Journey 11

280 65 4
                                    

Kara menatap kosong jendela mobil, pikirannya terombang-ambing dalam kebosanan yang tak kunjung usai. Hidupnya terasa seperti lingkaran yang tak pernah berhenti, hanya berputar-putar di sekitar terapi, dokter, dan lebih banyak terapi lagi. Kecelakaan itu tak hanya menghancurkan tubuhnya, tetapi juga jiwanya. Setiap hari ia bangun, menghadap cermin, dan melihat bayangan dirinya yang tak lagi utuh. Mentalnya terguncang, hatinya terluka, dan kadang ia bertanya-tanya, apa semua ini akan berakhir?

Sesi konsultasi dengan dokter psikiater hari ini adalah satu dari banyak sesi lainnya. Sama seperti sebelumnya, dokter bertanya tentang perasaannya, tentang trauma yang tak kunjung hilang, dan tentang bagaimana ia harus tetap berjuang. Kara menjawab dengan jujur, melepaskan beban yang selama ini menghimpit dadanya. Ada sedikit kelegaan setelahnya, seperti beban yang sedikit berkurang, tetapi tidak semuanya. Rasa kosong itu masih ada, mengintai di sudut hatinya.

Ketika sesi itu berakhir, Kara merasa seperti keluar dari penjara sesaat. Dia mendesah panjang, mengalihkan pandangannya pada ponsel yang ia genggam. Video sate yang muncul di FYP membuat perutnya tiba-tiba meronta. "Kak, mau sate," ujarnya tanpa berpikir panjang.

Gama, caretaker yang sudah ia anggap kakaknya sendiri yang selalu ada di sampingnya, langsung merespons. “Pak Hadi, Kara ingin beli sate. Jika ada yang menjual, tolong berhenti.”

Tak lama kemudian, mobil berhenti di pinggir jalan. Pak Hadi turun untuk memesankan sate, namun hati Kara mulai merasakan kegelisahan yang tak bisa ia kendalikan. Sambil menunggu, ia membuka media sosialnya, mencoba mengalihkan pikiran. Beberapa waktu lalu, Kara memberanikan diri untuk membagikan kisahnya secara publik, menunjukkan bahwa ia menerima keadaannya. Komentar-komentar dukungan dari orang-orang yang menyemangatinya selalu membuat hatinya sedikit lebih ringan.

Namun, di antara lautan dukungan itu, matanya terpaku pada satu komentar. Sebuah kalimat yang sederhana, tetapi cukup untuk membuat luka di hatinya kembali menganga.

Userxxx: Emangnya nggak capek tah duduk terus?

Kara membacanya berulang kali, seolah-olah kata-kata itu mengiris jiwanya. Bukan hinaan yang keras, tetapi ada sesuatu dalam kata-kata itu yang menusuk dalam. Sesuatu yang membuatnya merasa kembali kecil, tak berdaya, dan hina. Tangan Kara bergetar saat ia mencoba mengetik balasan, mencoba mempertahankan harga dirinya.

Membalas @ userxxx: Kalo Allah kasih izin, insyaallah gue nggak capek kok.

Namun, meski sudah menuliskan itu, rasa sakitnya tidak berkurang. Komentar itu berhasil meruntuhkan tembok ketegaran yang ia bangun dengan susah payah. Air matanya hampir jatuh, tetapi ia menahan diri, menatap keluar jendela lagi, berharap rasa sesak di dadanya hilang.

"Ketikan orang kok jahat-jahat banget, ya, Kak?" Kara berbisik lirih, mencoba menahan perasaan yang mendesak keluar. Ia merasa hancur hanya karena satu kalimat singkat itu.

Gama menoleh, tidak sepenuhnya mendengar apa yang dikatakan Kara. "Apa, Kara?"

"Enggak, bukan apa-apa," jawab Kara, suaranya sedikit serak, seperti ada beban berat di tenggorokannya. Ponsel yang tadi ia genggam erat, kini diletakkan begitu saja di atas pangkuannya. Keinginannya makan sate mendadak hilang, digantikan oleh rasa sedih yang mencekam. Ia merasa bodoh, terlalu lemah hanya karena satu komentar itu.

Gama memandang adiknya dengan penuh perhatian. "Kalau lelah, tidurlah. Nanti saya bangunkan kalau sudah sampai rumah."

Kata-kata Gama lembut, namun tidak bisa menenangkan badai yang berkecamuk di dalam diri Kara. Di luar, hujan mulai turun, seolah langit pun ikut merasakan kesedihan yang Kara pendam. Ia memejamkan mata, mencoba bersembunyi dari dunia yang terasa terlalu keras baginya.

Kara's Journey; Will Walk Again Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang