Journey 9

342 52 22
                                    

Hari ini, suasana rumah tampak berbeda karena Kara, yang baru saja pulih dari sakit, telah diizinkan untuk pulang. Cahaya kesegaran baru memancar dari wajahnya, seolah menyatakan kembali semangat yang sempat hilang beberapa hari lalu.

Dengan semangat yang terbarukan, ia kembali berinteraksi dengan Ghaza yang sering kali mengusilinya. Dalam kehangatan ruang keluarga, Kara dan Ghaza tengah asyik bersaing dalam permainan video di play station. Terlihat Gama yang setia menemani dan memantau permainan mereka, sebuah pemandangan yang mengingatkan akan keakraban antar saudara.

Awalnya, Kara enggan bergabung dalam permainan karena sikap Ghaza yang sering kali nakal. Namun, tawa dan canda dalam permainan itu akhirnya mengalahkan rasa kesalnya, menyuntikkan kembali kegembiraan dalam rutinitas Kara yang sempat terhenti karena sakit

"Jangan curang dong, Kak!" seru Kara dengan nada bicara yang penuh semangat saat ia menuduh Ghaza bermain curang.

Sementara itu, Ghaza hanya tertawa dan melontarkan tantangan kembali. "Itu kan kamu aja yang kurang lihai, Dek. Awas ya, kalau kalah Kakak cium kamu nih," canda Ghaza dengan mata berbinar, tak lepas dari pandangan manja yang ia lemparkan pada adik tercintanya.

Kara, dengan kedua kaki menjulur di atas karpet bulu yang lembut dan matanya yang fokus tidak bergeming dari layar, hanya bisa mengerutkan dahi sambil terus berusaha mengimbangi kecurangan yang dilakukan oleh kakaknya. Kebersamaan mereka berdua, diselingi canda tawa dan persaingan sederhana, menambah keceriaan yang kembali mengisi sudut-sudut rumah mereka, menghembuskan kehangatan yang telah lama mereka rindukan.

Kara bergidik ngeri mendengar ucapan sang kakak, kesal dengan kebiasaan Ghaza yang selalu mencium dirinya. Ayolah Kara geli, ia itu cowok tulen. "Cium aja tuh Kak Naila!"

"Eh, jangan keras-keras, ada Abangnya di sini," tegur Ghaza pelan. Naila adalah adik perempuan Gama yang kini menjalin kasih dengan Ghaza, awalnya mereka malu mengungkapkan hubungan mereka, tetapi, pada akhirnya kini semua orang sudah tahu.

"Biarin, biar Kak Gama tau kelakuan Kakak ke Kak Naila," ujar Kara tanpa merasa bersalah. Ia juga oknum yang memberitahu jika Ghaza menjalin kasih dengan Naila.

"Bang, beneran aku nggak ngapa-ngapain Naila, beneran deh. Kami kalo ketemu cuma makan bareng dong, beneran," ucap Ghaza kepada Gama yang sedari tadi memperhatikan mereka. Berusaha mengklarifikasi jika Ghaza tidak berbuat apa-apa dengan adik Gama.

Gama tersenyum. "Iya, saya percaya," tuturnya, ia percaya jika Ghaza bisa menjaga adik perempuannya dengan baik.

"Yes! Gue menang!" sorak Kara saat ia berhasil memenangkan permainan dalam babak ini, ia tersenyum penuh kemenangan kepada Ghaza. Untungnya ia yang menang, jika tidak, pasti Ghaza sudah menciumnya saat ini.

Ghaza tersenyum tipis, senang melihat raut sumringah sang adik. Anak itu sudah ceria lagi setelah beberapa hari sakit, dan yang paling Ghaza suka adalah ia bisa bermain dengan sang adik seperti ini.

"Sudah saatnya minum obat, Kara. Kamu harus segera makan," celetuk Gama, menyadari jika sudah memasuki Kara meminum obatnya.

"Makan di sini aja Kak, gue males ke ruang makan," ujar Kara, malas rasanya jika harus bangun dari tempatnya.

"Baik, saya ambilkan dulu." Gama berlaku dari sana, meninggalkan Kara dan Ghaza berdua di sana. 

Ghaza dengan cekatan membereskan konsol play station yang baru saja dimatikan, menyusunnya kembali dengan rapi di pojok ruangan. Sementara itu, Kara hanya terdiam mematung, membiarkan kakaknya bergerak seorang diri. Bagi Kara, ada momen ketika kondisi tidak membantunya justru memberinya keuntungan—tetapi, seringkali ia juga merasakan hampa dan frustrasi, dilanda ketidakberdayaan karena terbatasnya ia dalam beraksi.

Kara's Journey; Will Walk Again Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang