Kara merupakan anak yang sulit untuk duduk diam, sebelum mengalami kecelakaan tragis, ia dikenal sebagai sosok yang lincah, nakal, dan hobi balap liar. Semua tingkah lakunya itu tak lain dilakukan demi menarik perhatian dari kedua orang tuanya yang selalu sibuk.
"Kak, gue udah ganteng lagi 'kan? Pantes aja Shania demen sama gue," ucap Kara seraya memperhatikan penampilannya di kaca. Sekitar dua bulan yang lalu, Kara mengalami kecelakaan yang tidak terduga di kamar mandi, di mana ia terjatuh saat mencoba untuk mandi sendiri. Akibat jatuh tersebut, ia harus menjalani operasi mendesak untuk menghentikan pendarahan di dalam kepalanya, dan demi kepentingan operasi itu, ia harus merelakan rambut indahnya dicukur habis.
Beruntung, setelah operasi berlangsung, kondisinya kini telah membaik, rambutnya pun mulai tumbuh kembali meski kadang ia masih mengeluh kesakitan di kepalanya.
"Ya, memangnya anak Pak Bastian mana yang tidak tampan?" jawab Gama seraya tersenyum hangat, menilai betapa percaya diri adiknya itu dalam menghadapi cobaan. Baginya, lebih baik melihat Kara seperti ini daripada merasa minder dan hancur akan kondisinya saat ini.
Kara tersenyum ceria, lalu memutar kursi rodanya menghadap Gama, dan mengajak kakaknya itu untuk bicara. "Kak, sebaiknya mulai sekarang lo cuti dulu buat persiapan pernikahan lo sama Kak Risa. Jangan khawatir soal gue, Ayah dan Bunda yang akan bantu gue selama Kakak sibuk."
Kata-kata itu membawa rasa lega yang mendalam di hati Gama. Gama tersenyum hangat, lalu menjawab dengan mata berbinar. "Sungguh? Apa kamu tidak akan rindu dengan saya, Kara?" Sementara di balik senyumnya, ia menyembunyikan secercah kekhawatiran yang tak terucapkan, ada perasaan khawatir meninggalkan Kara untuk sementara waktu.
"Ya kangen lah pastinya, tapi gue nggak mau egois buat ngehalangin kebahagiaan lo, Kak," tutur Kara. Mau bagaimanapun, selama ini Gama sangat berjasa dalam hidupnya. Laki-laki itu tidak pernah lelah merawat dirinya yang kadang membuat Gama kesal. Jadi, pasti Kara akak rindu kepada Gama nantinya.
"Kamu sudah dewasa ternyata, saya terharu mendengarnya." Gama bahkan masih ingat saat dirinya patah tulang tangan dua bulan yang lalu, bersamaan Kara yang terjatuh di kamar mandi, Kara menangisi dirinya sampai kesegukan, anak itu kekeuh ingin menemani dirinya di rumah sakit. Padahal Kara juga saat itu masih sakit.
Kara mendengus pelan mendengar ucapan Gama. "Udah dewasa lah, gue udah 17 tahun kalo lo lupa."
Bersamaan dengan itu, pintu kamarnya terbuka, memperlihatkan sosok ibu yang mendekatinya. Senyum hangat Tia menyapa, membuat Kara tak sanggup untuk mengabaikannya.
"Hari ini, ikut Bunda ke butik yuk? Nggak ada jadwal terapi 'kan?" tanya Tia lembut sambil mencium pucuk kepala Kara. Ia ingin menebus kesalahannya di masa lalu dengan memberikan kasih sayang sebanyak mungkin kepada anak tengahnya itu.
"Nggak, tumben Bunda ajakin aku," sahut Kara, mendongak untuk menatap wajah cantik sang ibu. Tia tersenyum semakin lebar.
"Nggak ada salahnya 'kan mengajak anak Bunda ikut? Kamu mau nggak?" Selama ini, ia jarang menyempatkan waktu bersama Kara, membiarkan anak itu seharian bersama Gama. Tak bisa dipungkiri bahwa terkadang Tia merasa cemburu melihat kedekatan Kara dan Gama, dan hari ini, ia ingin berbagi momen kebersamaan dengan anaknya tersebut.
"Aku mau, Bunda," balas Kara dengan tegas. Hatinya berkembang senang, merasa terhormat dan bahagia di ajak oleh sang ibu untuk menghabiskan waktu bersama.
"Oke, kalo gitu Bunda bantu siap-siap ya? Hari ini Gama libur dulu ya, biar Ibu yang ngurus Kara hari ini," ujar Tia penuh semangat. Ia ingin menghabiskan waktu berkualitas bersama anaknya, Tia menginginkan ia dan Kara bisa semakin dekat, tanpa kehadiran Gama di antara mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kara's Journey; Will Walk Again
Novela JuvenilKara, remaja laki-laki penuh semangat harus menghadapi ujian terberat dalam hidupnya ketika sebuah kecelakaan tragis meninggalkannya terbaring tak berdaya. Kecelakaan tunggal yang terjadi dalam perjalanan pulang itu tidak hanya menghancurkan tubuhny...