19 - Kebencian yang Meluap

28 12 12
                                    

Maaf baru update guys! Tadi baru pulang pelatihan jurnalistik. Happy reading! Jangan lupa tinggalin vote ya!

***

Sebelum keluar dari mal, Ralitha berinisiatif membelikan para anggota teater es krim. Semua anggota mendapat bagian, bahkan para anggota lama sekalipun, kecuali Elina. Seharusnya, orang-orang sudah tidak heran dengan kelakuan gadis berambut badai itu. Selalu memberi kepada teman-teman yang lain, untuk membuat satu teman yang terasingkan atau iri.

Ralitha tersenyum menyeringai begitu melihat wajah datar Elina. Dalam diam dia bisa melihat bahwa gadis yang memakai bando merah muda itu sedang menahan sebuah emosi kecil yang dipendam sedemikian rupa.

Sejujurnya, Ralitha tahu bahwa Karlina yang asli tidak akan pernah membiarkan dirinya tenggelam dalam kekalahan. Dia akan protes, meronta, atau bahkan berteriak. Dia akan menyindir pedas Ralitha, sebagaimana tindakan sadis yang gadis itu lakukan padanya. Namun, Elina tidak seperti itu. Elina hanya menahan kebencian itu agar tidak merembes keluar. Dia memakannya bulat-bulat tanpa harus meludahkan kata-kata jahat.

Perasaan ingin pamer sebagai orang kaya pun terbetik dalam hati. Dia mengajak seluruh anak teater untuk pergi membeli donat selagi mereka masih di mal. Satu orang mendapatkan satu kotak donat, lagi-lagi termasuk anggota tertua, kecuali Elina.

"Kak, kenapa Kak Karlina nggak dikasih juga?" Salah satu anggota akhirnya berinisiatif tanya.

"Oh, ngapain dikasih? Dia, kan, anak orang kaya," balas Ralitha dengan tersenyum manis penuh makna kelicikan di baliknya.

Dalam hati Elina menyeletuk, Aamiin kalau gue kaya, Aamiin. Semoga ada malaikat yang lewat. Omongan adalah doa. Aamiin.

Sekilas hatinya mengiakan bahwa menjadi Ralitha adalah hal yang menyenangkan. Bila dia menjadi Ralitha, dia tidak akan menyombongkan kekayaan itu. Dia akan berbagi dengan rata tanpa memandang orang yang dia suka ataupun dia benci. Dia tidak pernah akan menyudutkan orang dengan cara yang hina, bengis, ataupun licik.

Tamara mengatupkan rapat-rapat rahangnya setelah mendengar omongan Ralitha. Dia pun melangkah maju dan membelikan satu kotak donat lagi dengan uang pribadinya untuk Elina. Dia bisa mengganti semua uang Ralitha yang dipakai untuk mentraktir anggota teater, dia juga tidak takut dengan yang namanya adu kekayaan. Tidak ada hal yang harus dia takutkan dari gadis berambut gelap satu itu. Tidak dengan bakat atau kekayaannya. Tidak.

Hanya satu.

Di barisan belakang, Andreas berusaha menyembunyikan senyum setelah melihat kejadian itu dan membuang pandangan dengan jari yang berpura-pura mengusap ujung hidung. Dia pun melangkah ke salah satu bangku dan duduk dengan santai. Jauh di dalam hati, dia menunggu adegan mengesankan selanjutnya. Tak sekalipun dia memiliki niat untuk melerai, biarkan saja. Sudah saatnya.

Ralitha berdecak sebal, kemudian menarik lengan Tamara untuk menjauh dari kerumunan. Mereka berdiri di samping kios donat itu, membiarkan sisa anak teater lain sibuk sendiri. "Gue nggak tau lo kenapa, tapi... jangan sampe lo juga jadi orang yang gue benci di teater."

"Silakan," balas Tamara enteng. "Tapi bukannya lo selalu benci orang yang jago akting?" Dia menyeringai. "Gue bodoh akting soalnya."

Ralitha pun bungkam.

***

"Pertama Karlina, kedua lo. Dari dulu selalu aja begitu!" keluh Tamara saat mereka masuk ke dalam kamar Karlina yang rapi setelah dikemas oleh Elina berhari-hari.

"Hah, emangnya dari dulu Kak Ralitha sudah begitu, Kak?"

"Ya. Jelas. Dia benci Karlina karena dulu cewek itu jago banget akting. Harusnya lo nggak heran, sih. Karlina aktingnya memang yang paling bagus. Bahkan terbaik di antara Ralitha sama Andreas. Dia selalu jadi kebanggaan Pak Karmin," jelas Tamara, "dulu."

Our Main CharacterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang