Ruang fisioterapi rumah sakit itu tampak sederhana namun fungsional. Dindingnya berwarna putih bersih, dipadu dengan lantai berwarna abu-abu terang yang menciptakan suasana yang tenang dan profesional. Berbagai peralatan terapi terpajang rapi di sepanjang dinding, seperti bola yoga, tali elastis, dan tongkat dukungan. Di tengah ruangan, beberapa meja terapi berjejer dengan jarak yang cukup untuk memudahkan pergerakan pasien dan terapis.
Sebuah area latihan dengan cermin besar di salah satu sudut ruangan digunakan untuk membantu pasien melihat gerakan tubuh mereka dengan lebih jelas. Beberapa poster anatomi menghiasi dinding, menunjukkan bagian tubuh manusia yang berbeda dan cara-cara untuk merawatnya. Cahaya yang masuk dari jendela besar di sisi ruangan memberikan penerangan yang cukup untuk ruangan, menciptakan suasana yang nyaman dan kondusif untuk pemulihan pasien.
Di luar ruangan, suara langkah kaki dan percakapan yang terdengar lembut mengingatkan kita bahwa kita berada di rumah sakit, tempat berbagai perjuangan dan harapan bercampur menjadi satu. Namun, di dalam ruang fisioterapi ini, fokus sepenuhnya diberikan kepada kesembuhan dan perbaikan kondisi pasien, dengan dukungan penuh dari para terapis yang profesional dan sabar.
Kara sedang duduk di kursi roda, di ruang fisioterapi rumah sakit tersebut. Matanya menatap kedua kakinya yang lumpuh, lalu ia menghela napas panjang. Setiap kali melihat kedua tungkainya yang kini tidak berfungsi itu, membuatnya merasa kesal.
"Oke, Kara, kita mulai latihan hari ini," kata fisioterapis yang siap membantunya.
Kara mengangguk dan mulai berusaha menggerakkan kakinya yang lumpuh itu. Namun, setelah beberapa menit, ia merasa frustasi karena tidak ada kemajuan yang signifikan. Bahkan, untuk menggerakkan jari kaki saja rasanya sangat sulit dan menyakitkan. Ini sudah sekitar 8 bulan lamanya sejak ia lumpuh, tapi kaki-kakinya lama sekali belum bisa ia ajak jalan.
"Kamu bisa, Kara. Jangan menyerah," ucap fisioterapis itu memberi semangat.
Namun, Kara merasa kesal dan frustasi. Wajahnya tampak merah padam, dan tangannya mengepal erat. "Lama-lama gue muak dengan ini!" seru Kara, ia yang memang mudah terpancing egois apalagi dengan kondisinya seperti ini merasa tambah frustasi. "Kenapa kaki ini tidak bisa bergerak seperti yang gue mau? Bodoh!"
Fisioterapis itu mencoba menenangkan Kara dengan mengelus bahunya. "Kamu harus sabar, Kara. Proses penyembuhan memang membutuhkan waktu. Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri."
"Tapi kapan! Gue capek gini terus!" Ucapnya parau, jika saya malam itu ia tidak celaka. Saat ini dirinya masih bisa berjalan dan berlari sepuasnya, Kara tidak akan terjebak dengan kursi roda yang kini menjadi temannya.
"Sabar ya, nanti juga sembuh kok. Yang harus kamu lakukan adalah yakin dan tetap semangat," ucap fisioterapis itu lembut. Dia tahu bahwa orang-orang yang mengalami kelumpuhan seperti Kara sangat sensitif dan emosinya labil, jadi dia berusaha memberikan dukungan sebanyak mungkin.
Mata Kara berkaca-kaca saat menatap fisioterapis itu. Dia merasa frustasi, marah, dan sedih sekaligus. "Namun, gue mau cepet sembuh dan bisa berjalan lagi."
"Saya mengerti, Kara. Namun, kita harus tetap tenang dan fokus pada proses ini. Percayalah, lambat laun hasilnya akan terlihat," ujar fisioterapis itu penuh harap, menatap mata Kara yang mulai redup.
Kara mengangguk pelan, berusaha mengendalikan emosinya dan kembali fokus pada fisioterapi yang sedang berjalan. Hatinya berjanji pada dirinya sendiri, suatu hari nanti ia akan bangkit dan berjalan lagi dengan kedua kakinya. Entah bagaimana caranya, ia akan berusaha hingga titik darah penghabisan.
Setelah kurang lebih satu jam Kara terapi, remaja itu mengucapkan terima kasih kepada terapis yang sudah membantu dirinya. Dengan wajah yang masam, ia memutar kursi rodanya menuju Gama yang sudah menunggu dirinya sejak tadi.
"Ada apa dengan wajahmu? Kara?" tanya Gama, pemuda itu adalah seorang caretaker yang bekerja untuk Kara sejak anak itu mengalami kelumpuhan. Biasanya Gama akan menemani Kara untuk fisioterapi terapi di dalam dan ikut membantu. Namun, hari ini anak itu menolak untuk ditemani dirinya.
