Bab 18

4 1 1
                                    

Pagi-pagi sekali suara gemuruh babi hutan yang berlarian turun dari perbukitan meriuhkan warga Jawa. Segerombolan orang berpakaian loreng-loreng dengan suara tembakan turun dengan berlarian ke permukiman, menyerang dengan pelurunya yang terus diluncurkan.

"Zera!"

Tangan Bumi menarik ku langsung, kami berlari memasuki pedalaman hutan yang rimbun oleh pepohonan belukar.

Sungguh terkejut saat Bumi mengangkat ku agar naik ke atas kuda, aku dibelakang dan ia yang memacu kuda. Oh sungguh? Aku tak bisa bernapas rasanya, kuda itu berlari bahkan meloncati batang-batang pohon yang menghalangi jalan kami.

"Berpegangan!"

Aku seolah terbang saat kuda itu meloncati tebing tinggi, kami melewati jurang dengan cara meloncati nya. Sama dengan kudanya, jantungku juga terpacu cepat. Di belakang, kawanan baju loreng berlarian berusaha mengejar kami.

"Bumi... di depan ada sungai!"

Aku menutup mata, hanya bisa mendengar Bumi yang sedang menggumam kan kalimat yang ku yakini sebagai doa.

Tiba-tiba, sorakan terdengar dari depan. Aku membuka mata, ternyata masyakarat Flaris dengan pedang, tongkat bambu, bahkan senjata juga sudah siap bertempur.

"Lari, Bumi! Lari! Di depan sudah ada singa jantan putih untuk mu!"

Aku melotot, apakah aku akan menaiki singa itu juga? Tanpa aba-aba Bumi langsung menggendong ku, ia berjalan di atas bebatuan yang berbentuk bulan di atas sungai, sebagai alat menyebrangi.

Benar sekali! Singa putih, singa itu mengaum dan menghampiri kami. Bumi mengelus kepalanya lembut, ia langsung menaiki singa itu tanpa takut dan ragu. Aku ikut naik dan kembali memeluk erat Bumi dari belakang. Singa itu mulai berlari, kecepatan singa melebihi kuda yang hampir membuat jantungku copot tadi. Aku seolah menjadi Tarzan jadi-jadian, aku sama sekali tidak pernah mau merasakan keadaan yang seperti ini.

"Nunduk!"

Aku mengikuti perintahnya.

--

Tangan sang pemimpin negeri ini tengah menggendong kucing kesayangannya. Ia tersenyum menatap layar transparan yang memperlihatkan kehancuran wilayahnya sendiri, Jawa Tengah.

"Yah, setidaknya aku tak dapat rugi," ucapnya santai, tangannya terus mengelus bulu-bulu halus kucing putihnya.

"Lihat, Nona! Pasukan kita diserang!"

Presiden Ravelia kembali menolehkan kepala, matanya menatap tajam layar virtual itu.

"Kaparat! Pasukan militer goblok!"

Ravelia bangkit dari duduknya, dengan kasar ia lepas gendongan kucingnya.

"Yang mulia, beberapa pasukan Proletar dan revolusioner ternyata bekerja sama, kita bisa kalah yang mulia." Seorang gadis dengan kacamata memasuki ruang tekhnologi.

"Kalah? Mereka kerja sama? Astaga, Tuhan! Aku pemimpin negeri kalau kau lupa, tidak ada yang bisa mengalahkan ku. Panggil Bimasakti."

Tidak sampai 5 menit Presiden Ravelia menunggu kedatangan aduk kandungannya itu.

"Ya, Kak?" Bima menatap datar kakaknya.

"Kita buat perjanjian. Zera akan kembali pulang ke Kalimantan. Tapi, dengan satu syarat."

Bima bergeming, ia sudah tahu makna senyuman manis di bibir Kakaknya itu, senyuman licik.

"Aku, aku tak bisa." Bima membalikkan badan, membelakangi Kakaknya.

"Oh, kalau begitu baik. Kita lihat sampai mana si penyakit jantung itu bertahan hidup, bisa jadi dua jam ke depan dia mati karena dibawa Jericho. Bisa jadi sekarang dia sudah mati dengan jantung yang busuk dan-"

"Cukup, Kak! Akan ku beri tahu keputusannya lusa." Bima melangkahkan kakinya dengan cara dilebarkan, ia sudah tak tahan mendengar kalimat yang membuat telinganya panas.

"Oh begitu? Ternyata adikku mulai jatuh cinta, cih! Rendah sekali seleranya? Masa jatuh cinta dengan gadis berpenyakitan?"

Ravelia tertawa mencemooh, ia menggelengkan kepalanya.

"Kita lihat permainan ini, bisakah Jericho hidup survival di hutan-hutan? Dengan binatang buas yang lapar, dan jantung Zera yang mulai memburuk? Oh, sudahlah, mereka pasti mati ditangan ku."

Seorang prajurit tersenyum kecil mendengar kalimat Presiden itu yang merendahkan nama Jericko.

"Tapi, yang mulia. Saya khawatir kalau Jericho lah yang akan memenangkan perm-"

"Kau meragukan diriku? Mau ku pecat kau? Mau ku asingkan dirimu?"

Bola matanya merah nyalang, sungguh besar emosi yang memeluknya.

Prajurit itu tersenyum simpul, ia mengangguk dan berbalik badan meninggalkan ruangan itu.

"Akan ku pastikan kemerdekaan Indonesia kembali diproklamasikan, negara ini milik tuhan, bukan manusia robot sepertimu."

Bisik prajurit itu penuh tekad.

Surat Dari Bumi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang