Pintu rumah terbuka lebar dan Kara, yang duduk di kursi rodanya, memancarkan senyum yang tak bisa disembunyikan. Matanya berbinar ketika melihat sosok Gama yang telah lama dinantinya, berjalan memasuki ruangan. Gama, yang baru saja kembali bekerja setelah cuti pernikahan, disambut dengan tawa riang Kara yang terdengar menggema di rumah mewah tersebut.
"Kak Gama!" seru Kara dengan suara yang penuh keceriaan. Remaja itu mengayunkan kursi rodanya mendekati Gama, tak sabar untuk memulai percakapan dan bercerita banyak hal.
Gama, yang tersenyum lembut, segera mendekat dan membungkuk sedikit agar bisa berada di level yang sama dengan Kara."Halo, Kara! Saya senang sekali bisa kembali dan melihatmu ceria seperti ini," ucap Gama, sambil mengusap lembut rambut Kara yang lebat tersebut.
"Iya dong, Kak! Karena lo dateng, gue jadi seneng," seru Kara, semangatnya meluap-luap tak terbendung.
"Baiklah, tunggu sebentar ya? Saya perlu menata ulang barang-barang ini," jawab Gama sambil mengangkat tas berat yang dibawanya.
"Ikut boleh?" pinta Kara dengan mata berbinar. Gama mengangguk, membiarkan Kara mengekor di belakangnya layaknya bayang-bayang yang setia. Sesampainya di tempat, Gama mulai menyusun barang-barangnya dengan teliti.
"Kamu lihat saja dari sana, biarkan saya yang mengurus ini," tolaknya ketika Kara menawarkan bantuan.
Kara mengangguk lembut, memposisikan diri dengan anggun di kursi rodanya. Matanya tak lepas dari setiap gerakan Gama, hatinya berdebar dalam antisipasi cerita yang akan ia bagi. Jujur saja, ia sudah tidak sabar ingin berbagi cerita dengan Gama yang sudah lama tak bersua.
Setelah selesai beres-beres, Gama segera membawa Kara ke ruang tengah seperti yang anak itu inginkan. Gama duduk di sofa, sementara Tara tetap di kursinya.
"Kak, kayaknya gue nggak bisa deh kalo nggak ada lo. Soalnya kalo mau minta apa-apa sama Ayah dan Bunda, gue masih sungkan, takut ngerepotin mereka. Gue juga nggak enak sama Ayah yang selalu gendong gue," tutur Kara, mengungkapkan isi hatinya ketika Gama tidak ada.
Kara yang dulu selalu diabaikan, dan bahkan disalahkan atas kecelakaan yang ia alami menjadi takut untuk terbuka kepada keluarganya. Walau mereka sudah meminta maaf dan mengatakan berkali-kali jika mereka akan membantu Kara setiap kali kesulitan.
"Tak apa Kara, kamu hanya perlu membiasakan diri dengan mereka. Jika sudah terbiasa, kamu pasti bisa lebih terbuka kepada mereka," ucap Gama yang selalu memberikan dukungan kepada Kara untuk bangkit.
Kara mengangguk pelan, wajahnya terlihat sendu, bukan bermaksud tidak menghargai usaha keluarganya yang peduli kepadanya. Namun luka masa lalu masih membekas, hingga Kara takut jika mereka kerepotan karenanya, kalau pada akhirnya akan kembali meninggalkan dirinya sendiri.
Ia menundukkan kepala, matanya memandang kedua kaki yang lumpuh. Namun, tiba-tiba wajahnya bersinar penuh harapan. "Kak, lihat ini!" serunya dengan semangat yang meluap-luap, meminta Gama untuk menyaksikan perubahan kecil namun berarti.
Kaki yang dulu diam, kini bergerak walau hanya sedikit—sebuah kemajuan besar sejak terakhir kali mereka bersama, sebelum Gama menikah. "Terapi kemarin memberi hasil, Kak! Meski cuma sedikit, tapi ini adalah langkah maju!" ujarnya, senyuman tidak pernah lepas dari wajah cerahnya.
Melihat itu, Gama terhanyut dalam kegembiraan yang tak terkatakan, menyaksikan adiknya menemukan keceriaan dan semangat hidup kembali. "Lihat, perlahan tapi pasti, kau akan pulih," sahutnya, penuh keyakinan dan dukungan, membuat hati Kara semakin hangat dalam perjuangan yang berat ini.
"Kalo dipikir-pikir, gue ini masih beruntung ya Kak. Gue masih ada kesempatan buat bisa jalan lagi walau nggak tau kapan. Kemaren gue ketemu pasein lain di rehabilitasi, kasian banget lumpuh sama punya gangguan mental. Denger-denger juga, dia lumpuh sama gangguan mental gitu dibuat sama orang tuanya sendiri. Gue kasian liatnya, katanya juga kakinya udah nggak bisa disembuhin," ucap Kara secara tiba-tiba, mengingat pasein lain yang satu ruangan saat ia terapi kemarin.
"Itulah alasannya mengapa kita harus lebih bersyukur atas keadaan yang ada Kara. Mungkin kita menderita, namun di luar sana masih banyak yang jauh menderita dari kita," balas Gama.
Kara mengangguk paham. "Iya Kak, gue akan belajar lebih bersyukur lagi."
***
Pagi hari, Kara sudah rapi karena dirinya ada homeschooling hari ini. Tadinya ia masih bersekolah formal seperti biasa setelah keadaannya seperti ini. Namun, setelah ia terjatuh di kamar mandi dan membuat dirinya harus operasi, sang ibu meminta dirinya agar sekolah di rumah saja.
"Dek, ikut nge-gym aja sama gue yok," ucap Ghaza ketika melihat sang adik duduk dengan tenang menunggu tuturnya datang.
Kara melirik sang kakak tajam dari sudut matanya, memandang was-was Ghaza yang kini mulai mendekati dirinya. Karena bisa saja, spesies ini memeluk dan mencium dirinya tanpa aba-aba. Atau bahkan, dengan tiba-tiba mengangkat tubuhnya tanpa persetujuan darinya.
"Berani maju selangkah lagi, gue lempar pake buku!" ancam Kara dengan nada dingin, tangannya sudah memegang sebuah buku yang lumayan tebal. Bisa membuat kening Ghaza benjol jika terkena lemparan darinya.
"Jangan ya Dek ya, sumpah gue nggak lagi mau ngeledek lo," kata Ghaza, berusaha membuat adiknya percaya jika kedatangannya ini bukan untuk meledek anak itu, tapi benar-benar mengajak anak itu olahraga bersama dirinya.
"Kak Gama! Kak!" teriak Kara ketika melihat Ghaza tidak mendengar ancamannya, salah satu jalan keluar agar terhindar dari sang kakak adalah memanggil Gama untuk meminta bantuan.
"Ah, lo mah nggak asik Dek. Padahal gue cuma mau ngajak lo main," tutur Ghaza saat melihat Kara yang berterima memanggil Gama. Jika sang ayah atau ibunya juga dengar, Ghaza akan diomeli karena mengganggu Kara.
"Gue bukan mainan lo Gajah! Pergi nggak lo! Jangan deket-deket!" Kara masih berusaha mengusir Ghaza dari sana. Sungguh, jika kakinya berfungsi ia akan menendang kakaknya yang menyebalkan tersebut, tetapi sayangnya tidak bisa.
Kara tidak bisa kabur dari sana karena posisinya ia sudah duduk di sofa saat ini, berpindah ke kursi roda pun akan membutuhkan waktu yang lama.
"Ya ampun, Za. Kamu apain Adek kamu lagi? Kasian sampe teriak-teriak gitu." Akhirnya bantuan datang, tetapi bukan Gama yang datang, melainkan Tia.
"Bun, aku nggak ngapa-ngapa beneran. Aku cuma ngajak Kara nge-gym bareng aja, belum aku cium!" jelas Ghaza sebelum mendapatkan semprotan dari sang ibu.
"Tuh kan Bun! Gajah mau cium aku lagi, tolong suruh Ghaza pergi dari sini! Bentar lagi tutorku dateng, gimana kalo beliau liat? Aku mau Bunda, tolong bantuin!" imbuh Kara dengan wajah nemelas, berharap pertolongan dari sang ibu.
"Za, mendingan kalo kamu emang mau gym sana pergi. Adek kamu mau ada tutor bentar lagi, jangan ganggu," tutur Tia pada akhirnya, memberikan pertolongan kepada Kara yang sudah sangat berharap kepadanya. Lucu padahal melihat anak-anaknya yang seperti Tom and Jerry yang tidak bisa akur.
Ghaza yang mendengar itu akhirnya hanya bisa mengangguk. Namun, ia tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Melihat Kara yang lengah, dengan secepat kilat Ghaza langsung mencium kening anak itu, membuat Kara langsung membulatkan matanya terkejut.
"Gajah t*lol bau jigong!" teriaknya dengan mengumpat kasar, melemparkan buku yang ia pegang sedari tadi dan tepat mengenai kepala sang kakak. Kara tersenyum puas melihatnya.
[]
Lampung, 30072024
KAMU SEDANG MEMBACA
Kara's Journey; Will Walk Again
Roman pour AdolescentsKara, remaja laki-laki penuh semangat harus menghadapi ujian terberat dalam hidupnya ketika sebuah kecelakaan tragis meninggalkannya terbaring tak berdaya. Kecelakaan tunggal yang terjadi dalam perjalanan pulang itu tidak hanya menghancurkan tubuhny...