Antagonis

90 3 0
                                    

"Oke, jadi kamu sudah bisa memaafkan orang-orang yang menyakitimu?"

"Sudah dok."

"Kalau begitu saya ucapkan terimakasih karena kamu bisa berjuang selama ini. Saya tahu pasti semua ini awalnya berat tapi saat kamu sudah berada di titik ikhlas seperti ini saya merasa ada keajaiban." Ucap dokter perempuan yang selalu menjadi teman curhat Sinta selama kurang lebih tiga tahun ini. Dokter yang menjadikan dirinya tetap kuat meskipun semesta menghajarnya habis-habisan.

"Tetap semangat, saya yakin kamu bisa jadi lebih baik dari sebelumnya." Pesan dokter Almira yang membuat Sinta mengangguk dan bersemu. Sinta bertemu dengan dokter Almira saat Sinta jatuh pingsan di depan mobil dokter Almira di salah satu mall, dimana dengan sigap dokter Almira yang menolong dan mengajak Sinta untuk ke rumah perempuan itu.

Dan itu adalah satu hal yang membuat Sinta bisa bangkit dari keterpurukan. Di hidup Sinta dokter Almira seperti malaikat yang di kirim oleh Tuhan untuk menolongnya.

Sinta sudah berjuang selama ini, selama kurang lebih tiga tahun dirinya berjuang menyembuhkan diri dari luka batin yang ia dapat dari sebuah pernikahan. Pernikahan yang berjalan hanya satu tahun, dan tepat di malam itu Mahesa suaminya langsung mentalak Sinta. Padahal kalau dirunut tidak ada permasalahan yang serius di antara mereka.

"Kamu sudah pulang?" Tanya Ibu yang tengah berada di depan rumah. Rumah yang terbilang baru karena baru tiga tahun ditempati. "Sudah Bu."

"Bagaimana hasilnya?" Sinta duduk di sisi kursi yang tidak ditempati Ibu. "Baik Bu. Mungkin konsultasi Sinta bisa diulang atau tidak, sudah tergantung Sinta."

"Syukur ya nak." Di wajah tuanya Ibu selalu memendam rasa bersalah kepada Sinta, karena ulahnya dulu yang langsung menjodohkannya membuat Sinta seperti ini. Sebagai Ibu pastinya ingin yang terbaik untuk putrinya tapi sayang niat baik itu tidak sebanding dengan apa yang harus diterima Sinta.

Ibu mengenal sosok Mahesa dengan baik, karena Mahesa adalah putra dari mendiang sahabat Ibu. Dimana Ibu cukup tahu akan karakter Mahesa yang jauh lebih tua dari Sinta. Tetapi ternyata rasa tahu itu membuat Ibu mengabaikan yang lain.

"Maaf Ibu ya nak." Sinta menatap Ibu dan mengangguk. Sebagai anak hanya itu yang bisa ia lakukan. "Jika saja.... "

"Bu, stop. Jangan berandai-andai. Ini sudah takdir Bu." Sinta ingin berdamai dan jalan satu-satunya adalah tidak pernah berpikir akan hal itu kembali. "Sekarang Sinta sudah sehat, jadi Ibu jangan pernah menengok ke belakang lagi."

Sinta bergegas masuk untuk membersihkan tubuhnya karena seharian berada di luar rumah membuat tubuhnya kotor akan keringat.

****

"Nak, itu ada apa sih." Suara Ibu dari luar rumah menyapa indera pendengaran Sinta yang tengah asyik mengerjakan tugas kuliah. "Memang ada apa Bu?"

"Itu rumah depan ada mobil pick up, padahal setahu Ibu rumah itu sudah kosong sejak kita beli rumah di perumahan ini." Sinta bangkit dan berjalan mengekori langkah Ibu yang kembali ke depan. Kedua pasang mata tengah mengamati rumah di depan yang tampak ramai karena banyak barang yang dipindahkan.

Ibu berjalan mendekati seorang pekerja yang membantu mengangkut beberapa kursi. "Pak, ada yang pindahan ya."

"Eh... Iya Bu."

"Pindahan dari mana Pak?"

"Dari luar pulau Bu."

"Jauh banget ya Pak."

"Iya."

Ibu mulai mengamati beberapa perabotan yang di bawa, tidak banyak. "Suami istri, Pak?"

Pria itu menatap beberapa temannya sebelum menjawab dengan gelengan. "Bukan, setahu saya ya Bu. Masih single, laki-laki." Setelah mendapatkan informasi itu Ibu kembali ke rumah dan menceritakannya ke Sinta.

Short Story II (Karyakarsa) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang