10. Menyusun angan indah bersama

55 4 1
                                    

Mereka di cafe Tekodeko menikmati kopi  yang seakan bisa meringankan beban di kepala, pundak, hati, dan kaki setelah Amanda menceritakan semua tentang ayahnya tadi siang pada Dino. Mereka beecerita sepanjang jalan Kota Lama di sekitat museum yang agak sepi, lalu mampir ke cafe.

"Terus, kamu bakal terima tawaran itu?" tanya Dino setelah menyeruput kopi Londo hangatnya.

Amanda menatap kopi es kopi cincaunya yang terasa enak namun malas untuk menyeruput. Sejak tadi meski bersama Dino, suasana hatinya tidak ada enak-enaknya. Dia bingung, dia kira ketika bersama Dino hatinya akan lega dari masalah yang ada, tapi masih sama. Jadi dia cukup bersalah dengan laki-laki dihadapannya ini. Seharusnya dia bahagia malam ini karena Dino.

"Gak tahu."

"Menurut aku terima aja dulu. Kalo udah mulai kerja, sebulan atau dua bulan kemudian kita nikah. Bagaimana?" segurat khawatir juga nampak di wajah Dino. Dia niat, sangat niat menikahi Amanda. Sudah dia rencanakan dari 2 tahun yang lalu malah. Dia mengusulkan itu sesuai keinginan Amanda. Gadis itu kerja dulu lalu menikah. Walau sebenarnya belum bekerjap atau tidak usah bekerja pun, Dino sanggup menafkahi.

Amanda memang memiliki rencana begitu, tapi masalahmya tawarannya dari Bayu. Itu artinya, dia akan berkaitan dengan laki-laki itu.

"Aku dibantu sama Bayu, kamu masih ingat?"

"Bayu teman kecil kamu yang kerja di sekolah Ayah?"

Amanda mengangguk, "Iya, dia."

"Ayah masih suka sodor-sodorin dia sama kamu, ya?" suara Dino sedikit serak, dia berdeham, menghilangkan cekatan ditenggorokannya karena mendadak sulit bernapas. Mendengar, nama itu.

"Takutnya kalo aku terima jadi terikat sama dia, pasti merasa berhutang budi."

Dino mendongak menerawang jauh sesuatu, "Dia, emang yang Ayah, mau, kan? Kalo ini demi meringankan masalah Ayah, ya gak apa-apa, kamu terima aja dulu, nurut sama dia. Selanjutnya aku yang berusaha."

Amanda mengambil kedua tangan Dino menggenggamnya erat seolah tidak ingin melepasnya, "Jangan mikir yang dulu-dulu, please! Udah gak usah ngerasa rendah lagi. Kamu yang aku mau, kita sudah jauh melangkah jadi kita harus berjuang sama-sama,"

"Kamu bisa lamar aku, sekarang, kamu bisa menghadap Ayah."

Pandangan teralih ke Amanda lagi, meski sedikit mengabur, senyum Amanda membangkitkan rasa percaya dirinya lagi, "Iya, besok aku akan datang ke rumah."

"Bagus. Bilang sama Ayah, kita mau nikah secepatnya. Aku gak akan halangin kamu sama masalah aku. Kita fokus sama diri kita dan masa depan."

Dino mengangguk penuh keyakinan.

"Karena aku tahu, Bayu datang, artinya Ayah makin gencar."

"Gak, gak, Bayu cuma mau bantu menyelesaikan masalah Ayah. Gak ada hubungannya sama kita."

"Aku nanti juga bilang sama Ayahku, harus persiapan pernikahan kita mulai dari sekarang."

"Iya betul."

"Kalo kita menikah, apapun bakal terasa lebih ringan, Sayang. Kita jalan bareng-bareng, membangun rumah tangga, nanti ada anak-anak. Kita bakal tahu gimana kehidupan itu."

"Maaf, bikin kamu lama banget nunggu aku. Aku akui aku beruntung punya kamu yang sabar dan gak mengkhianati aku yang ribet ini. Sekarang aku gak akan jadi pasangan yang ribet."

Dino tersenyum lebar, berkhianat? Tidak ada dipikirannya.

"Gak ada niat mengkhianati kamu, Amanda. Aku serius, aku gak bisa lakuin itu. Aku ingat Bunda, perempuan yang setia sama aku, yabg bikin aku gak bisa nyakitin kamu dengan berkhianat. Gak ada dipikiranku, Amanda. Aku bisa setia sama kamu. Gak ada rasa bosan, jenuh, atau apapun. Justru makin lama, makin mikir, aku sendiri berpikir kaya gini, kapan bisa lanjut melangkah sama kamu, tiap hari. Aku jujur."

Sejauh Mana Kita Melangkah?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang