22 - Gadis Kaya yang Beruntung

27 14 10
                                    

Ada satu ide gila yang diusulkan Karlina. Sebuah pemikiran itu muncul ketika Elina hendak pulang ke rumah Ralitha. Dia tidak bisa menyetir mobil, jelas. Boro-boro mobil, menyetir motor saja bisa jatuh.

Maka Karlina menyarankan hal gila. "Kita harus bilang ke Andreas."

Tamara duluan yang menyeletuk, "Apa? No! Kesambet apa?" Dia berdecak sebal. "Kenapa kita nggak coba cara gue yang tadi? Kalian bertiga naik mobil Ralitha. Edward yang nyetir. Lo diantar duluan ke rumah, Karlin. Habis itu Elina ke rumah Ralitha. Gue ikut di belakang bawa motor. Pulangnya dari rumah Ralitha, gue antar Edward ke sekolah. Balik."

"Stres lo!" celetuk Karlina, kasar. "Lo pikir gue bisa percaya sama kalian apa? Nanti kalau di tengah jalan tiba-tiba cinlok kayak mana!"

Edward akhirnya berdiri menengahi keduanya. "Kita telepon Kakaknya Ralitha aja."

Sontak kedua gadis itu berhenti berdebat. "Ralitha punya kakak?!"

Edward hanya melipat tangan di depan dada sambil menganggukkan kepala.

***

Elina kini tengah berada di dalam mobil Ralitha yang dikendarai oleh kakak laki-laki gadis itu. Tampilannya terlihat seperti mahasiswa akhir yang sedang sibuk skripsian. Kantung mata terlihat jelas, rambut acak-acakan, wajahnya terlihat pucat, dan bawaannya serius sekali sekaligus bad mood.

Namun, Elina tahu pasti bahwa kakak Ralitha itu sedang kecewa.

Sampailah mobil itu di depan pintu gerbang yang menjulang tinggi. Begitu masuk, Elina langsung disambut dengan air mancur di tengah halaman dan taman di sekeliling. Mobil yang dikendarai kakak Ralitha itu mengambil jalan ke kiri hingga masuk ke garasi yang terdiri dari lima mobil.

Elina tidak mampu menutup mulut sambil melempar pandangan ke seluruh bagian rumah itu. Rumah tingkat empat yang luas, lengkap dengan balkon di setiap kamar dan lampu gantung yang meriah.

Kakak Ralitha langsung berjalan masuk tanpa sepatah kata pun, sementara di gerbang depan, mobil alphard yang disetir oleh supir pribadi rumah akhirnya sampai.

Jadi, ide Edward tadi bukan hanya mengajak Kakak Ralitha datang menjemput, tetapi juga sekaligus menyelesaikan masalah permobilan yang dibawa Ralitha dengan mengajak supir juga untuk menjemput. Begitu sampai di sekolah, Kakak Ralitha menyetir mobil pribadi, sementara supir menyetir mobil alphard. Simpel dan cepat tanpa melibatkan teman.

Elina akhirnya memberanikan diri untuk masuk ke dalam rumah dengan rasa penasaran yang menggebu-gebu. Dia ingin tahu, sebagus apa bagian dalam rumah Ralitha.

Mulut yang semula menganga lantas tidak bisa tertutup tatkala dia membuka pintu. Ada tangga yang meliuk-liuk sedemikian rupa di ujung kiri ruangan, menghubungkan lantai satu hingga lantai empat. Kemudian di samping deretan anak tangga ada sebuah lampu gantung berwarna putih cerah yang memberikan kesan mewah. Terakhir, di tengah ruangan ada sofa-sofa yang sudah bisa ditebak harganya sampai bisa membeli satu rumah.

Elina semakin penasaran dengan kamar Ralitha, lantas berjalan menuju tangga hingga naik ke lantai dua.

Namun, dia tak menemukan kamar apa pun. Dia hanya menemukan ruang stok barang dan ruang-ruang kerja.

Begitu naik ke lantai tiga, dia menemukan ruang baca yang penuh dengan berbagai jenis buku. Tidak disangka, keluarga sekaya Ralitha juga memiliki koleksi kurang lebih sebanyak empat ratusan buku.

"Paling Ralithanya aja yang males," celetuk Elina saat melihat buku-buku itu.

Begitu naik ke lantai empat, akhirnya dia sampai ke sekumpulan kamar. Tepat sekali, di depan sebuah pintu berwarna putih, Elina menemukan sebuah gantungan nama di depannya.

Elina pun tersenyum semangat di detik sebelum dia membuka pintu. Seperti apa ya kamar Ralitha? Luas? Cantik? Mewah? Ada kamar mandi pribadinya? Ber-AC? Ada televisi? Elina tidak sabar.

Dia pun membuka pintu itu dan langsung berjalan masuk dengan melompat.

Brak!

Elina nyaris menjerit begitu kakinya menginjak sebuah ujung dari kotak kayu yang tergeletak di lantai. Dia kontan berlutut untuk menahan rasa sakit yang menggigit dan menahan untuk tidak berteriak. Begitu rasa sakitnya mereda, dia buru-buru melihat ke sekeliling.

"Astaga, kamar ini?!" Elina berdiri dan melempar pandangan ke seluruh bagian kamar yang berantakan total, bagai kapal pecah. Dia sudah pernah menghadapi jenis kamar berantakan karena pekerjaan, seperti kamar Karlina. Namun, kamar Ralitha lebih parah.

Apa yang kakak kelas itu lakukan sebelum keluar rumah?

Elina berjalan semakin masuk ke dalam kamar. Dia melihat sprei di kasur sudah diacak sedemikian rupa, buku-buku bergeletakan di atas lantai dalam posisi kertas yang terlipat-lipat di atas lantai, televisi dengan ujung layar yang pecah, segala barang, skincare, tas sepatu yang keluar dari lemari dan sama-sama bergeletakan di atas lantai.

Semua itu terlihat mahal, tapi terasa sudah tidak memiliki harga di mata Ralitha.

Elina menoleh ke bagian kanan kamar, tepat di atas meja belajar, ada sebuah mading kecil yang masih utuh, tidak terlihat disentuh ataupun terkena keributan apa pun yang pernah terjadi. Di sana, beberapa bagian naskah pentas tahunan ditempel oleh Ralitha, lengkap dengan foto bersama Teater Adiwijaya tahun lalu. Di bawahnya, ada tulisan, "Calon Aktor Terbaik 2024".

"Ada apa sebenarnya?" Elina bertanya-tanya hingga dia melihat seorang perempuan yang berdiri di depan pintu kamar Ralitha.

Dia tidak mampu melihat wajah wanita dengan jelas itu, karena pantulan cahaya dari luar. Dia bisa mendeteksi ada yang tidak beres.

"Apa yang kamu lakuin Ralitha?" Dari suaranya, jelas, suara wanita paruh baya. Elina asumsikan itu adalah ibunya Ralitha.

Tanpa aba-aba, wanita itu berlari kencang dan menampar Elina, menimbulkan bunyi renyah di pipi, dan membuat terhentak ke lantai.

Elina merasakan lutut fisik Ralitha tergores.

"Kamu traktir temen-temen kamu sebanyak delapan belas juta?!" Ibunya Ralitha langsung menunjukkan beberapa bukti pembelian dari dalam tas yang dia kenakan. Bajunya terlihat berantakan, rambutnya lepek, dan napasnya terlihat memburu. "Kamu sudah gila! Anak kurang ajar!"

Sekali lagi, Elina mendapatkan pukulan di bahu dan itu mampu membuatnya membeku. Seumur hidup, dia tidak pernah merasakan yang namanya dipukul oleh Abah dan Mamak, baru kali ini dia merasakan pukulan dari orang tua lain.

"Kamu tadi pagi ngapain? Pakai diam-diam mobil alphard sampai tergores lagi? Dasar anak kurang diuntung!" Lagi, Elina mendapatkan pukulan, tidak sempat menangkis. "Sadar Ralitha, sadar! Kamu sudah menghabiskan uang banyak setahun ini. Utang Mama Papa sudah milyaran, ditambah kamu lagi! Kamu mau rumah kita disita? Mikir sedikit, jangan teateran terus!"

Ocehan itu membuat Elina seketika tersadar akan sesuatu.

🎭🎭🎭

Kalau ada typo & kalimat nggak nyambung dan rada aneh, komentar aja ya🙌

Jangan lupa vote ya, terima kasih💝

Our Main CharacterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang