Journey 6

332 52 6
                                    

Kecelakaan mengerikan itu telah mencabik-cabik impian Kara untuk menjadi pembalap yang bercahaya di lintasan. Sejak usia belia, Kara telah mengejar kecepatan dan adrenalin, bercita-cita mencapai puncak podium. Namun, dalam sekejap, semuanya sirna—Tuhan rupanya telah menuliskan garis takdir yang berbeda bagi dirinya.

Menghadapi kenyataan pahit, Kara terpaksa merelakan bukan hanya kakinya yang terikat kursi roda, namun juga impian yang telah lama dijaga. Namun, di balik duka yang menghantam, nyala asa baru perlahan berkobar dalam hatinya. “Jika bukan sebagai pembalap, maka sebagai atlet olahraga lainnya," gumamnya, seraya merenungi jalur yang kini harus ditempuhnya. 

Dengan semangat yang tak pernah padam, Kara menjelajah arena baru: basket kursi roda. Di sinilah dia menemukan sebuah komunitas yang mengerti perjuangan dan rasa sakitnya, sebuah rumah bagi semangat yang tak terkalahkan. Bersama teman-temannya, dia bertukar kisah dan kekuatan, belajar bahwa meski mimpi berubah rupa, keberanian untuk meraihnya harus tetap sama. 

Kini, tiap gesit roda di lapangan bukan sekadar permainan, melainkan bukti bahwa tak ada yang dapat benar-benar menghentikan seseorang yang berani bermimpi. Kara mungkin telah kehilangan satu mimpi, namun kini ia merajut mimpi baru dengan ketangguhan yang lebih besar dari sebelumnya. Sebuah mimpi yang didasari bukan oleh kemampuan kaki, melainkan kekuatan hati dan tekad baja.

"Wah, kamu semakin mengagumkan di lapangan, Kar!" seru Revan dengan nada yang penuh kebanggaan sambil menepuk bahu Kara, bintang muda di tim basket mereka.

Pujian tersebut membuat Kara tersenyum malu-malu. Keringat membanjiri wajah dan jersey yang dipakainya, saksi bisu usaha kerasnya hari itu. "Terima kasih, Kak. Tapi dibanding Kak Revan, aku masih jauh," balas Kara dengan rendah hati.

Revan hanya tersenyum simpul, mengetahui potensi besar yang dimiliki Kara. Dia mengajak Kara untuk menepi, memberikan sebotol air mineral yang langsung disambut dengan rasa syukur oleh Kara.

"Oh iya, Kenapa Kak Gama nggak keliatan hari ini?" tanya Revan, menyadari absennya sosok tersebut yang biasanya tidak pernah absen di sisi Kara.

Kara menghela nafas. "Kak Gama memang nggak ikut hari ini. Aku sengaja dateng sendiri biar mandiri," ujarnya dengan nada berat, mengakui kecenderungan dirinya untuk bergantung pada Gama.

Di tengah hiruk pikuk lapangan basket itu, Kara merasakan kekosongan tanpa kehadiran Gama. Namum, dia tahu dia harus belajar mengandalkan diri sendiri untuk menghadapi tantangan dan meraih kemenangan. Ia ingin belajar mandiri dan tidak bergantung terus menerus kepada laki-laki tersebut.

Revan mengangguk paham, lalu melontarkan pertanyaan dengan tatapan yang penuh arti. "Habis ini, kamu langsung pulang?" tanyanya lembut. 

Kara mengangguk sambil membalas, "Iya, Kak. Aku tunggu jemputan dulu." Bibirnya menyentuh botol air mineral, mencari kesegaran dalam setiap tegukan. 

Revan tersenyum, kemudian ia menawarkan pertanyaan pada Kara. "Kalau mau, gimana kalau kamu bareng Kakak saja? Atau mungkin, kamu mau mampir ke rumah Kakak sebentar?" 

Kara tertegun, matanya berkilauan sejenak. "Hmm, boleh, Kak?" suaranya ragu namun terdengar harap. 

"Ya, tentu saja. Kakak yang mengajak. Sesekali berkunjung itu asyik," ujar Revan, seraya memberikan senyuman yang meyakinkan. 

Dengan sebuah anggukan yang penuh antisipasi, Kara setuju untuk mampir ke rumah Revan. Saat mereka turun dari mobil, suasana hati Kara berubah. Ia merasakan kecemburuan yang sederhana saat melihat Revan dengan mudah meluncur keluar dari kursi roda, sedangkan ia sendiri harus menghabiskan waktu yang lebih lama. 

"Ayok masuk, nggak usah malu," ajak Revan dengan nada yang penuh semangat, mengalihkan kursi rodanya di depan, Kara mengikuti di belakangnya dengan perasaan campur aduk antara kagum dan iri.

Kara's Journey; Will Walk Again Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang