Kara bangun dengan napas tersengal, keringat membasahi rambutnya walau AC kamarnya menyala. Kedua matanya bergetar liar seperti orang linglung, hingga pada akhirnya nyeri di kedua kakinya membuat ia tersadar lalu meringis pelan. Sial, kakinya kambuh lagi.
"Kak, sakit," lirih Kara, mencoba untuk membangunkan Gama yang tengah terlelap di sebelahnya.
Gama yang merasa terusik dengan rintihan sakit Kara membuka matanya, dapat ia rasakan jika Kara meremat satu tangannya dengan erat, sementara tangan satu anak itu memegangi kaki.
"Kakimu sakit lagi Kara? Yang tenang, oke?" tutur Gama, pria tersebut dengan sigap segera memberikan pertolongan kepada Kara seperti biasanya, ketika kram otot Kara kambuh.
Gama memberikan pijatan agar otot-otot yang kaku tersebut kendur, setelah dirasa lebih baik Gama bangun untuk mempersiapkan obat untuk Kara.
"Bangun dulu sebentar, minun obat," titah Gama, ia membantu Kara untuk duduk agar bisa minum obatnya dengan nyaman.
"Makasih banyak, Kak," tutur Kara dengan tulus. Ia menghela napas pelan ketika rasa sakit itu mulai berkurang, jika habis terapi pasti terkadang memang akan seperti ini di malam harinya. Mungkin ototnya tegang sehingga spasme kakinya kambuh.
"Kalau begitu, tidurlah kembali," ucap Gama, sedih rasanya setiap kali melihat pasien kecilnya ini kesakitan. Hal-hal seperti inilah yang membuat Kara frustasi dan kesal, rasa sakit yang masih terus menghantui.
"Gue mimpi buruk lagi Kak. Kecelakaan itu, gue mimpi lagi," ujar Kara pelan. Kecelakaan mengerikan yang menimpa dirinya terkadang masih menghantui, bayangan tentang dirinya yang tergeletak di aspal dengan bersimbah darah masih terekam jelas, rasa sakit itu juga masih bisa Kara bayangkan rasanya.
Gama mengusap pelan punggung Kara, memberikan ketenangan untuk anak itu. Gama sangat tahu, Kara masih sering memimpikan mimpi buruknya hingga sekarang.
"Terkadang, kalo gue inget kejadian itu. Gue kesel, gue masih nggak nyangka, Gavin yang gue anggap sahabat tega lakuin itu ke gue. Gara-gara dia, gue kehilangan semuanya Kak! Padahal gue baik sama dia! Tapi, kenapa dia buat gue kayak gini?" tutur Kara menyayat hati.
Yakinlah, jangan pernah sekalipun mempercayai orang lain jika tidak ingin bernasib sama dengan Kara. Ia yang bersikap sangat baik kepada Gavin, orang yang ia anggap sahabat itu justru hanya mendapatkan keburukan dari orang yang ia anggap sahabat tersebut.
Kara bisa kecelakaan seperti ini dan berakhir lumpuh karena ulah Gavin. Mantan temannya itu sengaja mencampuri minumannya dengan obat sehingga ketika Kara yang waktu itu tengah di perjalanan pulang, merasakan pusing yang hebat di kepalanya, membuat pandangannya berkunang-kunang. Sehingga Kara yang sedang membawa motor tidak bisa fokus, dan berakhir kecelakaan parah yang tak bisa dihindari.
Motor besar yang selalu ia banggakan berakhir hancur sehingga tak bisa digunakan lagi, berakhir menjadi barang rongsok. Kakinya lumpuh, impiannya hilang, mentalnya pun ikut terguncang. Gavin benar-benar menghancurkan hidup Kara.
"Kara, kamu tenang ya? Saat ini Gavin sudah mendapatkan hukumannya," tukas Gama memberi penenang.
"Walau dia udah dipenjara sekarang, rasanya tetep nggak adil Kak! Gue lumpuh di sini, mental gue juga ikut hancur. Sementara Gavin, dia masih bisa jalan, mental dia nggak diuji seberat ini! Gue pingin buat dia juga lumpuh kayak gue! Gue harus buat dia lumpuh Kak!" kata Kara menggebu-gebu, merasa tidak impas jika Gavin baik-baik saja secara fisik hingga mentalnya. Jika Kara membuat Gavin lumpuh seperti dirinya, bukankah impas?
"Kara, saya tahu apa yang kamu rasakan. Perasaan kecewa dan memiliki keinginan balas dendam pasti sangat kamu rasakan. Namun, jika kita membalas luka yang sama, bukankah artinya kita sama jahatnya dengan oranh tersebut? Mungkin saat ini Gavin baik-baik saja, tetapi, kamu harus ingat bahwa Tuhan tidak pernah tidur. Tuhan pasti sudaj memiliki rencana sendiri untuk membalas perbuatannya Gavin kepadanya," tutur Gama penuh kelembutan. Terkadang mental Kara yang tidak stabil membuat dirinya harus menjadi lebih sabar lagi menghadapi Kara.
Apalagi anak itu gampang sekali merasa down jika ada sesuatu yang merujuk pada kondisinya sekarang.
"Tapi, gue pingin gunain tangan gue sendiri ini untuk kasih karma buat dia," timpal Kara, bukankah terlalu lama jika harus menunggu karma dari Tuhan? Lebih baik Kara melakukannya sendiri bukan?
"Tangan kamu ini terlalu bersih untuk menyentuh tubuh kotornya Kara, kamu tidak perlu bersusah payah mengotori tangan. Bukankah menyaksikan dia yang perlahan-lahan hancur lebih menyenangkan? Hal itu akan lebih membuat dirinya menderita," sahut Gama.
***
Di hari libur seperti ini, para anggota keluarganya adan berada di rumah, tak terkecuali dengan Bastian yang super sibuk di perusahannya. Pria itu tak menyia-nyiakannya waktu dengan menghabiskan waktu bersama keluarganya.
"Kita berenang bareng-bareng yok, sekalian terapi buat Kara. Kata dokter, itu juga bagus untuk perkembangan kamu 'kan?" celetuk Bastian yang mengajak anak-anaknya untuk berenang bersama di belakang.
Kara mengangguk setuju, ia sudah menjalani beberapa sesi terapi di dalam air yang berguna untuk melatih kakinya. Tak ada salahnya juga terapi seperti itu di rumah, lagipula ada Gama yang akan menjaganya.
Kara pun mengganti bajunya dibantu oleh Gama, begitu juga Gama yang ikut berganti baju. Setelah siap, Gama segera membawa Kara ke kolam renang yang berada di belakang rumah.
Di sana, sudah terdapat Bastian dan Ghaza yang sudah menunggu di dekat kolan renang. Sementara itu, di dekat gazebo, Reni dan Stella tengah mempersiapkan bakar-bakaran untuk mereka makan nantinya.
"Ayok, sama Ayah aja," ujar Bastian, ia membantu Kara untuk turun ke dalam air. Bastian yang tidak pernah merawat Kara sejak kecil, merasa seolah tengah mengajari Kara kecil berenang saat ini.
"Jangan dilepas, aku takut," kata Kara pelan, ia berpegangan erat kepada sang ayah karena takut tenggelam.
"Tenang aja, Ayah pegang kamu erat-erat," tutur Bastian, memastikan jika sang anak pasti akan baik-buruk saja dalam pengawasannya.
Kara tersenyum, ia pandai berenang sebelum kakinya lumpuh. Sekarang situasinya berbeda, Kara tidak bisa menggerakkan kakinya untuk berenang sehingga dirinya merasa takut. Mereka berenang cukup lama, hingga Kara yang sudah merasa kedinginan meminta untuk naik ke permukaan lantai.
"Ini handuknya," tutur Ghaza yang perhatian kepada sang adik. Ia paham, imun sang adik lemah sehingga berada di dalam air seperti ini akan membuat Kara kedinginan jika terlalu lama.
"Ayok pada ganti baju dulu semua, ini makanannya udah mateng semua," perintah Tia, ia dan si bungsu sudah siap menyajikan makanan yang akan mereka santap, sudah tertata rapi di gazebo dan tinggal menunggu anak-anak, suaminya dan Gama mengganti baju.
"Kamu nggak papa Nak? Masih kedinginan?" tanya Tia khawatir pada Kara setelah anak itu datang dan sudah berganti baju. Reni takut anaknya itu sakit lagi seperti Minggu lalu.
"Nggak Bunda, aku baik-baik aja. Hmm, boleh aku ambil foto? Mau aku kirim ke Shania," tutur Kara, ia baik-baik saja, tak ada yang perlu dicemaskan.
"Tentu aja boleh dong, Bunda pose di mana nih?" tanya Tia senang hati.
"Di situ aja Bunda, siap ya." Kara segera memotret sang ibu yang berpose di depan makanan yang sudah siap. Kemudian Kara kirimkan kepada Shania, jika Kara sedang menikmati akhir pekan bersama keluarganya, serta sang ibu yang membuatkan makanan yang banyak.
Kara tersenyum ketika mendapatkan balasan dari kekasih pujaannya itu, di sini lain Shania juga tengah menghabiskan waktu bersama keluarganya.
"Sebelum makan, kita foto bareng-bareng dulu ya semuanya!" pekik Stella. Segera mereka mengambil potret dengan pose terbaiknya masing-masing. Kara tersenyum manis ke arah kamera, dengan sang ibu yang berdiri di belakangnya.
"Selamat makan semuanya! Ini semua hasil masakan aku sama Bunda! Jangan lupa bintang limanya!" seru adik perempuan Kara itu.
Kara tersenyum, senang sekali rasanya bisa berkumpul dan makan bersama seperti ini dengan anggota keluarganya. Hal-hal yang selalu Kara harapkan sejak kecil. Kara salah, nyatanya Tuhan begitu adil.
[]
Votmentnya jangan lupa! Aku tunggu 40 vote
Lampung, 06092024
KAMU SEDANG MEMBACA
Kara's Journey; Will Walk Again
Roman pour AdolescentsKara, remaja laki-laki penuh semangat harus menghadapi ujian terberat dalam hidupnya ketika sebuah kecelakaan tragis meninggalkannya terbaring tak berdaya. Kecelakaan tunggal yang terjadi dalam perjalanan pulang itu tidak hanya menghancurkan tubuhny...