Sejak kecil, Kara hanya mengenal kerasnya kehidupan tanpa cinta kasih yang layaknya disajikan pada anak-anak seusianya. Orang tuanya memang membiayai pendidikan dan kebutuhan materialnya, tapi hati kecil Kara tetap merasa hampa dan kesepian. Dia bersyukur, namun ada sesuatu yang terus mengganjal di hatinya.
Sakitnya terasa lebih dalam ketika melihat kedua saudaranya, yang masing-masing memiliki pendamping yang selalu ada di sisi mereka; ayahnya dengan Stella, dan ibunya dengan Ghaza. Kara merasa seperti burung yang terbang sendiri di langit yang luas tanpa tempat untuk hinggap.
Saat orang tuanya akhirnya mulai membuka hati, ingin memberikan kasih sayang yang selama ini Kara rindukan, ironisnya, Kara justru dilanda ketakutan yang mendalam. Ada bagian dari dirinya yang merasa tidak layak menerima kasih itu, takut jika akhirnya ia hanya akan mengecewakan mereka. Bayangan mereka menghilang lagi karena kecewa, menghantuinya, membuat dinding sekitar hatinya menjadi lebih tebal dan sukar untuk ditembus.
"Kak, minum," bisik Kara lemah, suaranya sehalus hembusan angin. Kondisinya yang memburuk memaksa dia untuk dirawat di rumah sakit malam itu juga. Beruntung, perawatan intensif telah sedikit menenangkan penderitaannya.
Di sisi tempat tidurnya, Gama, yang tidak pernah lelah menjaganya, segera mengambil gelas berisi air dan dengan hati-hati membantu Kara meneguknya. Anak itu kini tampak pucat pasi, muka yang dulunya merona kini hilang ditelan kelelahan yang ekstrem.
"Usap-usap perutnya," perintah Kara dengan nada yang sedikit memohon. Meski terdengar memerintah, dalam suaranya terselip keinginan untuk tidak terlalu bergantung pada Gama. Namun, pada kenyataannya, hanya di dekap hangat Gama-lah dia bisa merasa nyaman.
Gama, dengan gerakan yang penuh kasih, mengusap perut Kara lembut, memenuhi setiap permintaan Kara seolah ia adalah sang pelindung sejati. Hubungan mereka lebih dari sekadar tuan dan perawat; Gama telah menjadi bagian dari keluarga, menjaga Kara seperti adiknya sendiri.
Pada saat bersamaan, Bastian muncul, lengkap dengan aroma makanan yang menyertainya. Pria itu meletakkan kantong belanjaannya dengan hati-hati di atas meja, kemudian mendekat dengan langkah yang tertahan, menawarkan senyum penuh kasih kepada Kara dan Gama, sebuah gambaran sempurna dari keharmonisan yang mereka jalin dalam menghadapi badai.
"Gama, kamu sudah makan?" tanya Bastian kepada perawat anaknya. Dengan jujur, Gama menggelengkan kepalanya dan menjawab belum.
"Kamu makan dulu, saya belikan makanan untuk kamu. Kara biar gantian saya yang jaga," ucap pria tersebut, mengambil alih kursi yang tadi diduduki oleh Gama. Sementara Gama sendiri hanya bisa menurut dan bersiap untuk makan.
Bastian memandang anaknya dengan rasa cemas memenuhi matanya. Lembut ia mengusap perut Kara. "Masih ada rasa sakit, Nak?" suaranya bergetar, penuh kekhawatiran.
"Iya, tapi sudah lebih mendingan," jawab Kara lemah, menyembunyikan rasa sakit yang sebenarnya masih menggigit perutnya.
Mendengar jawaban itu, Bastian hanya bisa menghela napas panjang. Tangannya masih setia mengusap perut sang anak, mencoba memberikan kenyamanan semampunya. Setiap gerakan Kara yang terlihat kesakitan seakan menikam jantung Bastian, serasa menyatakan kegagalannya sebagai seorang ayah yang tak bisa menjauhkan anaknya dari penderitaan.
"Kamu butuh sesuatu?" tanya Bastian, suaranya serak, mencoba menembus keheningan yang mencekam antara mereka.
Kara menggeleng pelan. "Udah, Ayah nggak perlu ngapa-ngapain. Ayah istirahat saja," katanya dengan suara bergetar. Raut wajahnya penuh penyesalan, menyaksikan ayahnya yang sudah letih masih berjuang mengusahakan kenyamanan untuknya. Kara ingin meringankan beban Ayah, namun dia merasa tak berdaya dan terjebak dalam sakit yang menyiksa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kara's Journey; Will Walk Again
Teen FictionKara, remaja laki-laki penuh semangat harus menghadapi ujian terberat dalam hidupnya ketika sebuah kecelakaan tragis meninggalkannya terbaring tak berdaya. Kecelakaan tunggal yang terjadi dalam perjalanan pulang itu tidak hanya menghancurkan tubuhny...