Pray by Justin Bieber
• • •
Pemandangan yang ada di hadapanku membuat air mataku mendesak keluar. Sejak aku menginjakkan kaki di tanah ini, begitu banyak penderitaan nyata yang telah ku lihat. Membuat hatiku tersayat dan bertanya-tanya mengapa ini bisa terjadi. Beberapa orang terkapar lemah bersimbah darah, anak-anak kecil menangis, dan ada yang perutnya buncit tetapi tubuhnya begitu kurus karena busung lapar. Kupingku tak henti-hentinya mendengar isak tangis bahagia yang keluar dari bibir polos mereka ketika kami datang membawa bantuan. Hatiku terasa remuk melihat kenyataan yang begitu ketimpang. Aku di sini untuk membantu mereka, setidaknya kehadiranku dan rekan-rekan bisa memberi secercah harapan bagi keputus asaan.
"Kakak! Jangan melamun!" seorang bocah membuyarkan lamunanku, menarik-narik bajuku sambil tertawa riang. Bahkan dia yang tangannya harus diperban masih bisa tersenyum tulus bagai tak ada beban hidup. Aku langsung menghela nafas panjang dan menurunkan tubuhku agar tinggi kami bisa sejajar.
"Ada apa adik kecil?" tanyaku sambil tersenyum mencubit pipinya yang tirus.
"Ayo kita makan bersama!" ajaknya sambil menarik tanganku. Aku pun mengikutinya dan berjalan menuju posko.
Di sana, begitu terlihat mereka sudah mengantri untuk mendapatkan makanan dan bantuan kesehatan. Raut wajah mereka menggambarkan kegembiraan di balik jeritan pilu. Sepertinya, bantuan yang telah kami kumpulkan cukup untuk persediaan makanan hingga esok hari. Aku terduduk di atas rumput kering, memandang langit yang biru, lalu memandangi hamparan hijau perbukitan. Pulau kaya dengan sumber daya melimpah, tetapi rakyatnya terpuruk di bungkam nestapa. Mereka di peralat dan di adu domba oleh setan-setan bengis yang berkedok bisnis serta politik. Bahkan di tanah mereka sendiri mereka tak dibiarkan merdeka.
Daerah yang kupijak sekarang ini adalah daerah perbatasan 2 desa yang selalu berseteru. Entah masalah apa, tetapi ada saja konflik yang diributkan bahkan berujung perkelahian hingga pembantaian. Warga yang tinggal di perbatasan yang menjadi korban amukan. Mereka yang tak tau apa-apa, malah dibunuh dan disiksa. Tak habis pikir dengan keadaan yang terjadi, padahal di luar sana banyak yang kaya raya tetapi membuang-buang harta mereka dengan percuma. Sedangkan di sini, satu sendok nasi saja bagai segelondong emas yang begitu berharga. Tidak ada yang memperhatikan mereka, tidak ada yang menengok ke arah mereka. Semua sibuk dengan kesulitannya masing-masing dan enggan membantu sesama yang lebih menderita.
"Kakak! Ini untuk kakak!" anak perempuan tadi menghampiriku sambil membawa piring yang berisi nasi, dan lauk-pauk. Dia duduk di sampingku sambil memakan makannya. Terlihat kesulitan karena hanya menggunakan satu tangan. Aku membantunya, mengambil piring itu, dan menyuapkan dia agar tak kesulitan. Kulit hitamnya legam terbakar matahari, kepalanya di tutupi rambutnya yang kriting kecoklatan. Beberapa orang ikut duduk di dekatku dan kami makan bersama.
"Terimakasih telah membantu kami." Ujar salah satu di antara mereka. Seorang perempuan yang sepertinya seusia diriku.
"Saya hanya melakukan yang bisa dilakukan. Itu juga bersama teman-teman." Jawabku tak lupa senyum.
"Kemarin pemukiman kami diserang lagi oleh beberapa orang tak dikenal. Persediaan makanan di tiap-tiap rumah dirampok, dan yang memberontak akan dibunuh. Setelah mereka melakukan kegiatan biadab itu, mereka membakar pemukiman kami. Mereka tertawa ketika kami berlari-lari sambil menjerit ketakukan, padahal sebelum ini mereka sudah membuat kami menderita." Cerita wanita itu yang disusul raut wajah sendu orang-orang yang mendengar.
"Sebenarnya apa yang terjadi? Dan mengapa mereka selalu ada konflik?"
"Aku tidak tau yang sebenarnya, yang jelas mereka seperti di adu domba. Setiap mereka berseteru, selalu warga kami yang jadi korban. Beberapa luka-luka, bahkan ada yang mati. Puncaknya kemarin, pemukiman kami dibakar. Jadilah seperti ini." Ucap yang lain. Mencelos tepat dihatiku, membuatku sadar bahwa saudaraku tersiksa di tanah kelahiran mereka.
"Tidak adakah bantuan dari pemerintah setempat?"
"Pemerintah? Itu hanya sebutan dan gelar untuk kalangan yang mengumbar janji akan mensejahterakan kami, padahal dia yang membuat kami terpuruk seperti ini. Kami seperti tak dianggap, kami juga tak bergantung pada mereka. Kami bertahan hidup sendiri, dengan alam." Jawaban mereka membuatku bungkam seribu bahasa. Kami pun melanjutkan makan dan terkadang bercanda bersama. Mencoba melupakan kesedihan tak berujung yang begitu mencabik. Besok aku dan rekan-rekan akan pulang, meninggalkan mereka yang masih membutuhkan bantuan. Walau tak tega aku meninggalkan, tetapi apa daya masa bakti yang sudah selesai.
Sadarkah jika kita sebenarnya ada dalam gemerlap kehidupan? Begitu banyak saudara kita yang menjerit karena tak mampu keluar dari gelapnya nestapa. Mereka harus bertahan hidup dengan takdir yang begitu keras, mereka tak merdeka, mereka berteriak kesakitan, mereka hanya butuh bantuan. Tengoklah sekeliling, mereka didera kepedihan yang tak mereka inginkan. Pekerjaan, kekayaan, jabatan, pendidikan, dan kesibukan apalagi yang ingin kita selesaikan sehingga melupakan para korban perang, busung lapar, diskriminasi, genosida, dan beberapa kesengsaraan lainnya. Jika Tuhan saja tidak perhitungan kepada hamba-Nya, lalu mengapa kita perhitungan kepada manusia lainnya?
• END •
KAMU SEDANG MEMBACA
Song Fiction : Kemanusiaan
Short StoryManusia merupakan makhluk ciptaan yang sempurna. Memiliki akal, yang bertujuan untuk memimpin alam semesta. Tapi apa yang dilakukannya pada sesama? Bagaimana ia bertanggung jawab pada Bumi yang sudah semakin tua dan begitu sakit? Kumpulan FlashFict...