Kara mengubah mimik wajahnya menjadi memelas kepada pemuda tersebut. "Capek, pingin pulang," rengeknya. Sungguh hari ini sangat menyebalkan, dan Kara ingin cepat-cepat pulang ke rumah.
Tangan Gama bergerak untuk mengusap rambut yang lebih muda. "Baik, mari kita pulang." Gama beralih mengambil alih pegangan kursi roda Kara, dan pergi menjauh dari rumah sakit.
***
Jika berbicara tentang ketidakberuntungan, mungkin Kara menjadi salah satunya. Di usianya yang masih muda ini, ia harus kehilangan fungsi kedua kakinya untuk berjalan. Marah, kecewa, dan sedih menjadi satu, membuat Kara kadang ingin menyerah dan tidak memiliki semangat untuk hidup.
Namun, dibalik semua itu Kara bersyukur karena adanya banyak dukungan yang ia peroleh dari keluarganya dan kekasihnya, Shania, yang mau menerima dirinya apa adanya.
"Gimana terapi hari ini? Ada kemajuan?" tanya Bastian, pria tiga anak itu menatap anak tengahnya yang tengah mengunyah makanan tersebut.
"Masih kayak Minggu lalu ya, aku cuma baru bisa berdiri, belum bisa jalan, maaf," jawab Kara, ia takut sang ayah marah karena tidak ada kemajuan terapinya untuk Minggu ini. Jangankan berjalan, berdiri saja Kara masih harus berpegangan.
"Nggak papa, pelan-pelan aja. Masih ada waktu, yang terpenting kamu jangan memaksakan diri," tutur Bastian lembut, pria itu tau bahwa Kara takut kepadanya. Padahal mau apapun hasilnya, Bastian tidak akan marah.
Kara mengangguk pelan, lalu kembali melanjutkan makannya. Dulu, ia dan Bastian tidak sedekat ini, atau bahkan keduanya tidak pernah saling mengobrol santai bersama. Baru beberapa bulan ini ia dan sang ayah berbaikan, begitu juga dengan sang ibu. Setelah menunggu belasan tahun, akhirnya Kara bisa merasakan kehangatan keluarga yang sesungguhnya.
"Yah, gimana kalo aku tetap nggak bisa jalan? Kata dokter, walaupun aku sembuh, itu nggak sepenuhnya. Aku tetap butuh kruk nantinya," kata Kara, mengungkapkan rasa kekhawatiran dirinya tentang masa depan. Kara takut tidak bisa sembuh, dan nanti keluarganya kembali menjauh dari genggamannya.
"Ayah nggak keberatan Nak, ngeliat kamu sehat seperti ini aja udah cukup buat Ayah. Ayah nggak akan kecewa," tukas Bastian. Sudah terlalu banyak luka yang Kara dapatkan selama ini, jadi Bastian berjanji tidak akan membiarkan anak iti terluka kembali. Kalaupun Kara tidak bisa berjalan lagi, ia akan tetap sayang pada anak itu. Sudah cukup belasan tahun ia memberikan luka.
"Iya, Yah."
Setelah menghabiskan makan malamnya, Kara pamit undur diri ke kamarnya dengan bantuan Gama. Sebenarnya ia sudah lancar melajukan kursi rodanya sendiri, tapi ia ingin manja saja kepada Gama.
"Gendong Kak, gue males pindah sendiri," titah Kara kepada Gama. Lebih praktis ia langsung diangkat ke atas kasur dibandingkan harus memindahkan tubuhnya sendiri yang akan memakan waktu lama 'kan?
Gama mengangguk, perlahan ia langsung memindahkan Kara di atas kasur empuknya untuk bersandar. "Sudah nyaman?" tanya Gama, memastikan jika Kara sudah nyaman dalam posisinya.
Kara mengangguk kecil, kemudian ia menatap Gama lamat. "Kak, makasih ya? Maaf kadang buat lo jengkel."
Gama terkekeh kecil mendengar ucapan Kara, baru sadarkah bahwa anak itu sering kali membuatnya kesal. "Jangan minta maaf sekarang kalau besok kamu masih membuat saya kesal."
Kara mendelik tidak suka, padahal 'kan ia sungguh-sungguh. "Ya udah, besok gue buat jengkel lo terus!"
[]
Lampung, 17062024
KAMU SEDANG MEMBACA
Kara's Journey; Will Walk Again
Teen FictionKara, remaja laki-laki penuh semangat harus menghadapi ujian terberat dalam hidupnya ketika sebuah kecelakaan tragis meninggalkannya terbaring tak berdaya. Kecelakaan tunggal yang terjadi dalam perjalanan pulang itu tidak hanya menghancurkan tubuhny...