Bab 10

45 42 7
                                    

--

"Berikan informasi terkait Shazera Karelina wahai pengurus duta teknologi," Presiden Ravelia masuk ke dalam ruang berisi komputer dan mesin-mesin virtual itu. Bunyi ketukan heelsnya membuat semua karyawan dan orang-orang di dalam situ berdiri tegap dan tunduk.

"Baik, Bu Presiden." Seorang pria dengan jas putih berjalan ke arah mesin virtual yang muncul di udara, ia memencet-mencet tombol itu.

"Di Aceh tepatnya di kota Banda. Aceh ini letaknya sebelah Utara dan Timur berbatasan dengan Selat Malaka, sebelah Selatan dengan Provinsi Sumatera Utara dan sebelah Barat dengan Samudera Indonesia," ucap pria itu.

"Oh ya, Saya baru mendapatkan kabar dari seorang jenderal kalau peretas akun kepresidenan dan pelaku penyadapan itu sudah dapat dideteksi keberadaannya." Presiden Ravelia menoleh dengan tatapan tajam, dengan senyum smirk.

"Berikan informasinya Mikaze."

Gadis berambut hitam lurus dengan mata sipit tersebut membungkukkan badannya rendah. Ia berjalan menuju meja berbentuk oval.

Layar transparan besar di dekatnya muncul menyedot perhatian peserta rapat. Terdapat titik merah di salah satu daerah itu.

Ia lantas mendekatkan objeknya hingga dapat dilihat oleh seluruh orang di dalam sana.

"Sinyalnya berhasil terdeteksi beberapa jam yang lalu. Pelakunya revolusioner dari Aceh." Gadis itu meraih tongkat panjang di atas meja, menunjuk titik merah yang ada pada layar transparan di sebelahnya.

"Lokasinya dekat di pantai, orang zaman dahulu menyebutnya di daerah Barat mereka menjunjung tinggi nilai pancasi-"

Presiden Ravelia mengangkat tangannya, memberi kode untuk tidak melanjutkan kalimat gadis itu.

"Kamu dapat informasi pelacak itu?" tanya Ravelia sinis.

"Saya belum mendapatkan profil hacker ini. Berikan saya waktu semalam untuk mendapatkan informasi lanjutnya."

Presiden Ravelia menghempaskan punggungnya pada sandaran kursi. Napasnya tertahan di tenggorokan. Ia berdecak mengagumi keahlian hacker itu yang berhasil membobol keamanan dan pembicaraan pemerintah negeri.

"Bagaimana orang ini sanggup melewati keamanan pemerintah, mencuri data-data pribadiku, bahkan menyadap pembicaraan rahasiaku?" bisik Presiden Ravelia pada wanita itu.

"Pastinya seorang programmer hebat, Bu Presiden."

"Apa saja yang berhasil dicurinya?"

"Kami tidak tahu berapa banyak informasi yang dicurinya dari Anda."

"Sialan!"

Presiden Ravelia membuang napas kasar. Digerakkan jari-jemari lentiknya, mengusap buku mengkilapnya yang diberi kuteks merah. Bibirnya bergetar samar, ia benar-benar muak dan berjanji dalam hati akan menangkap pelaku di balik penyadapan ini.

"Aku akan membunuhnya."

------

Aku gelisah dan gugup. Ini tak pernah terjadi padaku. Tidak dalam mimpi buruk maupun terindah. Namun pada akhirnya hari pergelaran seni budaya tiba, yang membawaku pada perasaan tak menentu. Dadaku semakin bergemuruh riuh.
Seolah ada gelombang elektromagnetik yang bersatu dengan darahku.

Namaku telah dipanggil untuk tampil maju. Aku menghela napas dan melangkah maju menaiki panggung kehormatan.

Musik pengiring terdengar, seketika aku teringat kata Bunda untuk mempertahankan senyuman. Maka, kusunggingkan senyum merekah dan mulai bergerak sesuai ajaran. Sepanjang tarian, Bumi tak mengalihkan perhatiannya dariku. Ia tak berkedip, ia termangu dalam tiap gerakan ku. Padahal di sampingnya berdiri seorang gadis. Gadis itu mengajak Bumi berbicara, tapi Bumi mengacuhkannya. Bumi mendekatkan telunjuknya pada bibirnya sendiri, memberikan kode untuk diam.

---

"Baru tahu kamu bisa menari," suara Arka adalah yang pertama kudengar saat aku duduk di depan meja rias mengatur pernapasanku yang terengah-engah.

Kukira Bumi yang datang pertama menemuiku. Aku sedikit kecewa, tapi aku menutupinya dengan senyuman lebar. Aku melepas mahkota penari dari kepalaku, membiarkan rambutku tergerai bebas.

"Kamu ibarat sosok Nawang Wulan," katanya.

Aku hendak bertanya siapa itu Nawang Wulan, tapi ku urung kan pertanyaan itu dan membiarkannya tertelan ke dalam perutku.

"Oh, terima kasih."

Tiba-tiba ia meraih tanganku, menggenggamnya dan mencium punggung tanganku sambil menatapku bagaikan mendambakan seorang bidadari. Aku mengerjapkan mata.

"Kamu cantik, aku suka padamu Zera. Kamu membuatku takluk."

Mataku membeliak mendengar pengakuannya. Ia pandangi aku dengan sebuah harapan. Melihat gestur tubuhku yang kaku, ia langsung melepaskan tanganku pelan.

Selang beberapa detik, suara dehaman terdengar mengejutkanku. Bumi ternyata, ia menghampiriku dan langsung menarik tanganku untuk menjauh sedikit. Selama beberapa detik ia menatap Arka. Dari sini aku dapat melihat kemerahan bak api dikobarkan dari matanya.

"Ayo pulang." Ia langsung menggandengku dan berjalan menuju pintu keluar.

--

Entah apa kesalahan yang ku perbuat padanya. Ia mendiamkan diriku sejak siang tadi. Sore ini aku tak melihatnya keluar, pastinya ia berada di dalam kamar. Untung saja aku meminjam biola dari sanggar tari. Hitung-hitung untuk menghilangkan kebosanan. Seperti sore ini, aku bosan. Aku langsung duduk di pasir putih pinggiran pantai dengan biola di atas pundak ku, aku mulai memainkannya.

Aku mendengar derap langkah kaki menapak pasir, aku tak menoleh, sudah tahu bahwa itu Bumi.

"Tidak capek?" katanya yang ikut duduk di sampingku. Aku menggeleng.

"Lihat," aku menolehkan kepala ke arahnya.

Bumi membawa pot putih berisi bunga mawar kuning, putih, dan merah. Tapi anehnya mawar yang dibawanya belum mekar.

"Tunggu hingga mekar, maka aku akan menjawab perihal masalah hati," aku tersenyum begitu mendengar kalimatnya.

"Lanjutkan," suruh Bumi. Aku kembali mengangguk dan kembali mulai memainkan biola, aku berdiri dengan kaki yang diterjang ombak kecil.

Aku berhenti memainkannya secara mendadak begitu kurasakan tangan semu seolah meremas jantungku, memelintir, menusuk. Ku bungkuk kan badanku ke depan seraya menyentuh dadaku dalam-dalam. Dahi dan hidungku mengernit menahan sakit. Biola beserta dawai yang ku genggam jatuh secara menyedihkan di bawah kakiku. Hampir saja tubuhku terjun ke laut jika saja Bumi tak menarik lenganku, ia langsung mendekap tubuhku yang lemas.

Surat Dari Bumi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang