24 - Si Gadis Egois

24 13 20
                                    

Ralitha menghindari Elina seharian. Setiap kali mereka bertemu di koridor sekolah, Ralitha memilih untuk berlari menjauh. Setiap kali Elina menghampirinya di kelas, Ralitha menerobos dan mendorongnya keluar.

Ralitha bahkan tidak membiarkan Elina menghampirinya di kantin. Dia akan pergi begitu saja, meninggalkan makanan yang sudah dibeli dan kembali ke kelas. Dia tidak pernah semenit pun memberikan Elina kesempatan berbicara. Tidak untuk saat ini, karena dia memiliki visi dan misi yang besar.

Elina sampai frustrasi sendiri. Sesulit inikah kembali menjadi dirinya sendiri? Sesulit inikah menerima takdir yang terus berjalan dan tak sesuai dengan apa yang diharapkan? Dia memang pernah ingin menjadi Ralitha, si gadis kaya, cantik, berbakat. Namun, ternyata, menjadi Ralitha jauh lebih berat konsekuensinya. Sisi gelap gadis itu bahkan bisa dibilang cukup mengerikan, hampir setara dengan Karlina atau mungkin, lebih parah.

Elina sudah lelah mengurus dan menggantikan kehidupan orang lain. Muak. Dia ingin pulang. Ingin kembali menjadi Elina si aktor pemula yang selalu frustrasi dengan menghafal naskah dan selalu ragu dengan kemampuan diri untuk menjadi tokoh utama. Ya, lebih baik menjadi seperti itu. Daripada menjadi hebat dalam segalanya, tetapi itu hanyalah kepalsuan dan jauh dari diri sendiri.

Menikmati proses untuk diri sendiri ternyata lebih seru daripada mendapatkan hasil kejayaan orang lain secara mendadak, karena di sisi lain, ada banyak risiko yang ditanggung juga secara tak terduga.

Setengah mati Elina mengikuti Ralitha dan memohon sampai mual. Dia tidak tau harus melakukan apa lagi. Terakhir, dia memaksa fisik Ralitha yang ternyata mudah lelah itu untuk menunggu di studio teater saja. Dia sibuk menghafal naskah untuk mencegah kemungkinan terburuk terjadi; dimarahi Pak Karmin karena tidak bisa sebagus akting Ralitha sebelumnya.

Yah, itulah segelintir ketidakenakan menjadi seseorang seperti Ralitha.

Para siswa mulai berpulangan dan bubar dari kelas, sementara Elina sudah lebih dulu duduk diam di studio teater, menunggu anggota lain datang. Dia memaksa diri untuk terus menghafal dan mengingat adegan yang akan dilatih oleh Pak Karmin nanti.

Tibalah Ralitha dengan fisik awal Elina. Dagunya terangkat, senyum samar terlukis di bibir, dan pandangannya terlihat penuh keyakinan.

Pak Karmin juga datang setelahnya. Beliau memulai sesi latihan untuk adegan-adegan terakhir dalam naskah yang sudah dilewatkan oleh Elina selama hampir sebulan.

Ralitha berhasil akting memukau sebagai aktor utama, menjatuhkan rasa percaya diri Elina semakin dalam ke jurang keputusasaan. Sementara itu, akting Elina sendiri, sebagai antagonis dalam fisik Ralitha disadari oleh Pak Karmin. Terlalu biasa, belum cukup.

"Ke mana aktingmu yang dulu Ralitha?" tanya Pak Karmin dengan nada yang mulai meninggi. "Kemarin-kemarin, akting kamu itu saya lihat bagus. Masa sekarang kurang? Ke mana semangatmu yang dulu?"

Elina melihat wajah Ralitha. Satu alis gadis itu telah terangkat dengan senyuman miring. Hei, apakah gadis itu bangga? Sial, dia memakai fisik Elina ya, sadarlah!

"Ralitha, saya mau kamu pastikan dulu. Kamu mau lanjut atau tidak? Sebelum semakin jauh dan semakin parah. Kalau kamu tidak berubah dalam waktu dekat dan kembali kayak dulu, saya ganti." Ultimatum telah dirilis oleh Pak Karmin, kemudian lanjut melatih Ralitha (yang dia kira adalah Elina) untuk masuk ke adegan dansa.

Perasaan Elina dalam fisik Ralitha campur aduk. Di sisi lain, dia bisa merasa baik-baik saja, karena Pak Karmin akan tetap memandangnya sebagai Ralitha. Yang rusak nama Ralitha juga, bukan namanya.

Sementara itu, yang dipandang dengan akting bagus memang Ralitha, tetapi dengan fisik Elina. Secara tidak langsung Elina mendapatkan pujian dan kepercayaan dari Pak Karmin. Elina mendapatkan sedikit benefit dari peristiwa ini.

Our Main CharacterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang