Journey 7

294 54 8
                                    

Demam Kara mulai mereda di pagi hari, namun tubuhnya masih terasa lemas, membuatnya enggan meninggalkan hangatnya selimut. Malam sebelumnya, ibunya dengan penuh perhatian merawatnya, sementara ayahnya yang terlihat sangat cemas, memilih untuk bermalam di samping tempat tidurnya, mengawasi dengan penuh kasih. 

Perasaan haru mendalam menyelimuti Kara. Sejak ayah dan ibunya menyatakan penyesalan atas sikap pilih kasih yang pernah mereka tunjukkan, Bastian dan Tia semakin berusaha menjadi orang tua yang lebih baik. Mereka, yang dulunya abai saat Kara sakit, kini berubah total. Mereka begitu khawatir meski hanya karena demam ringan yang dideritanya.

Dari kejauhan, suara lembut Stella terdengar. "Abang," panggilnya. Anak bungsu Bastian itu pelan-pelan mendekat ke tempat Kara berbaring. Senyum menghias wajah Kara saat ia melihat Stella sudah bersiap dengan seragam sekolahnya, tanda bahwa hari itu ia akan berangkat ke sekolah. Kara mengambil kekuatan dari kepedulian yang kini diberikan oleh keluarganya, menghangatkan hari yang dingin dengan demam yang ia alami.

"Abang masih sakit, kakinya sakit juga?" Stella menanyakan dengan nada khawatir yang mendalam. Gadis yang dulu sempat menjauhi sang kakak karena tak sanggup menerima kenyataan Kara lumpuh, kini mendekat penuh penyesalan.

"Udah mendingan Dek. Demamnya juga udah turun. Kaki aman, tafi udah stretching sama Kak Gama," Kara menjawab sambil mengusap kepala adiknya dengan penuh kasih. Cinta dan kepedulian kepada adiknya tak pernah luntur, meski sempat dibenci. 

"Abang, jangan sampe kecapean lagi ya? Aku takut sakit terus," Stella berkata dengan mata berkaca-kaca, mengingat semua momen ketika kakaknya menderita akibat kecelakaan yang memilukan itu. 

"Tentu, Sayang. Abang janji akan lebih berhati-hati," Kara menenangkan adiknya dengan senyuman yang lelah namun tulus.

"Oke, tapi ingat janjimu itu, Abang. Aku harus pergi sekolah sekarang, tapi waktu aku pulang, aku mau liat Abang udah jauh lebih baik," Stella menatap kakaknya dengan tatapan tegas, penuh harapan sebelum berlalu menuju sekolah, meninggalkan Kara dengan janji yang harus dipenuhi demi kebahagiaan mereka berdua.

"Iya, Abang janji. Rio sudah nungguim di depan tuh," ucap Kara sambil tersenyum genit.

"Kok, Abang bisa tau?" tanya Stella dengan rasa malu yang menyelinap di hatinya, terkejut menyadari sang kakak mengetahui kekasihnya telah tiba.

"Rio selalu minta izin Abang dulu sebelum bawa adik cantiknya ini," lanjut Kara. Siapa yang menyangka bahwa dulunya ia dan Rio adalah musuh yang saling bersaing di jalan raya, berlomba dalam balapan liar dan saling melempar cacian. Namun, kecelakaan yang dialami Kara merubah segalanya, membuka mata mereka akan betapa rapuhnya kehidupan. Kini, hubungan mereka tak hanya membaik, tetapi, Rio juga telah menjalin kasih dengan sang adik tercinta.

"Ya udah, aku berangkat ya, Bang. Assalamualaikum, semoga Abang cepet sembuh!" kata Stella sambil berpamitan. Kara hanya bisa memandangi adiknya dengan senyum hangat, mata berkaca-kaca, mengirim doa dalam diam agar kebahagiaan selalu menyertai langkah adiknya, yang berjarak hanya satu tahun darinya, dalam setiap derap langkahnya ke masa depan.

***

Bukannya membaik, siang harinya demam Kara justru kembali naik, bahkan kini jauh lebih buruk. Anak itu bahkan muntah-muntah, mengeluh perutnya sakit, dan terus merintih sakit. 

Tia, yang tadinya sudah tenang melihat Kara yang membaik tadi pagi, harus meninggalkan pekerjaannya ketika mendapatkan Kara muntah-muntah di rumah dari Gama. Wanita itu menyesal karena memilih pekerjaannya karena merasa Kara sudah baikan tadi, tetapi, secara tiba-tiba Kara jutsru sakit lagi.

Sampainya di rumah, Kara terlihat terlelap di atas ranjangnya, dengan tangan kirinya yang sudah di infus. Tia mengusap tangan sang putra sembuh, seolah memberikan kehangatan dalam sentuhan tersebut.

Kara's Journey; Will Walk Again Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang