Aku ingin ikut membuat bumbu masakan namun urung, dengan segera Bumi mengajakku ke bawah pohon apel dengan ayunan tergantung di dahannya.
Aku duduk di ayunan. Sedangkan Bumi berdiri di belakang ayunan, mendorong ayunan yang ku duduki.
"Ayo bernyanyi, Zera!"
Bumi menyuruhku untuk menyanyi dengan semangat. Aku bergeming, bingung akan menyanyikan lagu apa.
"Bercerita lewat nyanyian jika tak ada orang yang peduli padamu," ucap Bumi tulus.
"Dan menulis lah jikalau tak ada orang yang mendengarkan mu," aku melanjutkan kalimatnya. Kami saling melempar senyum.
Ku tuliskan kenangan tentang
Caraku menemukan dirimu
Tentang apa yang membuatku mudah
Berikan hatiku padamuAku menolehkan kepala, mendongak menatap Bumi yang bernyanyi dengan suara lembutnya. Ia menikmati tiap lirik lantunan lagu yang dinyanyikannya sambil mengayunkan ayunan.
Takkan habis sejuta lagu
Untuk menceritakan cantikmu
Kan teramat panjang puisi
'Tuk menyuratkan cinta iniTelah habis sudah cinta ini
Tak lagi tersisa untuk dunia
Karena telah ku habiskan
Sisa cintaku hanya untukmuAku pernah berpikir tentang
Hidupku tanpa ada dirimu
Dapatkah lebih indah dari
Yang ku jalani sampai kiniAku s'lalu bermimpi tentang
Indah hari tua bersamamu
Tetap cantik rambut panjangmu
Meskipun nanti tak hitam lagiVirgoun -
Bumi mengusap kepala ku, mengacak-acak rambutku dengan sayang.
Oh, Tuhan! Aku serasa ingin pingsan jika Bumi terus berperilaku semanis ini! Tambah manis saat melihat senyum merekah diwajahnya.
Bumi mencium puncak kepalaku.
"Kau percaya kisah dongeng?" tanya Bumi tiba-tiba.
Aku segera menggeleng, "Tidak, apalagi yang akhirnya bahagia,"
"Jadi kau tak suka akhir bahagia?" Tanyanya, sedikit terkejut kulihat.
"Tidak,"
"Kenapa?"
"Karena terlalu mengada-ada,"
Aku mengeratkan peganganku pada tali ayunan. Secara tiba-tiba Bumi menghentikan ayunannya. Aku menoleh dengan raut wajah bertanya. Ia berjalan, tak menggubris raut wajahku. Dengan malas ku paksakan kakiku untuk melangkah mengikutinya.
Aku berdiri tepat di samping Bumi. Kini, kami berada di tengah lapangan. Kulihat ada sebuah tiang tinggi tertancap di tengah lapangan lebar ini.
"Untuk apa kita di si-"
Bumi menolehkan kepalanya, ia mengarahkan jari telunjuk kanan ke bibirnya sendiri. Menyuruhku diam.
Aku mengangguk, ku amati tiga orang yang membentuk barisan tersendiri. Wanita yang berada di tengah itu membawa kain yang terlipat rapi di tangannya. Mereka mulai berjalan dengan langkah tegak maju, begitu kompak.
"Kepada, sang merah putih. Hormat gerak!"
Sebuah suara aba-aba terdengar nyaring. Aku gelagapan saat semua orang mengangkat tangan kanan, jemarinya merapat dan diarahkan kedekat mata.
"Hormat," gumam Bumi. Aku segara mengangguk, berpura-pura paham.
Usai berdiri sekitar 20 menit di lapangan tadi, Bumi mengajakku ke hamparan rumput hijau disisi sungai. Aku duduk tepat disampingnya.
"Namanya upacara bendera," ucap Bumi pelan, sepertinya paham bahwa aku tak tahu.
"Oh." Aku melempar bebatuan kecil kedalam sungai, menyebabkan percikan kecil yang menyiprat ke wajah kami.
"Jangan, Zer. Nanti ikannya mabuk," tegur Bumi. Aku menolehkan kepala.
"Aku tak menyiramkan alkohol, mana mungkin bisa mabuk," ucapku dengan nada ketus. Kudengar helaan napasnya.
"Bibirmu juga tak mengandung alkohol, tapi bisa memabukkan diriku,"
Jantungku hampir meloncat keluar, ikut berenang bersama ikan karena ucapan Bumi.
"Bumi!! Apaan sih?"
Aku berusaha menahan diri untuk tidak tersenyum, padahal bibirku sudah berkedut, meminta untuk tersenyum.
"Kita harus siap-siap," tiba-tiba nada bicara Bumi terdengar serius.
"Kemana?" tanyaku heran.
"Pergi dari kota A, menuju kota B Jawa. Dan melakukan ajakan kerja sama pada pihak Proletar."
"Kapan?"
"Nanti malam."
--
Senja yang kutunggu-tunggu akhirnya tiba. Aku muncul dengan jaket dan tudung menutupi wajahku, memasuki pondok besar yang padat oleh orang-orang dari kalangan usia. Aku membuka tudung jaket ku, memberanikan diri berhadapan dengan mereka.
Sorot mata mengintimidasi dilakukan beramai-ramai menuju ke arahku. Aku menelan ludah dengan susah payah, menenangkan diri agar tidak dikuasai rasa takut.
"Apa yang kau dilakukan seorang gadis cantik disini?" salah seorang dari mereka yang bertubuh tinggi bertanya.
"Ini bukan tempat bertamasya," sahut seorang pria dengan tubuh jangkung.
"Kami para revolusioner ingin mengajak kalian dal-"
"Pergilah, Nona. Anda tidak tahu apa-apa. Kau pasti salah seorang dari mereka kan? Tidak ada gunanya kita melawan,"
"Yakinlah bahwa tidak ada perjuangan yang berakhir dengan penderitaan dan tangan kosong semata," aku bersikeras untuk melawannya.
"Pergilah, nduk."
Tidak ku sangka seorang wanita paruh baya itu mengusirku secara halus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surat Dari Bumi
RandomBerlatar belakang tahun 2045-2065. Tentang hubungan yang penuh peristiwa menyedihkan. Suatu hari keinginan Bumi dan Zera untuk transmigrasi ke masa lalu, tepatnya di tahun 2023-2024 terpenuhi. Mereka memanfaatkan teknologi sederhana buatan. "Hormat...