Prolog

180 58 14
                                    


Selamat datang di masa depan warga Indonesia

Berisi fiksi, khayalan belaka sang penulis.

Matahari merangkak turun, burung jalak bertengger di atas batang pohon tak berdaun. Jalanan itu hanya ditinggali jejak asap dan api. Letusan senjata yang meluncur merusak Indra pendengar. Mayat mayat tergeletak, darah segar mengalir membanjiri aspal. Amis anyir merusak indra penciuman.

Di pertigaan jalan, mobil-mobil terbalik menimbulkan kepulauan asap. Bangunan tinggi hancur lebur menyisakan bongkahan temboknya. Ledakan bom kaum pemberontak telah di luncurkan.
"Kaparat, mampus kau!"

Gadis kecil dengan rambut berkepang duduk di belakang lindungan batang pohon akasia, menangis ringkuh menatap pemandangan di kota nya. Sudah seharian iya berlari tanpa alas kaki, seharian itu pula ia mencari kedua orang tuanya. Perutnya mulas setiap melihat mayat-mayat berlumur darah itu bergelimpangan di atas aspal, menggantikan polisi tidur yang sudah hancur oleh ledakan bom. Satu persatu orang berpakaian rapi jatuh ibarat ditarik medan magnet bumi. Gadis itu membekap mulutnya, salah satu dari orang berpakaian rapi itu adalah Ayahnya, Ayahnya!

Gadis itu membelakangi mayat ayahnya, ia berusaha keras untuk tidak melihat mayat ayahnya. Namun, ia kembali ternganga demi melihat wanita berhijab cokelat itu di tahan oleh dua penyusup. Jilbab wanita itu ditarik paksa hingga sobek dan terlepas. Terlihatlah rambut indahnya yang dijepit.
"Mama.." bisiknya sepelan mungkin, namun berharap sang Mama mendengar.
Wanita itu menggeleng pelan dan tersenyum bak Dewi peri walau dua orang pria yang menyiksanya itu tak berhenti. Tubuhnya di tendang hingga wajah eloknya tersungkur ke aspal. Bagai disambar petir, gadis kecil itu terduduk jatuh saat selongsong peluru dimuntahkan dari pistol, menembus leher sang Mama.

Hampir saja gadis itu menjerit jikalau seorang pria berpakaian serba putih dengan sabuk hitam menariknya dan membekap mulutnya.

"Dengar, ingat kalimat ku. Kita, aku dan kamu harus membalas kaum Proletar itu. Kita seorang Borjuis!"

Gadis itu bergeming, pikirannya menerawang jauh pada wajah Mama dan Ayahnya tadi. Gadis itu kembali menatap pria berpakaian putih itu. Kalimat pria itu bagaikan bius, senyum miring tersungging di bibir mungilnya hingga pria itu tersenyum puas.

"Siapa kita?"
"Kaum Borjuis!"
"Siapa Borjuis?"
"Sang penguasa negeri ini,"
"Siapa namamu?"
"Ravelia."

-------------------

Beberapa dekade selanjutnya, tanah air memasuki era dystopia yang telah dikuasai kaum Borjuis. Seorang manusia rekayasa bernama Shazera Karelina. Zera yang dinyatakan sebagai kloningan gagal pun dipersiapkan untuk diasingkan menuju pelosok negeri dan dijadikan budak. Di tengah perjalanan, helikopter yang membawanya ditembak hingga jatuh di laut Dubai. Di ujung pesisir pantai, Zera ditemukan oleh seorang pria. Pria itu Jericho Bumi Madava. Bumi, sang revolusioner. Bumi yang mengajarkan ilmu keagamaan dan menanamkan nilai-nilai Pancasila di dalam diri Zera. Kemanusiaan, kekeluargaan, nasionalisme, juga cinta.

Surat Dari Bumi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang