Presiden Ravelia meletakkan jemarinya di atas meja, ruang tengah. Seorang wanita pesuruh itu sedang mengecat kuku-kukunya dengan warna merah maroon.
"Yang mulia Ravelia, ini ada sebuah paket." Seorang pesuruh pria berjalan memasuki ruang tengah dengan secarik surat ditangannya.
"Baca," suruh Ravelia dengan nada datar.
Usai membacakan surat, pesuruh itu langsung menyodorkan kertas itu pada Ravelia dengan hormat."Ini.. Soekarno? BJ Habibie? Hahaha, siapa Jericho Bumi Madava ini?" tanya Ravelia dengan nada meremehkan.
"Dia Bumi, seorang pria tangguh yang cerdas dengan ilmu agama yang dalam, pejuang kemerdekaan untuk wilayahnya, seorang pahla-" Ravelia berdiri dan langsung menyobek surat itu.
"Dia pemberontak, bukan pahlawan!" ucapnya sambil tersenyum simpul.
Ravelia mengepalkan tangannya, raut wajah bencinya semakin terlihat jelas.
"Kita harus berhati-hati dengan Bumi, yang mulia," ucap pesuruh itu sambil menunduk.
"Dia yang harus berhati-hati dengan ku!"
--
Silau matahari yang tembus dari sela-sela jendela membuatku menyipitkan mata. Begitu membuka mata pusing seolah menyuntik kepalaku. Aku meringis sambil memegang kepalaku.
"Zera, apa yang sakit? kepala?" suara Bumi membuatku tersadar. Aku menatapnya dalam.
"Sudah berapa lama aku tak sadar?" tanyaku berusaha mengingat kejadian sebelum diriku pingsan.
"4 hari, Zer," jawab Bumi, ia mengambil semangkuk bubur dari atas meja.
"Makan dulu ya," ucapnya, aku hanya mengangguk. Perutku sudah panas ingin diisi bahan bakar, bayangkan saja tidak mengonsumsi apapun selama 4 hari.
Tak ku sangka Bumi menyuapi diriku, ia menyuapkan bubur itu sampai habis.
"Bumi," panggilku pelan.
"Ya? Ada yang kau butuhkan, Zera?" tanyanya.
Aku menggeleng malu, "Terima kasih," ucapku sambil menunduk, memainkan jemariku.
"Anything for you, Zera." Bumi tersenyum dan langsung berjalan keluar dengan mangkuk kotor ditangannya.
Aku tersenyum lesu, terkadang merasa malu telah merepotkan keluarga Bumi.
"Aku merindukan Mama.."
---
Selama tinggal di sini, aku mulai disibukan dengan aktivitas baruku. Bahkan aku mulai mengamati Bunda menggambar sketsa baju, menjahit, dan membantu melakukan pekerjaan rumah. Tadi malam Bunda baru memberi tahu diriku bahwa ia seorang desainer pakaian, lebih terkejut saat Bunda mengatakan ia mempunyai butik yang cukup besar di Kalimantan.
"Bunda, aku mempunyai baju ini," ucapku sambil menunjuk sebuah sketsa baju yang ada di iPad, Bunda tersenyum.
"Pasti warna putih dengan pita pink muda," tebak Bunda yang menatapku dengan senyuman manisnya. Aku mengangguk antusias.
"Kata Mama modelnya tidak pasaran tapi elegan, Bunda yang desain?" tanyaku tak kalah antusias.
Bunda mengangguk dengan senyum malu-malu, namun dengan wajah yang sangat senang.
"Bunda? Bunda hebat!!" Aku memeluk erat tubuh Bunda, Bunda membalas pelukan itu.
Sore hari sekitar pukul 03.00 sore aku berlatih tari di sanggar seni Bumi. Kesibukan ini menjauhkan diriku dari kesepian karena Bumi yang terus menerus diam di dalam kamarnya, terkadang ia berlatih silat.
Hari ini aku berlatih menari di sanggar dengan bimbingan salah seorang penari sanggar, Juwi.
diperkenalkannya pada seluk-beluk tari Jaipong, Piring, Saman dan banyak lainnya. Aku mudah menyerap informasi dan gerakan-gerakan itu, mungkin karena di Kalimantan aku ikut latihan ballet.Sungguh disayangkan, Bumi tak melihatku berlatih menari. Padahal kata Juwi aku sangat bagus. Bumi tak bisa menemaniku karena jadwal latihan ku bentrok dengan jadwal silatnya.
Tapi, sebagus-bagusnya tarian ku tidaklah menarik perhatiannya kan? Untuk orang sepertinya yang genius, kurasa ia akan sulit dibuat takjub.
Latihan sudah berjalan selama dua jam. Keringatku telah mengalahkan sungai, bulir itu terus menetes dari pelipis ku, juga badanku yang terasa pegal dan letih. Ini sudah jam pulang, namun aku masih duduk dengan kaki berselonjor di lantai. Aku masih mengobrol santai dengan Juwi. Obrolan kami terputus saat suara Bumi menyerukan nama ku.
"Mimpi apa kau menjemput ku?" tanyaku saat kami berjalan pulang.
"Memangnya tidak boleh?"
"Bukan, biasanya kamu biarkan aku pulang sendiri dari sanggar,"
Ia hanya menjawab pertanyaan ku dengan gumaman kecil.
"Aku betah di sini, tapi aku takut di usir, Bumi." Aku memperlambat langkahku, hingga kami berhenti di bawah pohon rindang.
"Kalau kamu pergi, aku juga pergi, Zera," ucap Bumi bersungguh-sungguh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surat Dari Bumi
RandomBerlatar belakang tahun 2045-2065. Tentang hubungan yang penuh peristiwa menyedihkan. Suatu hari keinginan Bumi dan Zera untuk transmigrasi ke masa lalu, tepatnya di tahun 2023-2024 terpenuhi. Mereka memanfaatkan teknologi sederhana buatan. "Hormat...