Belahan Jiwa

27 2 0
                                    

Liona Pov

Aku mencintainya sungguh, bahkan kalau aku bisa, biarkan aku saja yang tengah berbaring di atas ranjang itu, terdiam dengan beberapa alat bantu.

"Mau apa lagi kamu?" Tanya Mamanya Prama saat melihatku ada di balik jendela. Setelah kejadian itu aku tidak diizinkan untuk bertemu dengan pria yang berstatus suamiku, karena semua orang menyalahkanku atas apa yang terjadi. Mengatakan jika aku istri yang buruk yang tidak bisa mengurusnya.

Di malam itu Mas Prama berjanji kepada Sora untuk membelikan makanan kesukaan Sora yaitu donat. Dimana Mas Prama lupa, alhasil saat Mas Prama yang udah sampai di rumah memutuskan untuk pergi kembali dimana cuaca malam itu tidak mendukung. Saat itu aku sudah mengatakan jika besok juga tidak papa, tapi Mas Prama tidak, baginya janji adalah utang dan sebaiknya janji harus ditempati.

Dan kecelakaan itu terjadi, membuat pria yang aku cintai harus terbujur di atas ranjang dengan kondisi koma.

"Aku mau lihat Mas Prama Ma."

"Kamu itu memang tidak tahu malu ya. Prama kaya gitu juga gara-gara kamu." Cacian sudah sering aku dengar, bahkan disusul sumpah serapah. "Lebih baik kamu pulang, urus anakmu itu."

Bahkan setelah kejadian itu Mama tidak pernah mengakui putriku dan menganggap jika putriku bukan cucunya.

Aku mengusap air mata yang tiba-tiba terjatuh, mencoba menguatkan diri bahwa aku bisa melalui ini.

"Mama... Bagaimana keadaan Papa?" Aku tersenyum tipis, mendekat ke arah Sora dan memeluknya. "Papa baik. Do'akan ya."

"Iya Ma. Tapi sampai kapan Papa tidur terus. Sora rindu bermain dengan Papa."

Aku tidak bisa menjawab karena menurut dokter peluang Mas Prama siuman hanya lima puluh persen.

"Yaudah Sora masuk ya, sudah sore." Aku mengajak putriku masuk ke dalam rumah, mencoba menghiburnya. Namun otak kecilnya yang cerdas untuk menyikapi apa yang terjadi sekarang, dimana sikap keluarga Prama yang selalu menatap Sora benci.

Pernah saat itu Sora tengah aku ajak ke rumah sakit dan itu bertepatan dengan kehadiran Mama, tanpa menyapa Sora, Mama langsung masuk.

"Nenek kenapa Ma? Kok gak ajak bicara Sora?"

Aku hanya diam, enggan menjawab.
Bahkan saat Sora datang ke ulang tahun sepupunya dari pihak keluarga Prama, Sora juga tidak dianggap. Saat itu semua orang sibuk mencari angle foto sedangkan Sora hanya duduk di pojokan sendiri. Aku yang sadar sontak mengajak Sora pulang, sebelum itu mampir ke restoran cepat saji kesukaanya agar Sora bisa tersenyum kembali.

"Sora salah apa sih Ma? Kok Nenek dan keluarga Papa jahat banget." Bocah yang masih suci itu berbicara seperti itu, membuat aku semakin sadar bahwa kehadiran diriku dan Sora tidak pernah diinginkan mereka.

"Ma... "

"Apa sayang?"

"Boleh gak sih kita tidur di rumah sakit? Sora rindu tidur sama Papa." Sayangnya aku tidak bisa mewujudkannya karena saat diriku mendekat pasti akan ada kata-kata pengusiran.

"Kita do'akan saja ya Sayang."

"Tapi Ma." Aku mengusap puncak kepala Sora dengan wajah tersenyum, hal ini mampu membuat Sora terdiam memahami posisiku.

Disini aku sebagai istri tidak memiliki kendali khusus untuk Mas Prama.
Karena semua kendali itu sudah di pegang oleh keluarganya.

Bahkan aku harus bersembunyi-sembungi untuk melihat Mas Prama apalagi harus mengajak Sora. Mungkin benar sampai kapanpun aku dan Sora tidak akan pernah diterima oleh keluarga Mas Prama.

Short Story II (Karyakarsa) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang