28 - Ungkap Kisah Lama

16 6 6
                                    

"Pak, kejadian ini emangnya pernah ada sejak kapan?" Tamara bertanya dengan bisik-bisik.

"Sejak dulu. Sudah lama," ungkap Pak Karmin seraya mendudukkan diri di kursi depan studio.

"Kok bisa ya Pak hal seenggak masuk akal nan diterima nalar ini terjadi?" Tamara lanjut bertanya lagi.

"Karena keinginan kuat manusia." Pak Karmin menjelaskan, "Ada jenis manusia yang nggak suka dan nggak terima sama hidupnya. Ada jenis manusia yang iri sama hidup orang lain. Ada jenis manusia yang nggak suka melihat orang lain bahagia. Dari situ, hal nggak masuk akal ini terjadi, karena ada yang cari. Kamu pernah tau kenapa santet, sihir, dan pesugihan itu muncul? Karena ada manusia tergoda untuk mencari dan menuntut ilmunya. Kurang lebih sama kayak ini. Ilmu yang kamu bilang nggak masuk akal dan nggak bisa diterima nalar ini ada yang punya."

Andreas mengangguk. "Nenek yang selalu jalan pas senja itu. Saya pernah lihat, sekali, habis itu nggak mau balik lagi. Pantesan jalan itu selalu kosong."

"Tapi kenapa ilmu aneh itu dikasih dalam bentuk kalung yang cantik, Pak?" Tamara terus bertanya.

"Ya karena targetnya anak remaja. Anak sekolah. Yang gampang insecure. Yang masih gampang dikerjain, dibodohin," jawab Pak Karmin, "kakak kelasmu dulu, pernah jadi korbannya juga. Sempat tertukar massal, tujuh tahun lalu kalau nggak salah. Fatal itu dulu. Dalam tiga hari ada 37 orang nggak bisa balik. Alhasil, pada kemah di sekolah. Stres saya."

"Kakak saya," tambah Andreas.

"Ya, Mbakmu, kena dia. Dia yang nemu kalung itu. Diterima aja lagi. Dia sama kayak Ralitha Elina. Nggak mau balik seminggu. Untung waktu itu kita nggak  lagi dalam proses garap pentas tahunan dan dia sempat ngomong ke saya. Jadi bisa saya bantu selesaikan. Saya suruh kembalikan kalung itu ke nenek yang punya ilmunya."

"Serius Pak, nenek itu masih hidup dari tujuh tahun yang lalu?" Andreas kontan menyenggol Tamara.

"Setau saya, pengguna ilmu begitu biasanya susah meninggal, harus diwariskan dulu ke orang lain, makanya dia berumur panjang," kali ini Andreas yang membalas sekalian berbicara dengan Pak Karmin. "Bapak pernah ingat nggak, batas waktu pegang kalung itu sampai kapan?"

"Oh iya, asumsi saya dulu, sampai bulan purnama. Kakakmu nggak ada ceritakah? Dulu, dia cari nenek itu sampai nggak tidur semalaman, karena takut jadi penerus. Dia akhirnya kembalikan kalung itu, pas pagi di malam bulan purnama. Alhasil, dia selamat. Nggak jadi penerus sampai sekarang," jelas Pak Karmin. "Siapa yang terima kalung itu pertama kali?"

"Elina, Pak."

"Oh, kalau begitu, dia harus kembalikan. Sebelum malam bulan Purnama. Nggak ada yang tau pasti, batasnya sampai kapan. Tapi, mending segera dikembalikan daripada jadi penerus yang selalu tertukar jiwa sama orang lain," tambah Pak Karmin. "Tujuh tahun lalu, saya sama guru-guru cari tau cara balikin jiwa ke raga korban semua dengan kemah. Dari situlah, mulai ada yang berhasil balik ke raga masing-masing. Jadi bisa disimpulkan bahwa adanya 'ketidaksadaran' dan 'keinginan kuat' dapat mengembalikan jiwa yang tersesat. Dan sialnya, setiap tahun, ada guru yang mengeluh bahwa siswanya terima kalung itu dan jadi korban. Saya bantu pakai cara yang sama dan berhasil. Tahun ini, saya sudah wanti-wanti, apakah bakal ada korban baru, tapi nggak ada info sama sekali. Saya pikir, semua sudah aman. Ternyata, kalian yang kena, sayangnya diam aja sampai nyaris fatal."

"Soalnya takut kalau ngomong malah makin nggak diterima akal Pak," kata Tamara. "Kami aja kemarin kembaliin jiwa Karlina sama Elina itu lewat digeplak pakai kayu sampe nggak sadar. Pernah juga, sih, pakai cara tidur, tapi kayak nggak mempan."

"Itu karena salah satu dari mereka ada yang nggak terima. Harus ada kemauan di antara keduanya. Kalau satu orang ada yang nggak mau tukar jiwa, bakal ada dua kemungkinan: satu, gagal tukar jiwa; dua, kalau ruangan ramai orang, sementara dua korban ini sangat bertolak belakang keinginannya, kemungkinan besar malah bakal terjadi pertukaran massal. Itulah sebabnya saya kurung mereka berdua dan kalian nggak boleh masuk. Bertahun-tahun saya pelajari pengalaman nggak jelas ini, ternyata berguna juga." Pak Karmin akhirnya minum air dari botol yang selalu dibawanya.

"Kalau misalnya Ralitha nggak mau balik ke dirinya gimana Pak?" Lagi-lagi pertanyaan aneh Tamara keluar.

"Bujuk sampai mau." Pak Karmin berhenti minum sejenak, lalu lanjut.

"Kalau beneran nggak mau seumur hidup, bolehkah digeplak aja Pak? Soalnya saya pernah geplak Karlina Elina, manjur Pak. Saya izin geplak Ralitha, kira-kira bakal kembali nggak ya? Penasaran saya."

Pak Karmin hampir tersedak saat minum. "Entah, selama ini belum ada yang pernah coba. Tapi kalau misalnya kepepet dan di dalam ruangan ada banyak orang, setidaknya dengan membuat Ralitha atau Elina nggak sadar, kayaknya akan meminimalisir kejadian pertukaran jiwa massal selanjutnya. Kalung nggak akan bersinar dan macem-macem, mengikut orang yang pakai. Itu masih kayaknya ya, tapi kalau bisa, dihindari main geplak-geplak."

Andreas menyenggol Tamara lagi.

***

Pak Karmin masuk ke dalam studio setelah setengah jam mengurung para korban pertukaran jiwa. Semuanya terlihat terlelap, kecuali Ralitha dalam fisik Bambang yang terlihat ingin merebut kalung di tengah.

Melihat itu, Tamara siap membawa kayu besar di tangan kanannya. Sementata Andreas sigap merebut kayu di tangan Tamara dan langsung membuangnya keluar.

"Ralitha, maumu apa Nak?" Pak Karmin akhirnya bertanya. "Udah, balik aja ke hidup sendiri. Daripada kamu hidup jadi Bambang seumur hidup, mau nggak?"

Akhirnya Ralitha memaksa diri untuk tidur. Pak Karmin dan yang lain terpaksa keluar dari studio untuk memberi waktu dan berbincang lagi.

Tiga puluh menit waktu berlalu. Mereka bertiga kembali dan mencoba membangunkan setiap pasangan yang tertukar jiwanya. Dimulai dari Elina dan Karlina yang ternyata sudah kembali ke raga masing-masing.

Elina sampai menangis terharu saat dia dapat kembali melihat kulit tangan sawo matang, rambut pendek, dengan kakinya yang banyak bekas luka. Sementara itu, Karlina hanya mengendikkan bahu saja. Ini adalah kali kedua dia kembali ke raganya dan terasa biasa saja.

Elina sampai mengucapkan terima kasih ke Pak Karmin, Tamara, dan Andreas berkali-kali. Kemudian, dia meraih kalung berlian di tengah sebelum yang lainnya dibangunkan.

Tak lama kemudian, semua siswa bangun dari tidur dan berteriak senang karena dapat kembali ke raga masing-masing, terkecuali Ralitha yang terlihat murung. Gadis itu berlari keluar ruangan dan tidak sudi menatap ke belakang.

"Elina, kamu harus kembalikan kalung itu ke nenek yang pernah kamu temui," kata Pak Karmin.  "Segera kembalikan, daripada ada insiden pertukaran jiwa lagi. Bahaya. Pastikan, kamu sendirian. Karena takutnya aja, kalau bawa teman, nanti gantian temanmu lagi yang jadi korban," titah Pak Karmin yang langsung membuat Elina keluar dari studio menaiki sepeda birunya yang berkarat.

🎭🎭🎭

Oke, jangan lupa VOTE YA. Terima kasih.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 5 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Our Main CharacterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang