Jawabannya hanya ada pada mata si wanita tua.
= Our Main Character =
Semburat jingga terlihat dari arah barat. Matahari akan masuk ke dalam peraduannya. Jalanan mulai dipenuhi banyak kendaraan yang berlalu-lalang, sepulang dari kerja, kuliah, bahkan sekolah.
Elina yang menaiki sepeda berkaratnya kontan mengayuh dengan cepat setelah dirinya berhasil keluar dari toilet dan mendapati keadaan sekolah yang sudah kosong. Peluh mulai bercucuran di pelipis. Napasnya ikutan memburu seiring dengan kayuhan sepeda yang semakin cepat pulang ke rumah.
Melihat jalan yang padat pengendara, Elina memilih melewati sebuah jalan pintas menuju rumah. Walau jalan itu cukup sepi, kanan dan kirinya penuh pepohonan, dia tidak mau ambil pusing. Yang penting sampai rumah tepat waktu sebelum magrib.
Sepedanya sampai tergiser-giser saat dia membelokkan stang menuju jalan itu. Namun, tangannya refleks menarik rem dan dua kakinya ikut turun untuk bergesekan dengan jalan, memperlambat laju sepeda begitu dia menyadari ada seseorang yang tiba-tiba menyeberang.
Sebelum Elina menyadari siapakah orang yang berdiri di hadapan sana, dia memilih untuk membanting setir tatkala sepedanya tidak mampu berhenti.
Brak!
Sepeda dan tubuhnya menabrak pohon ketapang di ujung jalan. Elina pun terpental jauh dari sepeda. Kaki dan siku kirinya bergesekan dengan tanah. Namun, yang dia pikirkan bukanlah rasa sakit dari luka besar yang tercipta, melainkan bagaimana keadaan orang yang dia hampir tabrak tadi. Kepalanya pun mendongak, menoleh ke belakang dan ke samping kiri, mencari keberadaan orang itu.
“Kamu nggak papa, Nak?” Suara serak wanita lansia menyentak Elina.
Remaja itu kontan mendongak ke atas, di mana seorang nenek bungkuk dengan rambut yang putih semua tersenyum ke arahnya. Dia berdiri tepat di hadapan Elina dengan tangan ke belakang.
Jantung Elina bagai berhenti dadakan saat menyadari orang yang dia khawatirkan rupanya berdiri tepat sekali di hadapan wajah. Benar-benar tepat sekali, hanya terpisah sejengkal jarak.
Dengan dibantu nenek bersanggul itu, Elina bisa berdiri walau tergopoh-gopoh. “Nenek nggak papa? Maaf banget Nek.” Dia pun membungkukkan diri.
Nenek itu tersenyum sampai matanya menyipit. “Seperti yang kamu lihat, saya tidak apa-apa. Bagaimana denganmu, Nak?”
Elina hanya mengusap sekilas luka di siku kirinya. “Nggak papa, Nek.”
“Kamu habis dari mana, Nak?” Nenek itu bertanya dengan volume suara kecil, membuat Elina sedikit mendekat.
“Dari latihan teater Nek.” Remaja itu berjalan ke sepeda berkarat yang stangnya sedikit bengkok dan kayuhannya mulai berbunyi-bunyi ketika digerakkan. “Nenek mau ke mana, Nek?” Dengan kasar, seperti biasa, dia memberdirikan benda usang itu.
Nenek itu menoleh ke kanan dan ke kiri, kemudian mendekat. "Nenek mau ke perempatan dekat SMA Darwijaya. Bisa tolong antarkan?"
Karena merasa bersalah sudah hampir menabrak nenek tua yang cara berjalannya saja sudah bergetar, Elina segera naik ke atas sepeda dengan sukarela. “Ayo Nek, saya antar.” Dia tidak peduli mau stang sepeda atau kayuhan sepedanya bengkok, yang penting sepulang ke rumah dia tidak merasa ganjal di hati dan merasa bersalah sampai seminggu.
Nenek itu pun naik dengan duduk menyamping. Tangannya dia letakkan di pinggang Elina selagi remaja itu mengayuh sepeda yang menghasilkan bunyi-bunyi gesekan besi. Maklum, habis terjatuh. Beberapa bagian sepedanya ada yang penyok.
Selama di perjalanan mereka berinteraksi dan saling bertanya sekilas. Tidak ada yang spesial. Elina memilih untuk fokus mencengkeram stang dan menjaga keseimbangan.
Begitu sampai di perempatan, Nenek itu turun.
"Makasih, Nak." Wanita lansia dengan pakaian serba hijau tua itu tiba-tiba mengeluarkan sebuah kalung berlian yang berkilau dengan liontin berbentuk hati. "Nenek cuma bisa bayar pakai ini."
Remaja dengan kemeja seragam yang kotor dipenuhi tanah dan rerumputan layu di hadapannya mendelik. Sejenak, Elina terdiam mengamati kalung itu. Terpukau. Bagus juga, tetapi tak masuk akal bila dia langsung menerimanya. Minimal, menolak dulu.
Dia pun menggeleng cepat. “Eh, nggak perlu Nek, saya ikhlas. Terlalu mahal itu, Nek. Nggak enak saya.” Dirinya tidak yakin dibayar dengan kalung secantik itu, padahal hanya mengantar sang nenek ke daerah sekitar sekolah. Jaraknya hanya satu kilometer. Ojek pun kalah bayarannya.
"Ambil."
"Nggak bisa Nek, Nenek bawa aja. Siapa tau nanti butuh di tengah perjalanan," kata Elina dengan meneguk saliva, melirik kembali kalung berlian dengan liontin berbentuk hati itu. Mahal, berkilau, memanjakan mata, membuatnya susah mengalihkan perhatian. Dia sudah mencoba untuk menatap ke arah lain, tetapi rasanya tetap ingin kembali melihat kalung itu. Seperti ada magnet yang menariknya.
Tanpa berkata lagi, nenek itu langsung meletakkan kalung berlian di keranjang sepeda Elina. “Anggap aja itu rezeki.” Dia pun berjalan menjauh dari remaja yang melongo itu.
“Nek, jangan Nek!” Elina mengayuh sepedanya untuk mendekati nenek itu. “Mungkin Nenek lebih butuh.”
Nenek itu tersenyum simpul kemudian menoleh perlahan. “Kamu yang lebih butuh.”
Sepeda Elina mendadak berhenti dan tidak bisa dikayuh lagi. Buru-buru cewek itu menurunkan standar dan mengeceknya cepat. Namun, ketika kembali menoleh ke depan, nenek tadi sudah menghilang dari pandangan. Kemungkinan sudah berbelok ke pemukiman warga.
Jantung gadis itu berdegup tidak beraturan. Bulu kuduknya meremang. Dia pun menggigit bibir sambil celingak-celinguk. Seperti biasa apabila sepedanya sedang bermasalah, Elina lebih milih menendang bagian tengah benda itu sampai berbunyi karena getaran. Lucunya lagi, kendaraan berkaratnya seketika bisa digunakan kembali. Dengan tergesa dia naik dan berkeliling pemukiman warga sekitar sekolah untuk mencari keberadaan nenek tadi.
Namun, tidak ada. Nenek itu sudah pergi jauh atau masuk ke dalam salah satu rumah. Sedikit tidak bisa diterima akal bila nenek setua itu dapat berjalan cepat padahal tadi baru saja menghilang.
Elina menatap kalung berlian di keranjang sepeda berkaratnya dengan meneguk saliva. Semalam dia bermimpi apa? Hari ini dia memiliki dua keberuntungan dan satu kesialan. Di pengumuman pentas tahunan teater, dia terpilih menjadi pemeran utama, setelah itu dia mendapat kalung berlian hanya karena mengantar nenek tua. Sialnya, dia terkunci di dalam toilet saja tadi.
Dengan hati yang masih terasa ganjal, Elina memilih memutar sepeda untuk kembali pulang ke rumah. Sekujur tubuhnya mulai sakit akibat menghantam lantai toilet dan terjatuh dari sepeda. Luka-lukanya juga perlu diobati segera, khususnya luka di mata kaki yang mulai terasa perih karena ukurannya cukup besar.
Mungkin benar kata nenek bungkuk tadi, Elina lebih memerlukan kalung berlian itu, yang tanpa dia sadari memiliki makna mendalam di baliknya.
🎭🎭🎭
To be continued.
Bersambung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Main Character
Teen FictionPertukaran jiwa terjadi di antara sekelompok pemain drama sekolah. Elina penyebabnya. Dia rela menukar perannya sebagai aktor utama di pentas drama tahunan hanya untuk menjadi Ralitha, si kakak kelas cantik, kaya, dan berbakat di dunia nyata. Namun...