Bab 17

1 0 0
                                    

"Aku ingin bertemu Abimu," ucap Bumi pelan.

"Di rumah, kamu tidak mau memperkenalkan gadis ini?"

Rasanya ada sesuatu tersangkut di kerongkonganku.

"Ini-"

"Zera,"

Aku mengulurkan tangan menginterupsi. Meskipun perasaan yang mendapat pandangan skeptis dan cemburu darinya, tetap ku pasang wajah ramah dan sumringah. Mula-mula ya ragu menjabat tanganku, namun beberapa sekian detik selanjutnya yang baru bersedia menjabat tanganku. Tangannya halus laksana beledu. Seperti wajahnya yang molek. Aku yakin, Chika gadis yang menjadi cinta pertama Bumi.

"Sudahlah, kalian melepas rindu sana. Aku mau lanjutkan dulu lukisanku. Kalau mau bergabunglah di pendopo nanti," Niko yang sejak tadi menjadi bisu melambaikan tangan pada kami, berjalan menjauh.

Kini tinggal kami bertiga. Dengan aku yang seperti boneka porselan pajangan dan sejoli yang tampaknya sedang berusaha melepas rindu.

"Ayo, sebelum Maghrib." Chika tersenyum dan berjalan lebih dulu di depan kami.

Aku menatap wajah Bumi meminta penjelasan. Bumi tersenyum dan meraih tanganku, menggenggamnya, dan mengecupnya tanpa melepas tatapan lembutnya padaku.

"Jangan berpikir buruk," katanya, aku tersenyum tipis membalas kalimat penenang nya.

Rumah Chika terletak beberapa meter dekat dengan pantai. Pantai di sini tidak memiliki pasir putih, melainkan rumput hijau pendek segar yang terawat. Bersama Bumi, aku menikmati pemandangan matahari terbenam yang memanjakan mata. Pusat tata surya terang benderang itu mulai mengubur diri di balik garis yang memisahkan antara laut dengan langit jingga.

Aku berkenalan dengan orang tua Chika.

"Sudah Magrib, ayo salat nak."

Aku tercengang. Wajahku memucat mendengar perkataannya. Aku tersenyum rikuh. Bingung, apa yang harus ku katakan pada wanita kalem ini?

"Saya... Saya tidak bisa salat, Umi."

Wajah Umi tampak shock mendengar penuturanku.

"Maaf kalau Umi lancang, kau Islam?"

Aku mengangguk, "Kalau kata Mama begitu,"

"Kata Mama," aku kembali menggumam dengan kalimat itu.

Umi tersenyum menatapku.

"Kita belajar bersama,"

Tidak seperti yang kubayangkan ternyata wilayah Bandung kota B tidak seburuk yang ku biasa diceritakan oleh kaum Borjuis. Mereka lebih dalam lagi tentang ilmu keagamaan, juga sama dengan Bandung dan
Aceh yang menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila. Ternyata Kalimantan Tengah lah yang menjadi wilayah buruk, playing victim menurutku. Namun, aku belum berkunjung ke wilayah sebelah, Jawa. Wilayahnya Proletar sesungguhnya, semoga aku tidak kesana.

Keesokan harinya, aku diajak Chika untuk berjalan pagi.

"Kami saling mengenal, dan dia sering datang kemari. Aku menuliskan puisi untuknya, dan ia membalasnya dengan sepucuk surat."

Kulihat sorot mata yang terus mengenang dari Chika.

"Di sini kalian rupanya,"

Mendengar suara tak asing di benakku yang tiba-tiba menyepak kesenyapan di antara diriku dengan Chika membuatku spontan menoleh ke belakang, aku langsung berdiri mengulas senyum tipis ke arah Bumi.

Bumi tersenyum membalas, lalu ia menatap Chika.

"Umi mencari mu,"

Senyumku pudar, itu berarti ia mencari Chika. Dan ia sudah hafal dimana biasanya Chika bersantai. Aku merasakan nyeri di jantungku, bukan cemburu, tapi nyeri sakit. Chika mengangguk dan pamit pergi, saat itu juga Bumi langsung menggenggam tanganku dan membawaku entah kemana.

"Kemana?"

Aku melepaskan genggaman tanganku darinya. Entah mengapa mood ku saat ini sedang buruk.

"Kau kenapa?"

Tanyanya bingung.

"Kau yang kenapa," tanpa disadari nadaku naik lebih tinggi. Bumi mengernyit heran.

"Aku ingin pulang,"

Aku berbalik badan dan mulai melangkahkan kaki menjauhinya, entah kenapa pandangan ku buram, kepalaku juga sakit, lebih-lebih jantungku. Aku berhenti melangkah, keringat dingin, tubuhku sempoyongan, pandanganku menguning.

"Zera,"

Kurasakan tangan Bumi menahan tubuhku agar berdiri kembali. Mataku susah untuk melihat, jantungku benar-benar ngilu.

--

"Penyakit jantung?"

Sambutan pertanyaan datar yang kudengar saat pertama kali indra pendengaran ku berfungsi. Mataku menyipit ke arah Bumi. Aku bergeming, menatap ke arah jendela.

"Simpan ini, masih ada sepucuk harapan untuk sembuh dan kembali." Bumi memasangkan sebuah gelang. Ya, gelang yang diberikan Bimasakti padaku.

"Kenapa masih kau simpan?"

"Keselamatanmu adalah sebagian dari bahagiaku, Zer."

Bumi beranjak pergi dari duduknya. Aku diam, masih mengingat ingat kejadian sebelum kesadaran ku hilang. Kulihat punggung Bumi yang menghilang dibalik pintu.

"Zer,"

Chika memanggilku lembut. Aku tak memberikan balasan padanya.

"Apa kau mencintai Bumi, Zer?"

Aku sontak menolehkan kepala ke arahnya, menatap dengan pandangan tak suka.

"Iya, apa urusanmu?"

Tanpa kusadari, nada bicaraku sangat datar dan tajam. Chika tersenyum tipis dan menggeleng.

"Tak, apa."

Surat Dari Bumi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang