08 - Terpaksa Bersandiwara

54 16 9
                                    

Kembali dalam keadaan yang tak kunjung membaik adalah mimpi buruk. Elina tetap menjadi Tamara, begitu juga sebaliknya. Mereka harus menjalani dunia yang berbeda. Satunya dicap sebagai anak pintar yang selalu diperhatikan atau ditanya oleh guru saat berada di dalam kelas, satunya lagi adalah aktor utama yang mengharuskan diri berlatih lebih keras sepulang sekolah. Membayangkannya saja hampir membuat mereka pusing bukan kepalang, hingga ingin muntah.

Usai memarkirkan sepeda sehabis balik dari rumah Elina, keduanya berlari ke kelas yang tertukar. Elina ke kelas 11, sementara Tamara berlari ke kelas 10, sudah jelas, tubuh mereka masih tertukar dan tidak bisa kembali. Untungnya, Elina sedang mendapatkan jackpot jam kosong sampai pulangan, sehingga dia hanya perlu duduk dan menjadi orang yang terasingkan di kelas. Tidak berniat berbaur atau berakting menjadi Tamara, cukup. Dia sudah stres akting seharian menjadi kakak kelas satu itu. 

Namun, perdamaian yang dirasakan ternyata tidak berlangsung lama. Kedatangan seorang siswa jangkung yang membawa camilan-camilan menyentaknya, disusul suara bariton familiar di telinga. 

"Kak And... Andreas?" Suara Elina cukup bergetar. Dia bukan anak kelas sini, kan?

"Tumben manggil Kak." Andreas menarik satu kursi kosong milik siswa di kelas untuk duduk di samping Elina, yang aslinya dia kira Tamara. "Aku bawa jajan, kayak janji kemarin. Jangan ngambek mulu ya." Tangannya menjulurkan satu kantung plastik putih yang terlihat penuh. Senyumnya mengembang bersamaan dengan matanya yang berbinar begitu bersitatap dengan gadis di hadapannya.

Elina jadi bingung membalas apa. Pandangannya menyebar ke satu kelas yang ramai itu. Terlihat tidak ada yang menaruh kecurigaan sama sekali, seolah hal yang terjadi sekarang itu sudah biasa. 

"Ambilah," bujuk Andreas, halus. 

Nggak mungkin, kan, mereka pacaran? Soalnya tadi pagi itu si Ralitha cerita habis confess ke kakak satu ini, batin Elina yang refleks menggaruk tengkuk. Kaku, kukik, malu, tidak enak menggerogoti dirinya.

"Mara?" Suara Andreas menyentak lagi. "Ada masalah?"

Wih, pake panggilan Mara lagi, celetuk Elina dalam hati. Dia pun menarik napas untuk mulai berakting selayaknya Tamara beraksi. "Enih dalam rangka apah?" tanyanya sambil mengulurkan tangan untuk menerima plastik itu dan membukanya. Dia melihat ada teh kotak, wafer, dan roti. Lumayan, bisa kenyang sampai sore.

"Kayak biasa," jawab Andreas dengan sedikit kerutan di dahi, mulai curiga. 

Elina mulai makin tidak enakan saat mendapat tatapan tajam itu. Dia pun menggaruk tengkuk dan mengalihkan pandangan ke bagian depan kelas sembari berpura-pura tertarik pada camilan yang diberikan. Tangannya menarik wafer dan membukanya, kemudian pura-pura makan dalam keheningan sampai akhirnya dia menemukan jawaban yang pas. "Ohh, kirain ada rangka lain gitu."

Satu alis Andreas menaik begitu mendengar jawaban itu. Secara perlahan sinar dari tatapan berbinar tadi berubah menjadi tatapan serius.

ELINUN! Elina merutuk dirinya dalam hati, gue udah pasti salah jawab! Itu tadi bukan logat Kak Tamara. Habislah kalau gue ketahuan ini. Dia pasti bakal ngamuk kayak di studio. Eh, apa jujur aja kali ya?

"Seriusan, kamu nggak papa?!" Pertanyaan Andreas itu makin membuat Elina tidak nyaman.

Udah deket, sih, ini! Pasti! Kalian pacaran, kan? Fatal. Laporin ke Pak Karmin nih nanti, batin Elina, eh tapi, kasian juga, sih.

Dia tiba-tiba teringat dengan satu kejadian tadi pagi. Di mana Ralitha tiba-tiba mendatanginya untuk bercerita tentang confess.

Andreas tiba-tiba membuka topik obrolan baru. "Mara, ngomong-ngomong, naskah kamu... terlalu keren. The Ballad of a Masquerade Woman. Balada wanita bertopeng. Aku nggak kebayang si bocil itu akting. Dapet ide dari mana?"

Our Main CharacterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang