Bab 16

7 3 0
                                    

Ruangan beraroma kasturi dengan beragam teknologi tersebut tampak lengang. Hanya bunyi ketik-ketik jemari ketukkan di atas keyboard virtual. Layar transparan di depan Bimasakti berubah menjadi holografik yang menunjukkan lokasi detektornya.

"Zera bersama Jericho," Bima berucap dengan kepala tertunduk, ia sangat menyesal.

Presiden Ravelia tertawa penuh kemenangan.

"Bawa Zera kembali, kita akan menjebak Jeri."

--

Sekitar setengah jam lebih Presiden Ravelia meluangkan waktu untuk berkeliling di ruang tekhnologi miliknya.

Meja makan siang telah dipersiapkan pelayan berpakaian senada. Presiden Ravelia membiarkan seorang pelayan memasangkan serbet pada kemejanya, menyiapkan piring serta menuangkan air ke dalam gelas berkaki panjang di dekat tangannya.

Presiden Ravelia menggenggam pisau dan garpu, memandang aneka jenis makanan di depannya. Seekor ayam kalkun besar di atas sebuah piring berukuran besar pula. Ada kentang goreng di dekatnya, sepiring cake, sekaleng acar, semangkuk bubur, dan satu bungkus roti.

Luthfi, selaku pesuruh yang senantiasa sahaja pada Presiden Ravelia dengan setia menunggu ratunya makan.

"Aku takut."

Presiden Ravelia berkata dengan pelan

"Takut apa, Nona?" sahut Luthfi.

"Aku berbeda,"

"Sudah saya katakan, menjadi berbeda itu unik. Tak ada yang perlu ditakutkan. Justru, menjadi orang normal itu bisa saja membosankan. Mereka tidak secerdas anda."

"Ah, benar. Aku bangga menjadi makhluk rekayasa."

Presiden Ravelia tersenyum miring, ia mulai melanjutkan ritual makanya. Pelayan dengan paham langsung menghidupkan musik pengiring.

"Yang mulia,"

Tiba-tiba seorang pria tinggi melenggang masuk, pria itu membungkukkan badan, hormat.

"Kami gagal mendapatkan Jericho,"

"Gagal? Kau tahu kan aku tak suka mendengar kata gagal?"

"Pasukan militer kami dibantai habis-habisan oleh revolusioner Aceh."

"Goblok! Mengurus hal kecil saja tak bisa," Presiden Ravelia berdiri angkuh.

"Keluar!"

Pria tersebut mengangguk takut-takut. Tak mau berlama-lama berada satu tempat dan menghirup udara yang sama dengan wanita itu, pria tadi melangkah panjang-panjang melintas ruang makan yang megah, ia lenyap dibalik pintu.

"Jangan sakiti, Zera. Nona," Lutfi memotong langkah Presiden Ravelia.

"Kenapa?" tanya Ravelia tak suka.

"Bukankah kalian lahir dengan cara yang sama?" tanya Luthfi sedikit menunduk.

"Ya. Bedanya, aku sempurna." Langkahnya kembali dilebarkan, melewati Luthfi yang bergeming.

--

Aku duduk selonjoran di tanah cokelat itu. Sejak malam tadi, tepatnya pukul 11.00 malam

aku dan Bumi sudah memulai perjalanan. Dimulai dari menaiki perahu kecil, berjalan menyusuri hutan, bertemu burung hantu, hingga kembali menaiki kapal.

"Maaf, karena ku kau jadi ikut susah," ucap Bumi saat melihatku yang diam sejak tadi. Dengan cepat aku menggelengkan kepala.

"Aku senang bisa bersamamu sampai detik ini," ucapku tulus, yah walau sedikit lelah. Bumi hanya membalasnya dengan senyuman tipis.

Aku menatap tanganku,

*ilustrasi gelang Zera*

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

*ilustrasi gelang Zera*

Aku melepaskan gelang itu secara perlahan, menatapnya penuh harapan. Aku langsung menggenggam gelang itu, melemparnya asal.

"Kenapa dibuang?" tanya Bumi kaget.

"Mereka bisa mendeteksi lokasi kita," ucapku pelan. Walau harapan untuk kembali bertemu orang tuaku hilang. Bumi diam menunduk.

Kota B yang sama-sama terletak di daerah Bandung  menjadi destinasi kami selanjutnya. Setelah melakukan perjalanan darat dan laut yang super panjang, sampailah kami di kecamatan 2. Kanan kiri ku telah berjejeran pohon kelapa, kami baru menapakkan kaki di Kota B. Rumah-rumah berbahan dasar bata dan kayu terlihat rapi seperti berbaris.

Beragam tempat beribadah juga dibangun. Aku mengarahkan pandanganku pada segerombolan bocah yang bersenda gurau. Dari kejauhan, seorang pemuda bertubuh atletik berlarian kecil memanggil nama Bumi sambil melambaikan tangan. Ia makin berlari kencang, sampai di depan kami sambil mengatur napas yang memburu. Matanya menyipit ke arahku, menelisik penampilanku dari atas kepala hingga ujung kaki.

"Akhirnya, kau sampai dengan selamat,"

Pemuda itu memberikan tepukan bersahabat pada lengan Bumi.

"Niko, ini Zera." Bumi memperkenalkanku pada pemuda itu, yang kurasa adalah sahabatnya di sini.

Aku teringat pembahasan kawan-kawannya waktu itu. Rambutnya dibiarkan berantakan, mencuat ke sana-sini. Kaus yang dikenakannya juga dipenuhi cat minyak berwarna. Dilehernya menjuntai kalung berbandul salib.

"Wih, dara cantik mana? Hai Zera."

Ku sambut uluran tangan itu, tangannya yang kuat menggenggam tanganku. Rasanya tulangku seakan berniat diremukkan olehnya.

"Darurat, mereka tahu telah dimata-matai, sekarang aku buronan."

"Huh, ceroboh! Kalian mau istirahat dimana?"

Niko melirikku.

"Dia di rumah Chika. Dan aku di rumah mu,"

Mendengar nama seorang perempuan disebut, mataku membulat. Siapa pula Chika?

Baru Aku ingin bertanya pada mereka, saat itu pula sapaan dari suara lembut dan jernih seorang gadis terdengar menyela diantara kami. Aku ternganga melihatnya. Gadis itu berdiri dengan senyum malu-malu di bibirnya. Ia memakai jilbab dengan baju lengan panjang, juga rok panjang.

"Lama tak kemari, sekali datang membawa dara cantik kau, Mas."

Meski baru pertama bertemu dengannya, sebagai seorang perempuan, aku dapat mengenali nada cemburu.

"Chika,"

Daguku terangkat sedikit mendengar Bumi menyebut namanya. Aku tak menyangkal jika ada yang menuding bahwa aku cemburu. Nada Bumi memanggil nama gadis itu lembut, sama seperti saat Bumi menyatakan perasaannya padaku.

Surat Dari Bumi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang