Septian
Aku selalu berharap jika suatu hari nanti bisa memiliki keluarga yang utuh, keluarga yang membuat aku nyaman berada didekatnya, dan yang pasti keluarga yang dipenuhi dengan suara tawa anak-anak.
Impian yang sederhana, tapi sampai usia yang ketiga puluh tahun nyatanya belum bisa aku wujudkan.
Aku menghela napas panjang sebelum menatap perempuan yang tengah tertidur pulas di ranjang apartemenku, netraku menelisik akan perempuan yang sudah menemaniku kurang lebih dua tahun ini. Ya, perempuan yang begitu memujaku dan membanjiriku dengan uang yang begitu banyak agar aku tetap berada disisinya.
Kebaikan yang berawal dari transaksional itu nyatanya membuat aku nyaman, dan terjerebak di lingkaran setan. Aku tidak bisa memilikinya utuh karena bagaimanapun dirinya memiliki suami, namun apa daya hatiku tertawan dengan sikapnya yang membuat aku terpesona.
Suara lenguhan membuat aku menoleh dimana netraku menangkap wajahnya yang sembab, sebelum datang kesini Tere menangisi akan rumah tangganya yang hancur karena ulah suaminya. Ya, mereka sama, sama-sama selingkuh namun berbeda denganku, suami Tere sejak awal menikah hanya menganggap pernikahan keduanya ini hanya formalitas agar perusahaan semakin besar. Dan suaminya tetap melanjutkan hubungan dengan pacarnya terdahulu dan memiliki anak.
"Bagaimana keadaan kamu?" Aku mendekat dan duduk di tepi ranjang dengan pandangan ke arah wajah cantiknya. "Baik. Jauh lebih baik."
"Kamu mau pulang?" Tere mengangguk, dirinya mencoba untuk bangkit dan mengambil tas sebelum keluar dari unit apartemen. "Hati-hati, kalau sudah sampai telepon ya."
"Iya." Sebelum Tere keluar, wajahnya condong ke arahku dan mengecup sekilas bibirku. Aku tersenyum tipis menatap kepergian perempuan itu.
Setelah kepergiannya aku terduduk di sofa dengan pandangan ke depan, hubungan ini memang tidak akan ada ujungnya karena semua seolah buntu. Ditambah telepon Ibu minggu lalu bahwa Ibu ingin mengenalkan perempuan untuk dijadikan istri untukku.
"Karir kamu sudah bagus, uang sudah punya. Lantas apa yang kamu cari?"
"Bu.... "
"Septian ingat Ibu sudah tua, Ibu ingin anak-anak Ibu sudah menikah sebelum Ibu berpulang."
"Tapi Bu.... "
"Ibu gak mau dibantah, intinya besok kamu harus pulang dan lagi Ibu ingin kali ini kamu tidak menolak calon dari Ibu." Putusnya yang membuat akhir pekan lalu aku pulang ke kampung dimana untuk kali pertama aku bertemu dengannya.
Perempuan yang dijodohkan oleh Ibu memang tidak sembarangan, karena untuk kali ini perempuan yang akan dijodohkan adalah perempuan dengan pakaian yang tertutup. Dari ujung kaki sampai kepala berbeda jauh dengan Tere.
Saat itu aku tidak tertarik akan dirinya tapi melihat wajah Ibu yang bahagia saat berbicara dengan perempuan itu membuat hatiku bahagia.
"Namanya Sahila, bisa kamu panggil Ila." Ucap Ibu mengawali sesi perkenalan kami. Wajah Sahila cantik tapi berbeda dengan Tere, cantik Sahila polos tanpa make up. "Ila anak baik, dia anak saudara bulek kamu. Ila sudah tahu latar belakang kita, dan dia menerimanya."
Aku menatap wajahnya sekilas, meskipun kepalanya cenderung menunduk tapi aku mampu melihat bahwa wajahnya bersemu bahagia.
"Kalau kamu apa yang ingin kamu tanyakan ke Ila?" Saat itu Ibu ada sebagai orang ketiga kami.
Sebenarnya aku bingung harus bersikap seperti apa, tapi aku juga tidak bisa menolak. "Boleh Ila berbicara berdua dengan aku Bu."
"Boleh tapi tetap disini jangan di kamar, Ibu tidak mau Ila hamil gara-gara kamu." Tekan Ibu yang berjalan menjauhi kami berdua.
Di saat Ibu sudah pergi aku memandang wajahnya, tercetak jelas bahwa Sahila perempuan yang baik. Rasanya saat itu aku merasa tidak sebaik itu untuk mendapatkan perempuan sebaik Sahila.
"Kamu serius dengan aku?" Sahila mengangguk lemah. "Tapi jujur aku tidak sebaik apa yang kamu dengar apalagi hidupku jauh berbeda saat di sini dan di kota."
Kepalanya mendongak menatap ke arahku. "Maksud Mas?"
Sebenarnya aku bingung harus menjelaskan. "Intinya aku tidak baik, tapi aku juga ingin jauh lebih baik. Dan mungkin ini saatnya."
Sahila mengangguk, "Itu masa lalu Mas, yang ingin Ila katakan bahwa jika kita berdua ingin menikah dan membangun rumah tangga ini maka Ila siap. Ila tak masalah dengan masa lalu Mas. Yang terpenting Mas sudah berubah dan tobat."
Aku terkejut akan apa yang diucapkan Sahila, dimana dirinya begitu dewasa dengan pemikirannya. Padahal aku ingat jika Sahila berada jauh lebih muda dariku. "Jika pernikahan ini ada, apa yang ingin kamu lakukan."
"Ila ingin menjadi istri yang baik, menjadi ibu yang baik untuk anak-anak dan yang terpenting pasangan yang bisa membuat Mas menatap diri Ila seutuhnya."
"Kamu tidak takut jika diriku berselingkuh?"
"Urusan perselingkuhan itu sudah Ila serahkan ke Tuhan, jadi jika Mas melakukannya biarkan Tuhan yang membalas. Dan jika itu sampai terjadi Ila lebih baik mundur."
"Kamu tidak mau diduakan?"
"Ya, Ila masih perempuan yang lemah jika masalah diduakan. Jadi lebih baik Ila berpisah."
Aku mengangguk. "Kamu siap mengikutiku ke kota?"
"Ila siap." Seketika aku sadar jika Sahila sudah siap menjadi istri, dan itu membuat Ibu semakin gencar menekanku.
"Bagaimana? Calon Ibu baik, kan?" Aku tidak menjawab. "Kalau bisa kamu harus lekas memutuskan, karena jujur Ibu tidak suka lama-lama karena Ila sangat banyak yang menyukainya."
Setelah itu aku juga mendengar dari Kakakku yang di desa jika banyak pria yang melamar Sahila namun di tolak. "Jadi Dek jangan salah ambil keputusan. Sahila itu perempuan baik."
Namun kembali aku juga sadar bahwa hubunganku dengan Tere juga belum selesai. Dan kalau bisa aku ingin menyelesaikannya dulu sebelum ke jenjang selanjutnya.
***
Di sepanjang malam aku selalu berpikir jalan keluar yang harus aku lakukan. Hingga tiba di suatu malam aku mengajak Tere bertemu, bukan di apartemen atau sejenisnya, namun aku mengajak Tere bertemu di sebuah tempat umum.
"Kamu mau bicara apa?"
Aku menatap wajahnya dengan penuh ketenangan aku mengucapkan keinginan diriku. "Kita sudah dua tahun, dan sepertinya ini waktu yang tepat untuk menyelesaikan urusan ini."
"Kamu ada perempuan?" Untuk saat ini belum. "Tidak."
"Lantas kenapa kamu ingin kita selesai."
"Aku ingin memiliki keluarga yang utuh Tere, aku ingin menikah."
Tere tertawa terbahak-bahak menertawakan diriku. "Memang ada perempuan yang mau sama kamu?" Aku enggan merespon karena bagaimanapun aku di mata Tere hanya gadunnya.
"Sudahlah kita jalani hidup kita seperti ini." Ujarnya.
Namun jelas aku tidak mengiyakan. "Maaf tapi aku tidak bisa, aku ingin menikah."
"Berapa uang yang ingin kamu dapatkan?" Tawarnya kembali namun aku tetap menolak penawaran itu. "Aku ingin menikah bukan urusan uang."
"Sudah dapat calonnya?" Aku mengangguk penuh yakin. "Kamu akan pergi meninggalkanku?"
"Ya, aku yakin istriku tidak akan mau dimadu."
"Bagaimana kalau hubungan ini kita lanjutkan setelah kamu menikah." Tawarnya membuat aku sedikit ragu. Sebenarnya hubunganku dengan Tere bukan hanya urusan ranjang tapi jauh lebih dalam. "Maaf tapi aku gak bisa."
"Oke." Jawabnya yang membuat aku takut jika Tere melakukan hal gila yang bisa melukai Sahila.
Tbc
Kelanjutannya ada di Karyakarsa ❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Short Story II (Karyakarsa)
Short StorySemua cerita lengkapnya bisa di baca di Karyakarsa