3. Dibungkam dengan pesan

54 8 1
                                    

Amanda pulang bersama Dino, betul dia menunggu Dino yang pulangnya jam 4, di perpustakaan sembari mengerjakan skripsinya. Demi Dino dia tadi menunggu di kampus sampai sepi. Sekarang mereka sedang perjalanan ke DP Mall, mau nonton film horor yang membuat Amanda tadi melihat tiketnya heran. Amanda sudah tanya Dino kenapa milih film horor. Dino jawabnya cuma film itu yang sedang hype dan banyak yang nonton.

Mall di jantung kota Semarang ini selalu ramai karena memang enak untuk santai-santai dan cuci mata. Dino mengantri untuk membeli popcorn dan air mimum, sedangkan Amanda duduk sembari memotret suasana bioskop yaang kemudian dijadikan instastory.

Amanda menatap punggung Dino yang menjauh. Penampilan berantakan Dino dengan kemeja biru muda yang sudah keluar dari selipan celana di pinggangnya dan rambut yang nampak tidak serapi saat pagi tadi Amanda lihat. Tidak sungkan untuk langsung mengajaknya ke mol, dia tipikal lelaki yang tidak terlalu memikirkan penampilan sih. Tapi memang sosok Dino selalu menarik dimatanya dalam keadaan apapun. Mungkin sebagian kaum hawa di sekitar sini juga beranggapan yang sama dengan Amanda. Kalo disebut Amanda beruntung punya Dino, iya dia beruntung, tapi Amanda sendiri beranggapan Dino tidak beruntung memilikinya. Selalu saja dia pesimis dengan hubungan ini.

Selang 5 menit, Dino sudah menghampiri Amanda sambil membawa popcorn dan minuman untuk teman menunggu jam tayang tiba. Mereka duduk di sofa empuk yang tersedia disana.

"Kata Pak Heri gimana lanjutannya?"

"Aku bisa lanjut bab 4 sama 5 sekalian. Aku mau ngebut biar ikut wisuda tahun ini."

"Alhamdulillah."

"Aku bisa kerjain sehari dua hari lah ya. Habis itu langsung aku kasih ke Pak Heri. Aku udah nggak sabar ini semuanya selesai. Biar nggak malu. Ditanya tetangga 'kok belum lulus-lulus, kok belum kerja, seharusnya bisa sambil kerja aja'. Stres aku tuh."

Dino menempatkan tangan kanannya diatas tangan kiri Amanda lalu digenggam dan dielus.

"Orang gak akan berhenti kepoin hidup orang lain kalo belum nemu yang bikin mereka puas. Jadi, jangan terlalu diurusin ya."

"Aku nggak urusin sih, bisa lupa dalam sekejap kok, tapi mau berbagi cerita aja sama kamu. Kemarin bunda digituin soalnya."

"Pokoknya kamu fokus sama skripsi dulu. Urusan kerja nanti aja. Syukur-syukur kalo kita bisa nikah dulu."

"Nikahnya ... nanti aja, ya?" suara Amanda berhati-hati. Bagaimana perempuan ini diajak nikah berkali-kali tapi masih jawabnya nanti-nanti, makanya Amanda tidak ingin membuat sisi hati Dino tersentil.

Dino hanya mengangguk pelan, "Gapapa kok. Rencana kamu mau kerja dimana?"

"Aku tuh pingin bisa merantau, minimal Jakarta ya. Mau ngerasain hidup disana. Nanti aku lamar kerja di perusahaan start up atau apalah gitu."

"Nggak nyoba CPNS atau BUMN?"

"Aku yakin kayanya gak bakal keterima, yang ikut se-indonesia raya, tapi yang diterima berapa biji aja."

"Iya juga. Akupun merasakannya waktu itu."

"Kamu pintar jadi gampang, aku yang gak pintar-pintar amat ya berjuangnya lebih banyak."

"Bukan masalah pintar, udah rejekinya."

"Iya juga sih. Aku juga mau ngembangin bisnisku. Pingin banget buka ruko di sekitar Kota Lama."

"Iya gapapa."

"Belum ada modal, sayang."

"Mau aku bantu modalin?"

Amanda terkekeh mendengar niat mulia Dino, lelaki ini memang sudah punya banyak tabungan, dia pintar menyisihkan uang kebutuhan dan hal lain-lain, jadi Amanda yakin kalo modal yang disebut bisa dipenuhi oleh Dino, tapi tentu dia tidak mau, Dino belum apa-apanya jadi dia tidak berhak pakai uangnya walaupun niatnya untuk bisnis. Amanda masih pekewuh sama Dino. Lebih baik ya dia apa adanya saja.

Sejauh Mana Kita Melangkah?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang