Kami melakukan perjalanan dengan mobil Jeep milik militer pertahanan Aceh sendiri.
"Aku bosan," keluhku saat hampir 2 jam berada dalam mobil."Lalu? Kau hendak apa?" Bumi tetap menghadap jalan tak menoleh.
"Ceritakan sejarah Utopia." Untuk kali ini Bumi menolehkan kepalanya, alisnya menyatu. Detik berikutnya ia menghela napas panjang.
"Nama negeri ini tetap Indonesia, bukan Utopia,"
Aku mengangguk-angguk paham.
"Indonesia lahir dan bangkit melalui sejarah perjuangan masyarakatnya sendiri. Indonesia pernah dijajah oleh Belanda dan Jepang. Bangsa ini pernah merasakan penderitaan, mereka ditindas lahir dan batin, bangsa mengalami kehancuran di bidang ekonomi, politik, sosial. Kemegahan Nusantara bak Sriwijaya dan Majapahit yang dimiliki rakyat, sirna. Hancur tanpa sisa. Asal kau tahu. Dubai, Pari, Flaris, dan Depok bukanlah nama asli wilayah ini. Indonesia ini luas, tidak hanya empat wilayah. Kalau dibaca dari buku, yang menjadi negeri Utopia sekarang adalah bagian Kalimantan." Bumi memencet suatu tombol, detik berikutnya kaca jendela mobil terbuka.
"Kenapa negeri Indonesia terpecah belah?" Tanyaku penasaran, sungguh sejarah yang ku pelajari di sekolah tidak ada tentang negeri-negeri. Guru hanya mengajarkan sejarah penemuan seni, mesin, dan semacamnya.
"Di tahun 2024 semua masih bisa terkendali oleh Presiden sebelumnya, juga Presiden baru di 2025. Namun, seiring perkembangan teknologi dan sains, warga Indonesia melupakan ajaran nilai-nilai Pancasila, adat istiadat, juga keagamaan. Pancasila dijadikan lelucon, saat upacara tangan mereka untuk hormat saja pegal, menunduk kepala untuk mengenang kembali pahlawan saja enggan, ibadah hanya karena ingin dikatakan beriman, mengingat tuhan jika susah. Lagu Indonesia Raya saya tidak hafal, memang tidak ada manusia yang sempurna. Tapi jika bisa meminimalkan kesalahan, mengapa tidak? Dan, ya. Yang paling miris adalah siswa berprestasi dibully."
Pikiranku melayang jauh, mencoba membayangkan betapa mirisnya mereka.
"Bahkan banyak Guru yang diremehkan oleh siswanya. SDM sungguh rendah saat itu." Mobil berhenti bersamaan dengan berakhirnya kalimat Bumi. Aku menoleh.
"Kenapa berhenti?"
"Ada kucing,"
Mobil kembali berjalan dengan kecepatan sedang. Hingga kami pada perbatasan pulau, Bumi keluar dari mobil, aku mengikutinya.
Zera meneguk ludahnya sendiri, sepertinya ada kabar buruk, benar! Bumi mengangkat barang-barang kami kesebuah kapal.
Kami naik ke atas kapal, jantungku berdegup kencang.
Kurang lebih 6 jam kami berlayar di atas lautan. Udara malam begitu dingin, untung saja perutku kuat. Selama perjalanan kami tak banyak menegur orang-orang di atas kapal. Menghindari kecurigaan pemerintah yang dapat mencium keberadaan kami. Bahkan Bumi membuat kartu identitas palsu untuk ku dan dirinya.
Bumi menyodorkan kartu itu padaku."Terima kasih,"
Bumi menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.
Tiba-tiba saja hatiku berbisik lirih, berkata kalau aku begitu merindukan orang tuaku. Aku diam, menanyakan bagaimana kabar kedua orang tuaku, apa yang sedang mereka lakukan? Rasanya baru kemarin aku mendapatkan dongeng selamat tidur dari Mama, hadiah naik kelas dari Papa. Kerinduan itu ku tumpahkan dengan tetesan air mata. Meski aku tak terlahir dari rahim Mama, tapi aku sangat menyayanginya.
Paru-paruku seakan menyusut hingga membuatku kesulitan bernapas. Ku amati bintang-gemintang di angkasa yang bersembunyi dibalik awan tipis kelabu malam. Berusaha untuk menahan isak tangis.
"Zera? Ada apa?"
Aku mendengar suara lembut Bumi di sampingku, membuatku berpaling muka menghindari kontak mata dengannya. Kuseka air mata dikedua pipiku.
Aku berdeham pelan.
"Aku merindukan Mama dan Papa," balasku setengah bisikan.
"Menurutmu, merindukan diriku kah orang tuaku?" Tanyaku sambil menendang-nendang krikil kecil yang menghalangi jalanku.
"Orang tua mana yang tak merindukan anaknya?" Ia balik bertanya, aku diam pura-pura tuli.
"Aku takut Presiden Ravelia memberikan mereka obat penghilang ingatan, Revtanol." Aku menghentikan langkah, Bumi juga ikut menghentikan langkahnya. Ia menatapku lama.
"Percaya pada hatimu, mereka akan mengingatmu."
Disekanya jejak air mata di pipiku dengan jemarinya, mengusapnya lembut. Ku sentuh telapak tangannya yang berpadu. Ku tatap matanya yang menyorot hangat, kamu tidak bergerak sedikitpun. Menikmati keadaan. Aku merasakan jantungku yang ingin melompat dari organ tubuh.
"Zera."
"Ya, Bum-"
Aku terperanjat kaget ketika merasakan bibir Bumi mencium singkat pipiku. Ia tersenyum jahil, sedangkan aku tengah sibuk mengatur napas yang memburu. Aku yakin kini pipiku semerah tomat, aku merasakan rahang pipiku yang ngilu, berusaha memaksaku untuk menunjukkan ekspresi salah tingkah diriku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surat Dari Bumi
RandomBerlatar belakang tahun 2045-2065. Tentang hubungan yang penuh peristiwa menyedihkan. Suatu hari keinginan Bumi dan Zera untuk transmigrasi ke masa lalu, tepatnya di tahun 2023-2024 terpenuhi. Mereka memanfaatkan teknologi sederhana buatan. "Hormat...