4. Sentuh berujung tuduh

57 7 1
                                    

Kalo Amanda aneh, Dino tentu saja tidak akan mengabaikannya sampai sikap Amanda seperti sedia kala lagi. Adalah 5 hari sudah Amanda aneh. Jadi, Dino memutuskan weekend ini dia akan seharian main ke rumah gadisnya, sabtu minggu full untuk Amanda Mutiara Hutama.

Pagi-pagi sudah menumpang sarapan dirumah orang, sudah biasa untuk Dino. Pak Hutama dan Ibu Rani, ayah dan bunda Amanda, selalu membuka pintu untuknya lebar-lebar, ya karena dia calon menantu. Kata bunda, Amanda tadi malam nglembur nyelesaiin skripsi. Meski beberapa hari lalu Amanda bilang paling tidak 2 hari nanti dikirim ke Pak Heri, namun sepertinya hari itu mundur, sampai dia masih nglembur menyelesaikan bab 4-5. Dino cuma menerka saja.

Arsen, adik laki-laki Amanda yaang berusia 17 tahun, sudah kelas 1 SMA, mengajaknya bermain playstation di ruang tengah memakai tv utama, bukan tv kamarnya karena hari sabtu minggu rumah untuk kebebasan anggotanya. Sedangkan ayah dan bunda sudah berada dibelakang mengurus kebun sayur dan buah kecil-kecilan.

"Mbak belum sarapan, kan, Sen?" tanya Dino ditengah permainan game sepakbola mereka, sudah 15 menit dari sarapan dan main PS, Amanda belum kelihatan turun. Pasalnya ini sudah jam 8 lebih, sudah siang buat sarapan.

"Masih tidur kali." jawab Arsen seadanya dengan mata tajam fokus ke tv, cuma memikirkan agar tim sepak bolanya bisa menang.

"Masa Mbakmu tidurnya sampai siang. Biasanya aku WA jam 6-an dia udah bales walaupun weekend."

"Kalo aku dengar tiap malam akhir-akhir ini sih kaya Mbak sering nangis. Aku, kan suka begadang, kamar kita sebelahan ya pastinya dengar."

Dino tertegun, berhenti menggerakan jempolnya di stik PS alhasil timnya kebobolan goal oleh tim Arsen.

"Yesss!!! Aku unggul, Mas, 1 - 0."

Dino sudah tidak fokus, "Nangis? Nangis kenapa?"

"Ya aku nggak tahu, dengar dia mewek samar-samar aja habis itu berhenti sendiri mungkin ya ketiduran."

"Aku boleh ke kamarnya ya?" Dino sudah tidak bisa menahan diri untuk bertemu dengan Amanda. Sebab pesannya beberapa hari ini setelah nonton waktu itu hanya dibalas singkat-singkat oleh gadis itu.

"Ijin ke ayah dulu, Mas."

Dino melihat di pintu belakang sepertinya ayah dan bunda sudah terlena dengan kegiatn di kebun mereka.

"Lagi pada sibuk. Bentar aja ya, aku nggak ngapa-ngapain kok." Tanpa menghiraukan dengusan Arsen, Dino naik ke lantai 2 dimana kamar Amanda berada.

Selama disini dia tidak pernah ke kamar gadisnya, biasanya hanya di ruang tamu ngobrol atau di meja makan sambil makan pagi dan siang. Dino sendiri lebih suka menghabiskan weekend dirumah Amanda, ketimbang keluar seharian bersamanya, suasananya amat hangat dibanding kosnya. Dia memang asli Semarang tapi rumah utamanya di komplek BSB sedangkan tempat kerjanya di Jatingaleh, jadi lumayan jauh. Kadang dia pulang jika terasa sudah lama untuk mengecek saja, karena bagaimanapun suasananya sudah beda, rumah itu memanh rumah utama tetapi ayahnya bekerja di Makassar dan jarang pulang, ibundanya sudah lama tiada. Yang mana, dingin menyelimuti hidupnya sekarang.

Dino sampai didepan pintu kamar bercat putih.

"Amanda?" serunya sambil mengetuk pintu pelan. 3x kali berulang belum kunjung dibuka. Jadi, Dino gerakan saja pegangan pintu itu.

"Ngapain sih?!"

Rupanya Amanda itu tahu ada Dino. Gadis itu masih berkutat dengan layar laptop, printer yang sedang jalan mencetak, dan kertas-kertas berjejeran dilantai.

Dino berdecak. Amanda sengaja tidak menyahut dan buka pintu, yang dia yakini, masih marah. Tanpa ragu dua kakinya melangkah masuk. Mungkin tidak mengapa bertandang ke kamar seorang gadis, meski statusnya tunangan, tapi ya memang belum pantas sih sebenarnya.

Sejauh Mana Kita Melangkah?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang