Tia menatap Kara dalam diam, tatapan penuh penyesalan yang tak bisa ia sembunyikan. Luka dekubitus di punggung Kara bukan hanya sebuah luka fisik, tapi simbol dari kesakitan yang jauh lebih dalam—kesakitan yang selama ini tak pernah ia perhatikan dengan baik. Meskipun ia sudah berjanji untuk menjadi ibu yang baik, kenyataannya ia belum mampu memenuhi janji itu.
"Apa lukanya udah diobatin?" tanya Tia dengan suara lembut, berusaha menutupi rasa bersalah yang menggerogotinya. Ia merasa tak pantas sebagai seorang ibu—anaknya terluka, dan ia bukan orang pertama yang tahu.
"Udah, Kak Gama yang obatin tadi," jawab Kara singkat, suaranya datar, seakan tak ada yang perlu dipermasalahkan. Namun, di balik nada santainya, Tia tahu ada perasaan yang terpendam.
Tia mengangguk perlahan. Di balik jawaban Kara yang terdengar ringan, Tia bisa merasakan kepedihan yang lebih besar. Ia tahu betul, anaknya menyimpan kemarahan yang tak pernah terungkap. Kara kesal, bukan hanya karena luka di tubuhnya, tetapi juga karena luka hati yang terus membesar dari hari ke hari. Tia tahu pasti, saat Kara sendirian bersama Gama, ia pasti sudah meluapkan segala kemarahannya, menangis dalam sakit, baik fisik maupun emosional. Namun, di depan Tia, Kara memilih bungkam.
Ketika spasme Kara kambuh, Tia selalu melihat seberapa besar rasa sakit itu mempengaruhi anaknya. Tangis Kara bukan hanya karena menahan nyeri, tapi juga karena amarah yang ia simpan rapat-rapat.
Tiba-tiba, Kara merasa tak nyaman dengan tatapan ibunya yang begitu lekat. Ia menggeser posisi duduknya dan bertanya, "Bunda kenapa liatin aku kayak gitu? Ada yang aneh di mukaku?"
Tia tersentak, sadar telah memperhatikan Kara terlalu lama. Ia tersenyum, mencoba menenangkan hati anaknya. "Nggak ada apa-apa, cuma Bunda heran aja, anak Bunda ini kok ganteng banget." Senyum itu adalah usahanya untuk menutupi kesedihan, untuk memberikan sedikit kebahagiaan yang tak pernah ia berikan sebelumnya.
Kara terkekeh kecil, wajahnya memerah. "Ya gimana nggak ganteng kalo Bunda sama Ayah aja cantik dan ganteng," balasnya, sedikit tersipu. Namun di balik candaannya, ia tak bisa menyembunyikan betapa hampa rasanya menerima kasih sayang yang baru diberikan setelah bertahun-tahun hidup dalam kekosongan.
Tia mengelus lembut rambut anaknya. Dulu, ia pernah membenci senyum dan tawa Kara. Setiap kali anak itu tersenyum, ia merasa muak, merasa senyuman itu adalah kebohongan yang tak pantas dilihat. Bahkan, Tia dan suaminya pernah mengatakan dengan dingin bahwa senyum Kara lebih baik disembunyikan, tak perlu diperlihatkan. Namun kini, setelah semua yang terjadi, senyum Kara adalah satu-satunya hal yang membuat hati Tia terasa hangat.
Lesung pipi Kara, warisan dari ayahnya, tak pernah gagal muncul setiap kali ia tersenyum. Itu adalah senyum yang pernah Tia abaikan, tapi sekarang menjadi hal yang ingin ia lihat selamanya.
"Bunda, sebenarnya ada apa? Ada yang mau Bunda omongin ke aku?" tanya Kara lagi, menatap ibunya penuh harap. Tatapan Tia yang penuh cinta tapi juga penuh keraguan membuatnya bingung.
Tia terdiam sejenak, lalu berkata dengan tulus. "Bunda cuma mau bilang, senyum terus ya, Nak. Bunda suka lihat senyummu. Bunda mau lihat senyum itu setiap hari."
Kara tersenyum manis, lesung pipinya semakin dalam. "Aku akan senyum terus buat Bunda," jawabnya pelan, namun penuh makna.
Dari kejauhan, Ghaza dan Stella mengamati interaksi itu. Tanpa disadari Kara, mereka menyaksikan momen yang menghangatkan hati itu dengan rasa lega. Ghaza, yang selama ini merasa hubungan keluarga mereka hancur, kini bisa merasakan sedikit kelegaan.
"Keluarga kita akhirnya mulai membaik, ya," bisik Ghaza kepada Stella, seakan tak ingin mengganggu momen tersebut.
Stella mengangguk, tersenyum kecil. "Iya, Kak. Abang sekarang akhirnya dapat perhatian yang seharusnya dari Bunda sama Ayah."
Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Ghaza, dengan kebiasaannya menggoda Stella, tiba-tiba berbisik, "Tapi aneh, ya, Kakak sama Abang punya lesung pipi, kamu nggak punya. Jangan-jangan kamu bukan anak Ayah sama Bunda lagi."
Stella langsung cemberut mendengar godaan itu. "Bunda aja nggak punya lesung pipi!" protesnya, mencoba mencari pembenaran.
