah tentang Gaza sebelum terbangan dimulai. Rian dan kawan-kawannya tentu saja mau tak mau menyimaknya, karena mereka diwanti-wanti Gus Ali hadir lebih awal.
"Haduh, men, males banget ikut pengajian!" Mamat mendecak sebal. Penampilannya yang biasa sebenarnya urakan, tapi emaknya memaksa dia untuk ikut grup al-banjari. Makanya jangan heran kalau melihat rambutnya yang nge-punk seperti landak itu. Memang tidak cocok dengan baju takwa, tapi mau bagaimana lagi?
"Hus!" tegur Udin. Tangannya sibuk main hape, mungkin sedang berbalas pesan dengan doinya. "Hormati ustadmu. Nanti ilmunya nggak barokah!"
Rian melihat Gus Ali berjalan menuju kedua temannya yang ribut-ribut. Ia menabok punggung Mamat dan Udin. "Jangan rame!"
Mamat dan Udin sudah akan balas menabok Rian, namun mereka menyadari keberadaan Gus Ali. Mereka pun pura-pura fokus ke depan, memerhatikan seorang pria berjenggot dengan baju putih-putih yang menyampaikan sesuatu.
"Banyak yang cinta damai, tapi perang semakin ramai ....
Banyak yang cinta damai, namun perang semakin ramai ....
Bingung, bingung ku memikirnya ....""Yan, perang di Gaza itu kenapa sih?" Udin menyikut pinggang Rian.
Cowok itu menoyor kepala plontos Udin. "Elah, Din! Hape itu buat nyari info dong, bukan chattingan tok!"
Udin mencebik kesal. Ia mengelus kepala plontosnya yang bersinar-sinar terkena cahaya lampu. "Kuotaku entek (habis), Cak!"
Rian menghela nafas. Kalaupun Udin benar-benar mencari berita tentang Gaza di Internet, ia tak yakin Udin benar-benar memahami isinya. Dia saja tidak begitu paham tentang konfliknya, kok. "Mau aku jelasin, nggak?"
Udin mengangguk antusias. Kalau emaknya tahu, beliau pasti terharu melihat anaknya semangat belajar.
"Jadi, ceritanya di perbatasan Palestina-Israel itu ada daratan. Subur dan potensial banget. Kalau nggak salah, di sana itu ada sumber daya alam apa minyak bumi atau apa gitu. Terus--"
"Potensial itu apa, Yan?"
Kan, dugaan Rian betul. "Potensial itu menguntungkan, Cak!"
Udin kembali menyimak.
"Ya pokoknya gitu, wes. Pihak Israel sama Palestina itu sama-sama bilang kalau dataran itu masuk teritori--"
"Teritori itu apa?"
Rian mengabaikan pertanyaan Udin. "--mereka. Terus perang deh. Perang terus sampai sekarang, nggak selesai-selesai."
"Wahai kau anak manusia, ingin aman dan sentosa ....
Tapi kau buat senjata biaya berjuta-juta ....
Banyak gedung kaudirikan kemudian kauhancurkan ....
Bingung, bingung ku memikirnya ...."Udin ingin bertanya lagi, namun tiba-tiba kupingnya dijewer seseorang. Cowok itu mengerang; erangannya mirip suster ngesot di samping puskesmas yang suka merintih tidak jelas.
"Kalau ustadnya ngomong diperhatikan, tole!" Gus Ali berdiri di sana, tampangnya seram. Udin meringis, memohon ampunan. Telinganya masih dijewer.
"Ampun, Kiai!" Cowok plontos itu mengacungkan jari telunjuk dan tengahnya. Ia mulai mencerocos tidak jelas. "Orang yang mengasihi anak yatim itu bersama Rasul di surga seperti jari telunjuk dan jari tengah!"
Akhirnya Gus Ali melepaskan jewerannya. Setelah memastikan beliau jauh dari jangkauan, Udin berbisik pada Rian, "Yan, lanjutin dong."
"Lah, udah. Garis besarnya gitu doang Din."
Udin menepuk dahi. "Sumpah?"
"Iya."
"Eh, Yan." Mamat nimbrung tiba-tiba. "Manusia itu lucu, ya. Katanya cinta damai, tapi masalah di Palestina abai. Katanya menjunjung kesejahteraan, tapi tak mendukung usaha Gaza untuk meraih kemenangan. Manusia itu lucu, ya."
Rian dan Udin melongo. Sejak kapan anak punk urakan yang tadi pagi belum tentu mandi itu bisa berkata-kata bijak? Apalagi dengan pilihan kata yang sama sekali tidak kasar.
"Kesambet apa kon, Mat?" Rian menepuk bahu Mamat, tertawa.
Wajah Mamat terlihat serius--tidak cocok sebenarnya, mengingat rambut jegriknya yang berantakan. "Temenan iki(beneran ini). Katanya Amerika itu penjaga perdamaian dunia, tapi PBB tak membantu Gaza untuk merdeka--"
"PBB itu apa?" potong Udin.
Rian mendecak. "Elah, Din. Googling gak ngabisin pulsa kok."
Mamat menggaruk kepalanya yang mirip landak. "Barusan ngutip dari ustadnya yang di depan, noh. Katanya kalau nggak nyimak ustadnya gak barokah ilmunya. Gimana, sih?"
Rian tertawa, merangkul bahu kedua temannya. Saat Gus Ali datang lagi untuk menyuruh mereka bersiap di belakang panggung, ia tersenyum penuh arti.
"Din, Mat, hafal lagu Perdamaian, nggak?"
"Kayaknya," jawab Udin ragu.
"Cari liriknya di hapemu gih, nanti aku bayarin pulsanya." Rian mengambil peralatan terbangannya. "Bilang ke yang lain, malam ini kita main lagu Perdamaian."
Perdamaian, perdamaian ....
Banyak yang cinta damai, tapi perang semakin ramai ....
Bingung, bingung ku memikirkannya ....• END •
KAMU SEDANG MEMBACA
Song Fiction : Kemanusiaan
Short StoryManusia merupakan makhluk ciptaan yang sempurna. Memiliki akal, yang bertujuan untuk memimpin alam semesta. Tapi apa yang dilakukannya pada sesama? Bagaimana ia bertanggung jawab pada Bumi yang sudah semakin tua dan begitu sakit? Kumpulan FlashFict...