Ghaza tertawa pelan, merasa puas bisa menggoda adiknya. "Iya, iya, bercanda kok," katanya sambil mengacak rambut Stella, membuat adiknya semakin cemberut.
Mereka berdua tertawa pelan, sementara di hadapan mereka, Tia dan Kara masih terbenam dalam percakapan yang penuh kehangatan. Kini, tak ada lagi pengabaian. Meskipun rasa sakit masih ada, cinta yang mulai tumbuh kembali menjadi penyembuh.
***
Matahari mulai condong ke barat, menyinari pantai dengan cahaya keemasan. Suara ombak yang tenang menghiasi suasana, tetapi bagi Kara, ada keributan lain yang sulit diabaikan. Tatapan orang-orang di sekitarnya, meski samar, terasa seperti beban yang tak kasat mata. Sejenak, ia mengalihkan pandangannya ke Shania, berusaha menemukan kedamaian di tengah hiruk-pikuk yang mengganggu pikirannya.
Di pondok yang teduh, Shania bercerita dengan penuh semangat tentang perkembangan usaha ibunya. "Usaha roti punya Ibu terus meningkat," kata Shania, senyumnya mengembang penuh kebanggaan. "Akhirnya, setelah semua yang Ibu lewati, beliau bisa nemuin kebahagiaannya lagi. Kesehatannya membaik, dan usaha kuenya semakin maju."
Kara mendengarkan dengan saksama, senyum tipis mengiringi kata-kata Shania. Namun, dalam senyumnya, terselip rasa kagum dan syukur atas kekasihnya yang selalu ada di sisinya. Shania telah menjadi cahaya dalam gelapnya dunia Kara, terutama setelah kondisinya berubah drastis.
"Gue seneng denger itu, Shan. Bener-bener seneng," sahut Kara, suaranya tulus. "Gue juga bakal bantu promosiin rotinya ke temen-temen gue, siapa tau bisa makin laris."
Shania tertawa kecil, tetapi tawanya cepat memudar ketika ia menangkap ekspresi Kara yang mendadak hening. Sejenak, Kara menunduk, jemarinya menggenggam roda kursi dengan kencang. Rasa ragu yang tak pernah diucapkannya kembali mengusik hati. Dunia di luar kursi rodanya terasa begitu asing, seakan setiap langkah—atau lebih tepatnya, setiap gulir roda—selalu diawasi. Meski dia telah mencoba keras mengabaikan, tatapan orang-orang di sekitar tetap menusuk, bertanya tanpa suara, seolah mereka ingin tahu apa yang terjadi padanya.
Namun, seperti biasa, Shania tak membiarkan Kara tenggelam terlalu lama dalam pikiran-pikirannya sendiri. "Kara, aku tau kamu kuat," ucapnya tiba-tiba, menatap langsung ke mata sahabatnya. "Dan kamu nggak harus buktiin itu ke siapa pun. Kamu udah buktiin ke aku, ke dirimu sendiri."
Kara menarik napas dalam, membalas tatapan Shania dengan senyuman lemah. "Thanks, Shan. Gue butuh denger itu."
Sejurus kemudian, Kara tampak tersadar sesuatu, lalu dengan tiba-tiba dia mengganti suasana. "Oh, iya. Gue punya kabar buat lo!" Ia sengaja menahan kalimatnya, membuat Shania penasaran.
Shania mengangkat alis, mencondongkan tubuhnya. "Apa itu? Cepetan cerita!"
Kara tersenyum tipis, kali ini senyumnya lebih cerah. "Bulan depan, tim basket gue mau ikut turnamen di luar kota. Dan, ini pertama kalinya buat gue ikut turnamen kayak gini."
Shania terpaku sesaat, lalu matanya membesar, penuh semangat. "Apa? Seriusan? Aku harus nonton, sih!" Seruan antusiasnya memenuhi udara, membuat Kara tak bisa menahan tawa.
"Iya, serius." Kara merasakan kehangatan dalam kata-kata Shania. "Gue tau, kalo lo nonton, gue bakal lebih semangat."
Shania tersenyum lebar, lalu mendekat dan menggenggam tangan Kara. "Kamu nggak perlu turnamen buat aku dukung kamu, Kar, tapi aku bakal ada di sana, teriak paling kenceng di barisan penonton!"
Sejenak, Kara terdiam, menatap genggaman tangan Shania yang hangat. Di balik segala rintangan, di tengah semua tatapan asing yang menilai, ia menemukan kedamaian di tempat yang sederhana—di pondok kayu ini, dengan Shania di sampingnya. Betapa beruntungnya dia memiliki kekasih yang tak pernah menghakimi, yang selalu melihatnya sebagai Kara yang utuh, bukan Kara yang terkurung di atas kursi roda.
Dengan napas panjang, Kara menatap ke arah lautan yang tenang, seolah memandang masa depan yang baru mulai terbuka di hadapannya. "Gue siap, Shan. Buat semuanya."
[]
45 vote untuk lanjut
Lampung, 19102024
KAMU SEDANG MEMBACA
Kara's Journey; Will Walk Again
Novela JuvenilKara, remaja laki-laki penuh semangat harus menghadapi ujian terberat dalam hidupnya ketika sebuah kecelakaan tragis meninggalkannya terbaring tak berdaya. Kecelakaan tunggal yang terjadi dalam perjalanan pulang itu tidak hanya menghancurkan tubuhny...